Ia lebih imajinatif dari belakang, yang tertutup, dibanding dari depan yang terbuka.
Kau tak akan habis-habis melihat perempuan Eropa yang sama, semua putih, hidung mancung, mata biru, pipi memerah, rambut ikal, belahan baju pada bagian depan yang kau kira tak pernah cukup kainnya. Lewat satu, muncul satu. Dari depan, samping kiri-kanan, dari belakang.
Kau tak henti-henti berdecak, berdesir, berdebar. Seakan-akan juga mereka turun dari atas, tumbuh dari bawah. Dari semua arahmu. Tapi hati-hati, mereka bukan untuk dipelototi, dirayu. Tahan suaramu, tahan siulanmu, tahan kedipanmu yang menggoda, tahan gerakan alismu yang mengajak. Apalagi, jangan coba-coba memencet tombol kamera tertuju padanya. Memotret tanpa izinnya adalah pelanggaran susila. Bisa berujung di kantor polisi. Tidak boleh sama sekali tanganmu menyentuhnya.
Tapi jangan frustasi. Bukankah memang Tuhan meminta kita menundukkan pandangan? Inilah, sekaranglah, tempatnya, ibarat mengisi soal-soal ujian dengan jawaban yang lurus. Mereka ada di dekatmu tetapi jangan masuk pikiran. Hilangkan dari polesan hayalan. Lurus saja, nikmati secara sehat, seperti mengagumi laut yang lepas, cuaca yang cerah.
Meski sejujurnya, mereka juga ciptaan yang disengaja. Tetapi seperti mengagumi kebun anggur yang hijau, tak sampai memabukkan karena kita tak meminum khamarnya, maka cukup begini: ia lebih imajinatif dari belakang yang tertutup. Apalagi ia bersepeda. Sudah. Minimalis begitu saja.
Tulisan ini insirasi dari Pulau Re, adalah satu pulau kira-kira seluas Pulau Kapota di Wakatobi, yang berpenduduk 16 ribu, hanya 10 desa, tetapi didatangi jutaan turis. Mereka bersepeda ke semua posok pulau tanpa gangguan. Ada juga yang sekedar melakukan kegiatan seperti pekerjaan utama kita yakni memungut kerang-kerangan di laut yang memang surut besar.
Rumah-rumah di sini dilindungi aturan. Tak boleh dirubah, warna cat dinding putih atau krem. Jika ada bagian yang direhab hanya boleh dengan material dan model yang sama. Jendela dan pintu hanya boleh warna abu-abu sampai biru dan hijau muda sampai hijau.
Rumah-rumah itu makin original makin mahal. Jalan-jalan terkesan sunyi di kompleks perumahan karena rumah-rumah itu dimiliki para artis, para politisi sekelas perdana menteri yang hanya datang dari Paris berakhir pekan.
Berani?
Ini di desa, di selatan Pulau Re. Jalannya hanya khusus untuk pesepeda atau tuk-tuk bertenga listrik. Ini kios ‘layani diri sendiri’. Tak ada penjualnya di situ, di tepi jalan, dan rumah pemiliknya hanya satu-satunya di situ. Tempat uang jika berbelanja disediakan semacam celengan kecil, berdampingan dengan kotak terbuka tempat uang kembalian.
Produk yang dijual garam, olahan rumput laut, rempah dari biji bunga-bunga. Semua produk lokal desa ini. No cocacola, no cigaret, tidak seperti umumnya kios di kita, di pelosok sekalipun yang penuh barang impor dan miskin produk setempat.
(Baca Juga : Penggalan Cerita dari Prancis (2))
Garam Pulau Re harganya sepuluh kali lipat dari harga garam asal daerah lain di seluruh Eropa. Jadi menyimpannya di kios tanpa penjaga, di tepi jalan seperti ini, mirip mempertaruhkan sepotong emas.
Bayangkan jika kios ini Anda buat di Depok, atau jalan baypass Kendari, atau di depan kantor polsek Wangi-Wangi sekalipun. Berani? (*)
Oleh : Saleh Hanan
Penulis adalah peserta pelatihan Pembangunan Pariwisata utusan Sultra di Communauté D’agglomération de La Rochelle – Prancis tahun 2018.