ZONASULTRA.COM, KENDARI – Pemihakan politik terhadap perempuan diakui sudah membaik. Partai politik bahkan wajib memberi ruang minimal 30 persen bagi perempuan untuk didaftarkan jadi calon legislatif (caleg). Sayangnya, itu belum benar-benar bisa mengakomodir kepentingan perempuan secara sifnifikan.
“Buktinya, kasus kekerasan terhadap perempuan angkanya masih terus meningkat,” kata Maria Magdalena Blegur, Direktur Kembang Institute, sebuah lembaga non profit yang konsen terhadap masalah-masalah perempuan, dalam rilis yang diterima zonasultra.id, Sabtu (18/8/2018).
Paparan ini disampaikan Maria Magdalena saat menjadi pembicara di Opiniku Opinimu Perempuan, Keluarga, Politik dan Negara, di Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (15/8/2018) lalu. Menurutnya Maria Magdalena, masalah ini terjadi karena wadah dan ruang kerja belum sepenuhnya menerapkan kebijakan, program perlindungan dan penguatan bagi perempuan.
Ia menyebut, kasus kekerasan seksual, masalah kesehatan reporduksi, dan masalah reproduksi sosial, terus meningkat. “Penyebabnya, selain makin maraknya pelaku, tingat kesadasaran korban dan publik untuk melaporkan juga meningkat,” kata perempuan yang akrab disapa Magda ini.
Dia menjelaskan banyak upaya telah dilakukan di tingkat regulasi dan pelaksanaan, namun belum cukup untuk menurunkan tingkat kasus. Di antaranya, UU KUHP, UU 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, UU 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO, RUU KUHP, dan RUU PKS.
“Di tingkat daerah kebijakan tersebut belum sepenuhnya diturunkan menjadi Perda, bahkan alih-alih mengalokasikannya dalam anggaran,” ujar perempuan yang namanya tercatat sebagai Caleg PDIP dari Dapil Sultra ini.
Menurutnya, permasalahan perempuan ini memang sudah banyak diperjuangkan oleh para politisi dan komunitas perempuan. Namun upaya itu masih perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. “Agar bisa mendorong penyelesaian masalah-masalah yang selalu dialami oleh kaum hawa di Indonesia,” jelasnya.
Magda mengungkapkan lemahnya pelaksanaan kebijakan dan koordinasi antar pihak terkait dalam menyelesaikan peremasalahan perempuan bisa menjadi pekerjaan bersama yang tidak hanya dibebankan oleh para politisi dan komunitas perempuan saja. Tanpa ada kebijakan yang terukur dalam menyelesaikan masalah perempuan, sangat sulit menerapkan perlindungan terhadap perempuan terutama di daerah.
Lebih jauh, dia pun berharap jelang tahun politik pada 2019 mendatang, para pemilih perempuan diminta untuk bisa memilih wakil rakyat yang benar-benar bisa memperjuangkan kepentingan perempuan nanti.(*)
Penulis : Abdi MR