ZONASULTRA.COM,LAWORO-Sudah hampir 30 tahun Nurhati bersama keluarganya hijrah ke Sulawesi Tenggara. Tahun 1983 silam, ia meninggalkan tanah kelahiran di Lebak, Banten, lewat program transmigrasi. Mereka ditempatkan di SP1, Desa Mekar Jaya, Tiworo Tengah, Muna Barat (dulu Muna). Mimpinya punya kehidupan lebih baik, tapi hingga usianya uzur, kemiskinan tak juga mau entas.
Perempuan yang oleh tetangganya disapa Emak Nur itu sudah berusia 72 tahun. Sehari-hari, demi menyambung hidup, ia menjadi tukang urut, sebuah profesi yang tak tentu penghasilannya. Suaminya, Ujuh sudah sangat sepuh, 92 tahun. Sakit-sakitan dan tak bisa lagi mencari nafkah.
Rabu (29/8/2018) lalu, zonasultra.id menyambangi kediaman nenek Nur, di Mubar. Tempat tinggal yang sangat sederhana itu jauh dari syarat rumah layak. Ukurannya hanya sekira empat kali enam meter. Dindingnya papan yang terlihat mulai rapuh dimakan usia. Seng yang jadi atap rumah itu juga sudah karatan dan terkelupas.
(Baca Juga : Kisah Aco, Buruh Serabutan di Kendari yang Berkurban Sapi)
Ketika dilongok ke dalam, tak ada perabotan istimewa. Untuk tidur, pasangan suami istri ini hanya bermodal kasur lusuh yang dihamparkan di lantai rumahnya. Yang paling mewah hanya sebuah TV berwarna 20 inch. “Saya beli dulu waktu di Bombana, jadi tukang urut orang-orang yang capek mendulang emas,” kisah Nenek Nur, soal kotak ajaibnya itu.
Untuk urusan hajat, nenek Nur dan suaminya mengandalkan sebuah MCK sederhana yang ia bangun di belakang rumahnya. Mandi dan buang hajat harus keluar ke belakang rumah. “Beginilah nak kondisi rumah emak,” katanya kepada jurnalis media ini, Rabu siang itu.
Nenek Nur sejatinya punya tiga orang anak. Tapi tiga buah hatinya itu sudah berumah tangga, dan menetap di desa lain di Muna dan Mubar. Kondisi ekonomi mereka juga tak berlebihan sehingga tak bisa banyak membantu orang tua mereka.
“Suami saya sudah 20 tahun sakit paru-paru, dan sakit pinggang. Maklum sudah tua. Dulunya, dia yang mengurut tapi pekerjaan itu sekarang saya yang jalani. Demi cari nafkah,” katanya, getir.
Dengan usia yang sudah tua, tenaganya juga mulai berkurang. Makanya, pasiennya pun sudah tak sebanyak dulu lagi. Bila ada pengguna jasanya berbaik hati, ia biasa disangu Rp100 ribu sekali urut. Tapi ada juga yang hanya Rp25 ribu. “Itu juga tidak tiap hari,” tuturnya.
Ada nestapa dalam setiap tutur kata sang nenek. Bila ia hitung-hitung, dalam sebulan sudah sangat banyak bila ia bisa mengumpulkan duit Rp300 ribu. Angka yang sama sekali tidak cukup untuk membiayai hidup empat pekan. “Kita cukup-cukupkan saja, mau apa lagi adanya cuma itu,” tambahnya.
Saat tak ada duit, ia dan suaminya hanya mengandalkan nasi dan garam plus lalapan khas Sunda. Jika sedang ada rejeki, barulah bisa menikmati ikan sebagai lauk. Bila benar-benar terdesak, ia terpaksa merelakan ayam yang ia ternak dijual. Supaya ia dan suaminya bisa makan.
“Terakhir saya dapat bantuan pemerintah itu 10 tahun lalu, waktu zaman ada Bantuan Langsung Tunai (BLT),” tambah nenek Nur. Sejak itu ia hanya mendengar cerita soal Raskin, bedah rumah dan program-program sosial lain pemerintah. “Tak ada yang saya dapat,” tukasnya.
Kata dia, dulu pernah ada orang datang melihat dan mengambil gambar foto rumahnya. Petugas yang ke rumahnya mengabarinya itu untuk kepentingan bantuan bedah rumah. Tetapi sampai saat ini belum kunjung ada bantuan tersebut. “Malah sudah hampir 20 kali rumah saya difoto,” katanya sembari terkekeh.
Solihat (40) tetangga nenek Nur bercerita, bila sang nenek memang hidup kekurangan dan berjuang sendiri dalam mencari nafkah. “Sekarang emak Nur sudah mulai berusaha jualan kerupuk opak, dan modalnya dikumpulkan dari hasil mengurut,” ungkapnya.
Dia menambahkan, sebelum suaminya sakit-sakitan, dulu juga berprofesi sebagai tukang urut dan pelanggan yang datang urut banyak sekali. Yang paling banyak dulu datang mengurut seperti yang patah tulang.
(Baca Juga : 20 Tahun Menabung, Pasutri Penjual Cendol di Kendari Ini Bisa Naik Haji)
Sementara itu, Kepala Desa Mekar Jaya, Mujtahidin mengungkapkan bahwa selama ada pendataan penerimaan bantuan seperti bedah rumah, Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial lainnya, dirinya sudah beberapa kali mengajukan keluarga Nurhati alias Emak Nur ini. Hanya saja, pihaknya sampai saat ini belum mengetahui pasti apa masalah sehingga keluarga ini tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah.
“Seperti bantuan PKH ini, kami dari pemerintah desa sudah melakukan pendataan, tetapi semua itu yang berwenang dari Dinas Sosial,” ungkapnya.
Saat ditanyai soal emak Nur yang tak kebagian Beras Sejahtera (Rastra), Mujtahidin mengaku bahwa di desanya hanya ada ada 26 KK penerima. Dirinya juga sudah menyampaikan kepada pihak penerima agar bisa berbagi biar tidak banyak kepada keluarga yang tidak berkecukupan.
Kata dia, sejak pertama kali menjabat jadi kepala desa, dirinya mengetahui penerimaan raskin di Desa Mekar Jaya itu dari 148 tetapi tak lama turun menjadi 98 kilogram. Lanjut dia, padahal dirinya setiap tahun terus mengusulkan sesuai presentase yang wajib menerima bantuan ini.
“Dari 26 KK penerima rastra, saya panggil mereka dan duduk bersama untuk berbagi rastranya kepada keluarga yang tidak mampu. Alhamdulillah 26 KK ini mau membagi, tetapi dirinya tidak mengetahui kalau keluarga Emak Nur ini tidak dapat bantuan tersebut,” ucapnya.(A)