ZONASULTRA.COM, KENDARI – Banjir bandang yang melanda beberapa wilayah di Sulawesi Tenggara (Sultra) dipicu oleh banyak hal. Tak melulu soal tambang, alih fungsi lahan sehingga menyebabkan hilangnya hutan juga menjadi pemicu terjadinya banjir.
Dosen Kehutanan Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari Safril Kasim menyebutkan, banjir akan sangat mudah terjadi ketika di suatu daerah sudah tidak ada lagi hutan lindung, yang fungsinya menyerap air hujan agar masuk ke dalam tanah, dan tidak mengalir ke permukaan.
Ketika air tidak lagi terserap ke dalam tanah, maka air akan mengalir mengumpul di satu titik terendah seperti sungai. Hujan yang berkelanjutan menyebabkan volume air akan terus meningkat. Jika sungai tidak lagi mampu menampung air hujan, maka air akan meluap dan terjadilah banjir.
Baca Juga : Wagub Sultra: Tambang dan Kerusakan Lingkungan Penyebab Banjir di Konut
“Tanaman-tanaman yang ada pada hutan lindung berfungsi menyerap air hujan agar masuk ke dalam tanah. Jika vegetasi hutan masih bagus maka air terinfiltrasi ke dalam lapisan bawah tanah akan semakin banyak, dan selanjutnya terperkolasi serta menjadi air tanah,” kata Safril ditemui Selasa (18/6/2019).
Menurutnya, hilangnya hutan bisa disebabkan oleh beberapa faktor, tak hanya karena areanya dijadikan lokasi pertambangan, alih fungsi lahan dari hutan menjadi pemukiman atau yang lainnya, juga bisa menjadi penyebab hilangnya fungsi hutan lindung.
Sejumlah pihak mulai dari masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) hingga Wakil Gubernur Sultra Lukman Abunawas sempat menyebutkan bahwa penyebab bencana banjir di Sultra, khusunya di Konut bukan hanya karena luapan sungai saja, melainkan maraknya aktivitas penambangan di kawasan tersebut yang tidak sesuai syarat prosedural hingga menyebabkan kerusakan lingkungan.
Baca Juga : DLH Sultra Sebut Banjir di Konawe Bukan Karena Tambang
Namun, beberapa pihak membantah bahwa penyebab utama banjir akibat pertambangan. Salah satunya adalah Gubernur Sultra Ali Mazi.
“Tidak juga, penyebabnya karena aktivitas tambang, tambangnya itu ada di wilayah bagian utara, sedangkan banjirnya di wilayah bagian timur,” ungkap Ali Mazi usai mengikuti upacara HUT Pasarwajo ke-16, Senin (10/6/2019).
Terlepas dari itu semua, menurut Safril Kasim langkah yang harus diambil pemerintah adalah dengan melihat kembali bagaimana tata ruang di wilayah tersebut. Jika hutan lindungnya sudah tidak berfungsi dengan baik, maka segera mencanangkan penghijauan, pembuatan lubang resapan buatan seperti biopori yang seharusnya sudah harus diperkenalkan di tengah masyarakat. Selain itu, juga mengurangi pendangkalan di sungai-sungai atau teluk.
“Pemerintah harus segera mengkaji kembali tata ruang di wilayah yang terdampak banjir, dan segera mengambil langkah antisipatif,” ungkapnya.
Mewujudkannya tentu kesadaran dari masyarakat juga diperlukan untuk menjaga hutan di daerah tersebut dan tidak melakukan penebangan pohon secara liar. (a)