ZONASULTRA.COM, KENDARI – Upaya penertiban lahan seluas 120 hektar yang dilakukan Polda Sulawesi Tenggara (Sultra) melalui Brimob dianggap tidak tepat. Sebab, kepemilikan lahan di belakang Mako Brimob oleh warga memiliki landasan hukum yang jelas.
Kuasa hukum warga Dahlan Moga mengatakan, dasar kepemilikan atau bukti hak Polda memiliki tanah patut dipertanyakan. Jika yang dimaksud Polda adalah SK dari pemerintah daerah (pemda) nomor 137 tahun 1980, maka itu bukan suatu keputusan tentang pemberian tanah.
Dalam SK itu, poin pertama dinyatakan menunjukkan (bukan memberikan) tanah negara bebas seluas 120 hektar. Secara arti istilah tanah negara bebas adalah tanah yang belum memiliki status kepemilikan sehingga dikuasai negara. Tapi tanah negara bebas yang dimaksud dalam SK itu dijabarkan dengan adanya poin kedua dan ketiga.
Poin kedua dinyatakan bahwa di lahan 120 hektar itu ada tanah milik masyarakat yang harus diberikan ganti rugi sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Ketiga, proses ganti rugi dilakukan setelah 3 tahun terbit keputusan pemda.
(Berita Terkait : Ini Penjelasan Dansat Brimob Soal Penertiban Lahan 120 Hektar)
Maka dalam rentang 1980-1983, proses ganti rugi semestinya dilakukan. Namun kata Dahlan, tidak pernah ada proses ganti rugi itu dalam rentang waktu 3 tahun itu, jadi bagaimana mungkin lahan milik masyarakat bisa diklaim.
“Hasil pemeriksaan inspektorat provinsi tahun 1996 bahwa kesimpulannya di tanah yang diklaim oleh Brimob itu ternyata bukan tanah negara bebas tetapi tanah milik masyarakat secara turun-temurun. Ada surat keputusan Bupati Kendari (1993-2013) Razak Porosi yang menyatakan bahwa tidak benar ada lahan Brimob 120 hektar,” ujar Dahlan di Kendari, Minggu (12/8/2018).
Masyarakat setempat saat ini memiliki sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh lembaga negara Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kata Dahlan, bila memang ada hak kepemilikan pihak lain di lahan itu maka tidak akan mungkin ada sertifikat.
Lanjut dia, terkait Polda yang menang di MA tidak ada sangkutannya dengan masyarakat yang saat ini memiliki lahan. Yang pernah bersengketa dengan Polda atas lahan belakang Brimob adalah pihak lain karena masyarakat yang ada saat ini belum berperkara terkait kepemilikan lahan mereka.
“Secara prinsip hukum, misalnya si A berperkara dengan si B, lalu ada putusan. Tapi kemudian keputusan itu diberlakukan kepada si C dan si D, kan tidak bisa karena C dan D adalah orang yang tidak pernah berperkara,” ujar Dahlan. (B)
Reporter : Muhamad Taslim Dalma
Editor : Jumriati