ZONASULTRA.COM, RAHA – Sore itu, suara dentuman palu pemecah batu saling bersahutan bersama riuh kicauan burung. Terdengar tak beraturan membentuk notasi irama berbeda.
Riuh itu tak lain aktivitas sekumpulan para ibu-ibu tangguh di salah satu sudut perkampungan terpencil di Desa Maligano, Kecamatan Maligano, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra). Mereka mengais rezeki sebagai pemecah batu untuk mengumpulkan pundi rupiah yang kadang hasilnya tak tentu.
Para perempuan perkasa itu nampak berjejer dengan kokoh mengayunkan palu, memecah bongkahan batu kali di sepanjang jalan usaha tani di pinggiran hutan sudut perkampungan. Mereka berasal dari dua desa setempat yakni Desa Lapole dan Desa Maligano.
Para ibu-ibu tangguh itu terlihat sibuk memecah tumpukan batu kali yang sudah menggunung. Sesekali pandangannya dialihkan ke jalan menengok warga sekitar yang lalu lalang menuju kali.
Awak Zonasultra.com pada Minggu (10/3/2019) berkesempatan mengulik kehidupan para ibu pejuang nafkah bagi keluarganya itu. Tepat pada momentum Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada awal Maret ini.
(Baca Juga : Kisah Anak Jadi Tukang Parkir Demi Biayai Sekolahnya)
Wa Darni (42), salah satu perempuan pemecah batu, warga Desa Lapole kecamatan Maligano sudah menggeluti pekerjaan unik itu selang 13 tahun terakhir.
Setiap hari, Wa Darni mengumpulkan batu kali menggunakan keranjang yang terbuat dari anyaman bambu untuk dipecahkan di tempat penampungan yang dibuatnya sederhana.
Perempuan yang ditinggal rantau oleh suaminya ini setiap hari mampu memecah batu kali hingga tiga ember menjadi seukuran potongan dadu.
“Kalau satu ret itu saya kasi picah kadang sampai 20 hari. Sebulan bisa dua ret,” cerita Wa Darni mengawali kisahnya.
(Baca Juga : Getir Hidup Nenek Nur, Perempuan Tua Miskin di Pelosok Muna Barat)
Saat ini, ia sudah mengumpul sebanyak empat kubik batu pecah yang siap dijual dengan harga satu kubik Rp200 ribu. “Itu pun laku banyak kalau ada proyek jalan. Tapi sekarang ini lagi sepi,” tuturnya.
Bahkan kadang dua atau tiga bulan tak pernah laku. Jika tak ada pesanan, ia hanya mengumpul batu dari kali ke tenda.
Selain Wa Darni, masih ada sekitar ratusan warga dengan profesi yang sama di Maligano, mereka didominasi kaum ibu-ibu.
Hidup Bersama Tiga Anaknya di Pinggiran Hutan
Sejak suaminya La Ado (46) memutuskan merantau di Papua tahun 2001 lalu, Wa Darni terpaksa hidup bersama tiga anaknya di tepi sungai desa setempat. Jauh dari hiruk pikuk keramaian kampung. Wa Darni seakan berani menantang gelapnya malam di pinggiran hutan.
Hidup sendiri tanpa tetangga. Di sekitarnya hanya berjejer pepohonan rimbun dan cuitan burung hantu sesekali terdengar menyapa malam.
“Sudah biasa mi, sejak ditinggalkan bapaknya Iqra (anak sulungnya) pergi merantau tahun 2001 kalau tidak salah,” ungkap Wa Darni berusaha mengingat memori lalunya.
Rumah panggung berukuran 4×6 yang mereka tempati nampak mulai reot, dinding papan sudah digerogoti rayap. Hanya terlihat fondasi rumah yang sudah lama dibangun namun belum dilanjutkan. “Fondasi ini sudah lama. Belum ada rezeki untuk dilanjutkan,” ucapnya dengan tersenyum.
Ia mengaku tak punya pilihan lain, karena lahan yang mereka tempati itu satu-satunya milik mereka. “Awalnya dulu sempat takut. Tapi sekarang sudah tidak, karena sudah biasa. Ya kita beranikan diri saja. Kalau takut mau tinggal di mana juga tidak mungkin mau susahkan terus keluarga,” timpalnya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari hari, ia bersama tiga anaknya mengandalkan kiriman dari suaminya yang kerja bangunan di Kota Sorong. Dalam sebulam suaminya biasa mengirim uang sebanyak Rp1,5 juta yang digunakan untuk makan sehari-hari.
Himpitan ekonomi, wanita yang juga kerja serabutan ini harus banting tulang membantu suami menafkahi keluarganya.
“Kalau tidak kasi picah batu, kadang ambil gaji tanam nilam di kebunnya orang, bahkan ambil gaji babat rumput dengan ongkos Rp80 ribu sehari,” cetusnya.
Tumor Ganas Menyerang Anak Gadisnya
Pada tahun 2017 ujian kembali menimpa keluarga La Ado. Anak perempuannya, Nurazizah (15) harus berjuang melawan penyakit tumor ganas yang dideritanya.
“Awalnya dikira jerawat. Namun lama kelamaan semakin membesar sampe dia tutup dagunya. Setelah dicek ternyata tumor,” kata Darni yang terlihat tetap tegar.
(Baca Juga : Kisah Aco, Buruh Serabutan di Kendari yang Berkurban Sapi)
Darni pernah membawa buah hatinya itu ke rumah sakit di Kendari untuk berobat. Kata dokter harus dioperasi dan rahangnya dilepas. Namun Nurazizah menolak sehingga Darni memutuskan berobat kampung saja. Dua bulan berobat kampung benjolan yang ada di dagunya berangsur membaik.
“Nanahnya kadang keluar sendiri. Kalau dipencet darahnya juga keluar,” ujarnya.
Hingga saat ini puluhan juta sudah dihabiskan untuk berobat sang anak. “Penghasilan dari batu picah selama ini dan kiriman dari bapaknya habis untuk berobat. Sudah sekitar Rp15 jutaan,” ungkapnya.
Tumor yang menyerang dagunya tak lantas membuat Nurazizah meratapi penyakit yang dideritanya. Perempuan yang akrab disapa Wa Ubho ini tetap semangat menuntut ilmu.
Ia bahkan tercatat sebagai siswi berprestasi di sekolahnya. “Saya tidak mau patah semangat gara-gara penyakit ku ini. Saya harus tetap berprestasi. Alhamdulillah penerimaan rapor kemarin saya juara tiga di kelas,” ucapnya.
Setiap hari jika ke sekolah, dia menutup bagian mukanya dengan cadar agar tak menjadi bahan perhatian teman-temannya di sekolah.
Di rumah Wa Ubho tak ingin membebani orang tuanya. Ia juga tetap menjalankan tugasnya memasak makanan untuk disantap bersama ibu dan kedua saudaranya. “Kalau di rumah hanya memasak saja,” katanya.
Sementara kakaknya bernama Iqra (18) kini sudah duduk di bangku kelas tiga SMA Maligano. Ia juga ikut membantu ibunya mencari nafkah. Sepulang sekolah ia pergi mengojek mencari penumpang di pelabuhan. Sementara adiknya yang bungsu, Asmin (7) baru duduk di kelas satu sekolah dasar. (*)