ZONASULTRA.COM, KENDARI – Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam angka menunjukkan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara (Sultra) lima tahun terakhir 2014 hingga 2018 selalu berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada 2014 pertumbuhan ekonomi Sultra berada di angka 6,25 persen sedangkan nasional 5,21 persen, tahun 2015 Sultra 6,88 persen sedangkan nasional 4,99 persen. Kemudian 2016, 2017 hingga 2018 Sultra tumbuh di atas 6,5 persen sementara nasional di atas 5 persen.
Sayangnya, kondisi ini dinilai tidak memberikan dampak ke masyarakat. Terutama pada pengurangan jumlah penduduk miskin dan angka pengangguran.
Data BPS tahun 2015 ekonomi Sultra tumbuh 6,88 persen, ini meningkat dibanding tahun sebelumnya 2014 6,25 persen. Namun, jumlah penduduk miskin malah ikut meningkat menjadi 345 ribu jiwa yang sebelumnya pada tahun 2014 lebih rendah 314 ribu jiwa, bahkan angka ini turun dibanding 2013 sebanyak 326 ribu.
Data terakhir penduduk miskin di Sultra pada tahun 2018 mencapai 307 ribu jiwa. Angka ini menurun dibanding 2017 sebanyak 331 ribu jiwa, tapi pada pertumbuhan ekonomi malah turun dari 6,81 menjadi 6,42 persen.
Kondisi ini pun terjadi pada angka pengangguran, di mana pada 2015 meningkat menjadi 63 ribu jiwa dibanding tahun 2014 sebanyak 48 ribu jiwa. Sedangkan data terakhir 2018 angka pengangguran di Sultra mencapai 40 ribu jiwa. Ini meningkat dibanding tahun 2017 sebanyak 39 ribu dan tahun 2016 sebanyak 34 ribu jiwa.
(Baca Juga : Industri Pengolahan Dorong Pertumbuhan Ekonomi Sultra)
Ekonom Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Provinsi Sultra Prof. Muhammad Syarif, dalam acara Seminar Kemenkeu yang digelar di Kendari, Selasa (27/8/2019) mengatakan, dari data tersebut bisa disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi terhadap jumlah penduduk miksin dan angka pengangguran angkanya bersifat fluktuatif, setiap tahun bisa turun juga bisa naik. Namun, secara umum bisa dikatakan pertumbuhan ekonomi belum memberikan dampak yang cukup siginifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.
“Artinya ini adalah aktivitas ekonomi kita di Sultra belum berkualitas,” katanya usai membawakan materi dalam Seminar Kemenkeu.
Dijelaskan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Haluoleo itu, saat ini sejumlah sektor penopang belum memberikan dampak yang nyata. Ada sektor menyerap tenaga kerja tinggi namun produktivitasnya rendah. Ada pula sektor menyerap tenaga kerja rendah produktivitasnya tinggi.
Pada distribusi presentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2018 misalnya, dua sektor lapangan kerja pertanian dan pertambangan memberikan porsi besar pada PDRB yakni masing-masing 23, 27 persen untuk pertanian dan 21,05 persen untuk tambang.
Sementara sumbangsihnya pada penyerapan pekerja pertanian tertinggi 35,42 persen sedangkan tambang sangat rendah 2,6 persen. Bahkan tambang dikalahkan penyerapannya oleh sektor perdagangan sebesar 21,17 persen dan sektor jasa 19,63 persen.
(Baca Juga : Triwulan I 2019, Ekonomi Sultra Diperkirakan Tumbuh Hingga 6,5 Persen)
Sehingga ke depan, yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah bagaimana membangun sektor industri pengolahan guna menambah nilai dari sektor penopang pertumbuhan ekonomi. Ia menyebutkan banyak negara yang maju di dunia mengembangan sektor industri dengan menghadirkan sentuhan teknologi pada hasil produksi mereka.
Lemahnya Indonesia, termasuk Sultra industri pengolahan masih sangat kurang. Syarif mencontohkan, sayur yang dijual di supermarket harga hari ini Rp1.000, besok harganya akan tetap sama. Tapi, harga sayur di pasar tradisional saat pagi hari harganya mahal di siang hari harganya akan turun karena sudah layu, dan tidak ada cara bagaimana sayur tersebut bisa diawetkan.
“Artinya dengan adanya sentuhan teknologi dalam penambahan nilai sebuah hasil produksi itu sangat penting dan dipastikan harga jual akan berkalilipat menjadi barang setengah jadi dibanding kebiasaan kita habis petik langsung jual,” ujarnya.
Secara umum, dikatakan Syarif pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan produksi barang dan jasa dalam masyarakat bertambah tanpa memperhatikan kenaikan pendapatan perkapita dan perubahan struktur ekonomi.
Kemudian, berbicara soal angka inflasi Sultra yang nilainya juga fluktuatif naik dan turun setiap tahun meski masih berada dalam koridor aman. Tahun 2015 inflasi Kendari 1,64 persen Baubau 3,95 persen, 2016 masing-masing 3,07 persen dan 1,71 persen serta 2018 2,55 persen dan 2,9 persen ditegaskan Prof. Syarif bahwa kondisi ini sebagai bukti bahwa ketegantungan Sultra terhadap komoditi pangan dari luar masih cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. (a)