ZONASULTRA.COM, KENDARI – Sepanjang Mei hingga awal Juni 2017 ini Kota Kendari selalu basah, pertanda musim hujan yang menggelora. “Hujan bulan Juni” tetap awet hingga memasuki pertengahan puasa Ramadhan.
Pun begitu, warga Kendari tetap menjalankan rutinitasnya, siswa-siswa tetap ke sekolah, PNS tetap ke kantor, Wakil Rakyat di DPRD – mungkin- juga tetap berkantor. Tak terkecuali, bagi nenek Ida (56) bersama keponakannya Ibu Herlina (40), dan Ibu Suri (31) yang bekerja sebagai kuli bangunan. Suatu pekerjaan yang lazim dilakoni kaum lelaki.
Ketiga srikandi dihubungkan oleh ikatan keluarga dengan daerah asal Kabupaten Muna yang dari kecil berada di Kendari. Kini mereka sama-sama tinggal di Lorong Jambu Kecamatan Poasia, Kota Kendari. Ditemui di salah satu pembangunan Ruko, Jalan H.E.A. Mokodompit, pada Rabu (8/6/2017), ketiganya gigih bekerja di tengah rintik hujan dengan pelindung baju hujan berbahan plastik.
Yang tertua, Nenek Ida berusia 56 tahun tetap aktif bekerja sebagai kuli bangunan. Di usia yang terhitung senja, di tengah rintik hujan (atau terik matahari), dan porsi kerja yang sama dengan buruh laki-laki tak menjadi hambatan bagi nenek beranak tiga dan bercucu tiga itu.
Perawakannya pendek dan kulitnya sawo matang khas suku Muna. Selalu mengenakan jilbab, baju kaos, celana panjang, jadi ciri khas nenek Ida dan keponakannya di medan kerja.
Kerja bangunan dilakoninya sejak muda, tepatnya pada 21 tahun lalu– tepat satu tahun setelah menikah dan memiliki seorang anak. Itu artinya sudah 35 tahun ia bekerja. Boleh dikata tak ada hari baginya tanpa bersentuhan dengan semen, batu, pasir, dan bahan bangunan lainnya.
Dengan pengalaman yang sedemikian panjang, Ida sebenarnya juga biasa tak sekedar jadi kuli tapi juga kepala tukang yang menyusun bata, batu, membuat rangka besi, bahkan memasang tehel. Hanya saja ia sesuaikan dengan yang dibutuhkan pemborong atau kontraktor bangunan yang memanggilnya bekerja.
“Kalau tidak ikut beginian, mau harap apa tidak ada keahlian lain. Dulu 2003 saya suka ikut-ikut proyek sampai Kolaka-Kolaka Utara, masih Rp. 3 ribu sampai Rp. 7 ribu saat itu,” kenang Ida saat beristrahat siang di tengah rintik hujan.
Dengan jam kerja mulai pukul 08.00 Wita pagi sampai 16.30 Wita sore, nenek Ida dan kuli lainnya diberi upah Rp. 80 ribu per hari. Dalam satu bulan mereka para kuli bisa mengumpulkan Rp. 1,5 juta bersih setelah dipotong uang tranport dari rumah ke tempat kerja, biaya makan, dan lain-lain.
Suaminya yang bekerja sebagai supir pete-pete/angkot (milik orang lain) juga jadi penambah penghasilan keluarga. Namun kata Ida, kini suaminya sudah terlalu tua sebagai seorang kakek sehingga sudah jarang lagi mengemudikan pete-pete.
Dari pekerjaan kuli bangunan, Ida berhasil menyekolahkan dua dari tiga anaknya menjadi sarjana. Ia juga bisa membelikan sepeda motor anak bungsunya dan bisa membangun rumah sendiri meskipun hanya dinding papan.
Ibu Suri (31) memasukan campuran ke arko.
Ida mengaku tak tahu akan bekerja sampai kapan menjadi kuli bangunan dan mungkin sampai tak mampu sama sekali. Ia mengaku tak dilarang oleh suami dan anak-anaknya bekerja sebagai kuli bangunan karena sudah jadi sumber penghidupan sejak dulu. “Kalau tidak kerja bisa sakit-sakitan, makanya saya kerja terus. Mungkin karena sudah biasa,” tutur Ida.
Tetap bekerja di bulan Ramadhan, menurut Ida bukanlah untuk kebutuhan lebaran tapi karena memang sudah pekerjaan sehari-hari. Baginya sama saja, sebab adanya momen lebaran tak merubah apapun, gaji tetap dan tak serta merta naik. Selain itu, tak ada tunjangan hari raya (THR) seperti pekerjaan berdasi.
Cerita kurang lebih sama disampaikan Herlina. Ibu berusia 40 tahun ini mulai bekerja sebagai kuli bangunan pada 2013 yang lalu. Jenjang pendidikan terakhirnya hanya tamatan SMP dan tak memiliki keahlian lain.
Ia memiliki empat orang anak (satu perempuan). Dua orang anak tertuanya telah tamat SMA, namun karena keterbatasan biaya tidak melanjutkan pendidikan dan memilih merantau. Sementara suaminya adalah supir truk.
Awalnya Herlina hanyalah ibu rumah tangga biasa yang kesibukannya tidak jauh-jauh dari urusan dapur seperti memasak, cuci piring dan lain-lain. Namun karena banyak tetangganya (perempuan) di Lorong Jambu yang beramai-ramai kerja bangunan, ia akhirnya ikut-ikutan dan dilakoninya hingga kini.
Herlina mengatakan hasil pencahariaan bersama suami bisa dibilang cukup untuk keperluan sehari-hari dan biaya sekolah anak-anak. Ia mengaku pernah dilarang oleh suami kerja tapi terus dilakukan karena untuk kebutuhan keluarga.
“Karena sudah biasa kalau tidak kerja satu hari saja saya bisa sakit. Lagian kenapa mau malu, pencuri saja kalau kena tangkap mencuri tidak malu apalagi kita,” tutur Herlina.
Ia mengaku tak minder bekerja sebagai kuli bangunan karena ada teman-temannya seperti Nenek Ida dan Ibu Suri yang selalu bisa diajak cerita, apalagi sesama perempuan. Yang bikin risih paling hanya omelan kepala tukang (laki-laki) kalau terlambat goyang atau banyak duduk. Tapi itu kata Herlina sudah biasa dan terkadang malah dijadikan candaan dan ledekan.
Selama menjadi kuli, telah berbagai macam bangunan dikerjakan mulai dari rumah pribadi, ruko, bahkan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kendari. Herlina berencana tak akan selamanya menjadi kuli dan harus ada pekerjaan lain nantinya bila sudah memasuki usia senja atau tak mampu lagi.
Yang termuda dari srikandi buruh bangunan ini adalah ibu Suri. Wanita yang kini berusia 31 tahun ini memulai kerja pada 2008 lalu, saat itu usianya masih 23 tahun dan baru memiliki 2 anak (sekarang sudah 3).
Suri mengaku sebenarnya dilarang suaminya untuk kerja bangunan tapi karena kebutuhan keluarga maka terus dilakukan. Suami yang hanya bekerja sebagai cleaning service salah satu hotel di Kendari menurut Ida tak mencukupi kebutuhan anak-anak yang si sulung kini sudah duduk di bangku SMP.
Ibu Herlina (40) dan lainnya sedang merangkai besi di lantai 2 pembangunan ruko.
“Kita kerja saja biar hujan-hujan, kalau pilek-pilek sedikit begini bukan halangan. Kalau tidak turun kerja juga mana sudah mau lebaran,” ujar Suri.
Pekerjaan yang membutuhkan waktu dari pagi hingga sore membuat Suri tak mampu lagi mengerjaakan pekerjaan dapur begitu pulang. Pekerjaan rumah tangga dan lainnya sudah diambil alih oleh ketiga anaknya yang berada di rumah.
Suri mengatakan pernah terpikir untuk meninggalkan pekerjaannya saat ini dan pergi merantau ke Malaysia. Namun hal itu tak dilakukannya karena tidak ada yang menjaga ketiga anaknya.
Kepala Tukang Marjun (39) mengatakan sudah terbiasa bekerja dengan kuli bangunan wanita. Seperti pengerjaan ruko 3 lantai saat ini yang sedang dikerjakan, dari awal sampai selesai akan melibatkan nenek Ida dan 4 pekerja (wanita) lainnya yang berasal dari Lorong Jambu.
“Kalau laki-laki biasanya jadi kepala tukang, ada juga kuli tapi sedikit. Mereka (wanita) lebih fokus kerjanya dan nurut kalau dikasih tahu, pokoknya langsung dikerjakan,” ujar Marjun.
Meski pekerjaan kuli telihat lebih berat namun untuk gaji tukang lebih tinggi yakni kuli Rp. 80 ribu perhari sedangkan tukang/kepala tukang Rp. 120 ribu perhari. Kata Marjun, dalam sebuah pembangunan ruko berlantai 2 atau 3, pengerjaannya dapat dikebut 3 sampai 4 bulan.
Ia menyebut jenis-jenis pekerja yang dikerjakan Nenek Ida dan lainnya adalah mencampur, ikat besi, angkut batu gunung (batu Moramo), angkut campuran dan material, dan ikut mengecor lantai atas. (A*)
Reporter : Muhamad Taslim Dalma
Editor : Jumriati