ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyebut bahwa kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak bisa dihindari. Anggota DJSN Angger Yuwono mengatakan berdasarkan undang-undang, iuran harus disesuaikan minimal dalam waktu dua tahun.
“Memang awal tahun 2018 mestinya sudah disesuaikan tapi belum karena berbagai alasan, karena tahun pemilu dan lain-lain. Baru tahun ini disesuaikan,” ujar Angger di Gedung Nusantara III Komplek DPR RI Senayan Jakarta Selatan, Kamis (5/9/2019).
Angger mengatakan sudah empat tahun iuran BPJS Kesehatan tidak disesuaikan. Pihaknya mengatakan bahwa apapun pembayaran atau jasa itu selalu mengalami kenaikan begitu juga seharusnya iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Tidak dipungkiri perkembangan pembiayaan program JKN terjadi ketidakseimbangan antara biaya kesehatan yang keluar dengan iuran yang terkumpul. Ketidakseimbangan ini makin besar, sehingga menimbulkan defisit. Angger mengatakan bahwa salah satu cara penaggulangannya adalah iuran BPJS harus disesuaikan.
(Baca Juga : Komisi XI DPR RI Keberatan Iuran BPJS Kesehatan Naik)
“Supaya tidak defisit, dibutuhkan penyesuaian iuran yang begitu besar. Memang ini tidak populer, tapi ini menjadi satu solusi,” imbuhnya.
Saat ini pemerintah dan DPR RI sedang mempertimbangkan defisit itu dibebankan kepada peserta BPJS dalam bentuk kenaikan iuran atau defisit ditalangi oleh pemerintah melalui sumber pembiayaan apapun yang ada di pemerintah.
Dari peserta BPJS di antaranya yaitu Penerima Bantuan Iuran (PBI), tiga kelas peserta mandiri (kelas I, kelas II, kelas III), dua kelas pekerja penerima upah (PPU) pemerintah (kelas I dan kelas II), serta dua kelas PPU swasta. Angger mengatakan bahwa untuk PBI tidak ada masalah karena pemerintah membayarnya tepat waktu. Namun, kelas PBI ini juga harus cleansing data sehingga PBI adalah masyarakat yang benar-benar tepat.
Untuk PPU pemerintah maupun swasta tidak krusial karena iuran tersebut dibayarkan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta. Namun kata dia, yang meresahkan adalah peserta mandiri Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) yang saat ini pesertanya berjumlah sekitar 32 juta.
(Baca Juga : Sebelum Iuran BPJS Naik, DPR RI Minta Tunggakan Rumah Sakit Dilunasi)
“Segmen ini yang memiliki problema sendiri dalam kolekting iuran, karena yang tertagih atau yang bayar itu hanya 55% dari jumlah PBPU, 45% sisanya tidak bayar iuran sehingga dikatakan tidak aktif,” lanjut Angger.
Angger menegaskan bahwa kalau masyarakat menyatakan tidak mampu maka akan dibiayai pemerintah. Masalahnya masyarakat tidak mampu banyak yang tidak masuk ke dalam PBI, sementara sebagian masyarakat yang mampu malah menjadi peserta PBI. Hal inilah yang menjadi ‘PR’ DJSN sebelum kenaikan iuran BPJS diberlakukan. (A)