ZONASULTRA.COM, KENDARI – Sidang lanjutan kasus dugaan suap Bupati Buton Selatan (Busel) nonaktif Agus Feisal Hidayat menghadirkan dua saksi ahli pidana. Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menghadirkan saksi ahli dari Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari Herman sedangkan terdakwa Agus menghadirkan saksi ahli Firman Wijaya dari Jakarta.
Sidang dengan Hakim Ketua Khusnul Khatimah itu berlangsung dari pukul 13.30 Wita hingga pukul 18.00 Wita, lalu dilanjutkan lagi dari pukul 20.00 Wita hingga pukul 22.30 Wita di Pengadilan Tipikor Kendari, Rabu (5/12/2018). Kedua saksi ahli itu menyampaikan pendapatnya terkait tindak pidana, salah satunya tentang uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi.
Herman mengatakan terkait uang pengganti tidak dimuat dalam surat dakwaan kasus tersebut. Walaupun tidak dimuat dalam surat dakwaan, tetapi bila dapat dipastikan bahwa yang diperoleh penerima suap adalah jelas berapa jumlahnya maka uang penggantinya juga sama besarannya dengan yang diterima.
“Misalnya saya suap Anda, berapa anda terima atau peroleh, kalau Rp500 juta maka Rp500 juta itu seharusnya jadi uang pengganti,” ujar Herman usai memberikan keterangan dalam persidangan.
(Berita Terkait : Sidang Agus Feisal, Sejumlah Saksi Tak Tahu Tentang Fee Proyek)
Selain itu Herman juga menjelaskan tentang penguasaan uang suap. Dalam suatu tindak pidana korupsi, biasanya penerima suap tidak memegang secara langsung uang suap namun dapat diketahui lewat penguasaan uang tersebut.
“Penguasaan itu biar tidak kuasai fisiknya, tetapi yang disebut dengan penguasaan itu kuasa kewenangan terhadap duit itu. Misalnya Anda pegang duit saya tetapi anda tidak bisa belanjakan berarti kan penguasaannnya saya,” ujar Herman yang juga merupakan Dekan Fakultas Hukum UHO.
Dengan demikian, bila ada unsur tindak pidana dalam suatu pemberian uang maka yang bertanggung jawab adalah yang mempunyai penguasaan atas uang tersebut. Adapun yang menjadi perantara atau hanya mengantar uang juga dapat masuk tindak pidana karena turut serta atau membantu.
JPU KPK, Joko mengatakan uang pengganti diatur dalam pasal 17 dan 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001. Uang pengganti merupakan pidana tambahan yang besarannya sesuai dengan jumlah yang diperoleh pelaku atau penerima suap.
“Hal itu (uang pengganti) juga ditanyakan ke ahli yang tadi (saksi ahli Firman Wijaya), isinya juga sama. Sudah seperti itu penjelasan mereka, sudah objektiflah. Kalau pendapat ahli itu tergantung hakim mau dipakai atau tidak,” ujar Joko usai persidangan.
Operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Agus Feisal terjadi pada 23 Mei 2018 lalu. Saat itu uang yang disita Rp200 juta dari ajudan Agus bernama La Ode Yusrin. Uang itu tidak disita dari tangan Agus.
Pengusaha Tony Kongres pada sidang 14 November 2018 mengakui bahwa uang Rp200 juta itu diberikannya kepada Agus sebagai fee proyek melalui perantara La Ode Yusrin. Namun Agus Feisal dalam beberapa kali sidang membantah adanya fee proyek, sebab uang dari Tony dianggap sebagai pinjaman atau terhitung utang. (A)