ZONASULTRA.COM, KENDARI – Salah satu ekosistem rawa gambut di Sulawesi Tenggara (Sultra) terletak di Resort Aopa-Basala, Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I.
Rawa yang menjadi batas Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan (Konsel) ini memiliki banyak keunikan dan kekhasan. Kondisi ekosistem dan kemanusiaan merupakan wujud nyata fungsi rawa sebagai pengatur sistem hidrologi sehingga sangat layak dikatakan sebagai sistem penyangga kehidupan.
Kepala Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), Ali Bahri mengatakan, rawa ini merupakan tipe ekosistem rawa gambut bervegetasi terluas di daratan Sulawesi.
Kombinasi unsur lingkungan yang terdapat pada Rawa Aopa meliputi penutupan badan air oleh vegetasi yang lebih dari 90 persen, material dasar rawa yang bergambut, dan topografi di sekitarnya berupa gugusan perbukitan.
Baca Juga : 31 Jenis Anggrek di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
Hal ini secara akumulatif telah menciptakan kondisi pengendalian tata air (hidrologi) yang sempurna bagi keseimbangan ekosistem daratan Bumi Anoa secara umum. Kondisi tersebut juga merupakan habitat ideal bagi berbagai jenis burung air dan burung migran.
Rawa seluas 11.488 hektar ini merupakan habitat berbagai satwa liar dan tumbuhan. Tumbuhan yang mendominasi misalnya teratai merah, totole, Uti Baeckea frutescens, Holea Callophyllum soulattri, Wewu Planchonia valida, dan Sagu Metroxylon sagoo.
Sementara jenis satwa liar yang mendominasi pada umumnya adalah burung air (water bird) seperti Wilwo Mycteria cinerea, bangau (Egretta intermedia), koak merah (Nyctocorax caledonicus), pecuk ular (Anhinga melanogaster), ibis (Dendrocygna arcuata), Mandar dengkur (Aramidopsis plateni).
Jenis-jenis ikan yang hidup di rawa tersebut adalah gabus (Chana striata), lele (Clarias batrachus), belut (Monopterus albus), mujair (Tilapia mossambica), tawes (Barbodes gonionotus), sepat (Trichogaster trichopterus).
Dari sisi sistem hidrologi, ditegaskan Ali Bahri bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) Konaweha, rawa yang terletak dalam kawasan TN Rawa Aopa Watumohai ini memiliki peran yang sangat penting. Dengan luas mencapai hampir 12 ribu hektar dan kedalaman rata-rata 2 meter serta debit air 4,8 meter kubik per detik, rawa ini pun menjadi pengendali kestabilan debit air DAS Konaweha.
Adapun hilir dari DAS tersebut berada di wilayah kota Kendari, sehingga keberadaan Rawa Aopa dapat dikatakan sebagai pengendali kebutuhan air masyarakat Kota Kendari dan pengendali bencana banjir.
“Keberadaan rawa aopa ini sangat penting bagi kehidupan di Sultra karena mempunyai fungsi sebagai catchment area (dam raksasa) sehingga pada musim hujan dapat menampung air hujan dan melepaskan air secara perlahan pada musim kemarau,” terang Ali Bahri melalui siaran pers yang diterima zonasultra, Sabtu (27/7/2019).
Bagi masyarakat sekitar, keberadaan rawa aopa secara tidak langsung telah memberi warna berbeda dalam tatanan sosial, budaya dan ekonomi, sehingga menjadi karakter pembeda dengan masyarakat lainnya.
Dalam tatanan sosial, seiring dengan perubahan waktu jumlah masyarakat yang mengakses sumber daya alam semakin meningkat, sehingga tercipta komunitas dengan aturan atau kearifan lokal tertentu.
Hingga saat ini, keberadaan rawa dapat mengispirasi terbentuknya komunitas masyarakat, di antaranya perajin tikar pandan rawa (totole), nelayan, pengasapan ikan air tawar (skala rumah tangga), pembudidaya ikan air tawar dan, pengusaha warung.
Dari unsur budaya, keberadaan rawa banyak memberi pengaruh dalam hal pemanfaatan sumber daya alam. Dengan pengetahuan lokal yang dimiliki, rutinitas penangkapan ikan secara tradisional telah membudaya secara turun temurun seperti teknik memancing (molonduri), membubu, memukat, menjala dan menangkap langsung dengan tangan (mekaroro).
Hasil tangkapan umumnya dijual langsung melalui pengepul atau diecer, namun tidak sedikit pula yang melakukan pengolahan setengah jadi melalui teknik pengasapan dengan alasan meningkatkan nilai jual dan pengawetan.
Jenis budaya lain yang tidak kalah uniknya adalah melalui kerajinan tikar pandan rawa. Masyarakat menjadikan tikar ini sebagai salah satu persyaratan dalam prosesi pernikahan.
Membuat tikar telah menjadi bentuk kerajinan yang dikuasai oleh masyarakat Tolaki di sekitar TNRAW, khususnya di Desa Wawosanggula Kecamatan Puriala, Kabupaten Konawe.
Keberadaan Rawa Aopa di sekitar desa tersebut telah memberikan manfaat yang lebih dikarenakan Rawa Aopa menyediakan bahan baku untuk pembuatan tikar yaitu pandan rawa atau masyarakat sekitar menyebutnya dengan nama Totole.
Keterampilan ini dimiliki masyarakat turun-temurun dan telah menyatu dengan sistem kebudayaan setempat. Tikar bukan hanya barang yang dipakai sebagai alas tidur atau tempat duduk saja, lebih dari itu tikar tolaki memiliki nilai intrinsik yang sangat dihargai.
“Suku Tolaki menggunakannya dalam bernagai upacara adat yang mereka selenggarakan, seperti pada pesta adat perkawinan, panen atau menyambut tamu,” jelasnya.
Di dalam masyarakat tradisional Tolaki, terdapat pembagian kerja tersendiri. Ketika ingin membuat tikar, seorang suami mencari bahan baku tikar dari hutan. Selanjutnya bahan-bahan itu dijemur sampai kering, baru dibawa pulang. Dari sini menjadi kewajiban seorang istri untuk menganyam bahan-bahan yang dibawa pulang oleh suaminya.
Proses pembuatan ini tidak memakan waktu lama karena jumlah tikar yang dibuat sedikit. Hasilnya hanya digunakan untuk keperluan sehari-hari oleh keluarga yang bersangkutan. Terkecuali jika ingin mengadakan pesta adat, tikar yang dibuat lebih banyak. (b)