ZONASULTRA.COM, KENDARI – Deru mesin kendaraan bermotor memecah keheningan pagi itu. Dari kejauhan, terlihat sepasang suami isteri mendorong gerobak sampah menyusuri jalan, menembus keramaian Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra). Dari sisi keduanya, terdengar canda-tawa dua bocah perempuan. Cekikan tawa mereka seakan menjadi penyemangat kedua orang tuanya, Nani dan Supriatna.
Sepanjang jalan, Supriatna mendorong gerobaknya mencari sampah palstik yang berserakan di tepi jalan. Memilah, lalu mengambilnya dan disimpan dalam gerobak. Sambil melayangkan pandangannya mencari barang bekas yang terbuang, Itulah keseharian dia yang ditemini istri dan dua orang anak perempuannya. Itu ia sudah lakukan dalam 10 tahun terakhir.
Tantangan orang yang hidup di Kota Kendari, kerap kali diperhadapkan dengan kesulitan ekonomi. Bagi kita, pemulung mungkin pekerjaan yang tidak pernah ada dalam rencana masa depan kita. Namun bagi Supriatna, hanya dengan memulunglah dia bisa menghidupi keluarganya. Walau dengan pendapatan pas-pasan dan hasilnya tak bisa menyekolahkan kedua anak perempuannya.
Memang, baginya, sekolah adalah fasilitas mewah yang tak bisa ia berikan untuk kedua anaknya. Impian yang tak bisa diwujudkan. Sebagai gantinya, ia mengajak kedua putrinya itu membantu memungut sampah dan mencari barang bekas lainnya yang bisa dijual, agar bisa membeli beras untuk mereka makan.
(Baca Juga : Nenek Ida dan Srikandi-Srikandi Buruh Bangunan di Hujan Bulan Juni)
Barang bekas seperti plastik, kaleng minuman, botol air mineral, besi, kardus dan kertas menjadi buruan berharga bari mereka. Tak ada yang bernilai selain benda-benda itu.
Tak hanya itu, pemandangan miris juga terlihat pada Nani. Wanita berusia 32 tahun itu tak mau ketinggalan dengan suami dan dua putrinya. Sambil menggendong anak bungsunya yang berusia tujuh tahun, Nani juga terlihat gesit mengais sampah di sepanjang jalan yang disusurinya.
Bagi Nani, berkubang dengan barang bekas di tempat sampah sudah menjadi pekerjaan yang harus dijalaninya dan disyukuri. Meski, setelah ditimbang, ternyara hasil jeripayahnya dalam sehari hanya menghasilkan yang 35 ribu rupiah.
Tentu bagi masyarakat pada umumnya, uang sekecil itu tidak akan bisa memenuhi kebutuhan hidup. Tapi bagi mereka itulah jumlah terbesar untuk menyelamatkan mereka dari kelaparan sehari.
“Penghasilan kami paling tinggi Rp 35 ribu per hari. Hanya untuk memenuhi biaya hidup sehari saja,” ujar Nani, saat ditemui disela-sela kesibukannya, di depan MTQ Square Kendari, Minggu (18/6/2017) pagi.
Bagai berpacu dengan terbitnya mentari pagi, Nani bersama suami dan anak-ankanya harus memulai aktivitas sehari-hari pukul 05.00 Wita, mencari barang-barang bekas di Kota Kendari.
Nani bersama tiga anaknya membawa satu gerobak, sementara sang suami Dede Supriatna juga mendorong gerobak lain yang ditemani satu anak laki-laki yang berusia 16 tahun. Sebelum mentari terbenam, mereka kembali berkumpul untuk beristirahat dan menjual barang bekas hasil pungutannya.
Sejak menikah dengan Dede Supriatna 18 tahun silam, Ia telah dikaruniai empat anak. Rupanya, selain tidak bisa menyekolahkan anak mereka juga memiliki masalah besar, yaitu belum pernah merasahkan tinggal di rumah sendiri. Mereka masih terluntang-lantung numpang di rumah milik juragan pembeli barang bekas di Jalan Saosao Kecamatan Kadia Kota Kendari.
(Baca Juga : Kisah Kakek Mualaf, Peluk Islam Saat Didapuk Jadi MC Maulid Nabi)
Meski kondisi itu tidak nyaman buat buat keluarga Nani, namun terpaksa harus ia lakukan. Karena, ia sadar. Jangankan membangun rumah, selamat dari kelaparan sehari saja sudah disyukurinya.
Dengan kondisi yang dihadapinya itu, Nani pun tak bisa berbuat apa-apa selain berusaha sambil berdoa agar nantinya bisa keluar dari jurang kehidupan yang tidak bisa membuat buah hati anak mereka berbahagia seperti anak pada umumnya.
Parahnya lagi, walau telah 10 tahun melakoni kehidupan memulung, namun dia dan kelurganya belum pernah merasakan bantuan dari pemerintah. Miris kan? (B)
Penulis: Lukman Budianto
Editor: Abdul Saban