Kelas Inpirasi Kendari #3: Sedikit dari Kami untuk Anak Bangsa

Kelas Inpirasi Kendari #3: Sedikit dari Kami untuk Anak Bangsa
KELAS INSPIRASI KENDARI - Para inspirator dari tim 5 Kelas Inspirasi Kendari #3 sesaat sebelum kelas inspirasi dimulai di SDN 3 Ranomeeto Barat, (16/11/2019). (Foto : Adi Putra Untuk ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Pagi itu, Sabtu, 16 November 2019, matahari belum terlihat menyinari seisi bumi. Mungkin sebentar lagi. Dering telepon membangunkanku tepat pukul 04.57 pagi. Nama Herdin tertera di layar ponsel.

Herdin adalah salah satu panitia yang kebagian tugas sebagai fasilitator dalam kegiatan Kelas Inspirasi Kendari #3. Dia yang berjasa memastikan aku dan kawan-kawanku tetap sehat hingga hari kegiatan kelas inspirasi tiba.

“Halo kak? Sudah bangun?” tanyanya dari seberang.

“Iya sudah,” jawabku.

Setelah itu, ia kemudian mematikan sambungan telepon dengan salam. Sepertinya ia hanya ingin memastikan aku sudah benar-benar terbangun dan siap menjalani kegiatan kami hari ini.

Aku bergegas beranjak dari tempat tidur untuk bersiap-siap menjadi bagian dalam sebuah kegiatan yang menurutku akan sangat menarik.

Kegiatan kelas inspirasi ini akan dimulai pada pukul 07:15. Sebelum jam itu, aku bersama teman-teman yang tergabung dalam tim yang sama sudah harus berada di lokasi kegiatan.

(Baca Juga : Kelas Inspirasi Kendari, Gerakan Nyata Peringatan Sumpah Pemuda)

Akan ku jelaskan sedikit soal kegiatan yang akan kuikuti. Namanya adalah “Kelas Inspirasi Kendari #3”. Slogannya “Terbangkan Mimpi Anak Negeri”. Tahun ini adalah tahun ketiga giat yang melibatkan banyak orang-orang hebat dari berbagai profesi pekerjaan itu terlaksana.

Ratusan orang itu kemudian dibagi ke dalam 15 tim. Masing-masing tim nantinya memiliki tugas untuk memberi inspirasi kepada siswa SD yang ada di Kecamatan Ranomeeto dan Ranomeeto Barat, Kabupaten Konawe Selatan.

Kelas Inpirasi Kendari #3: Sedikit dari Kami untuk Anak BangsaKebetulan, aku masuk dalam tim 5, yang akan memberi inspirasi terkait profesi yang saat ini tengah kujalani. Jurnalis.

Di tim 5, kami berjumlah 17 orang. Dua orang merupakan fasilitator, tiga orang panitia lokal dari kelas inspirasi, 10 orang merupakan inspirator yang berasal dari beragam profesi, mulai dari wartawan sepertiku, ASN, petugas bandara, pelukis, hakim, banker, hingga dosen, juga dua orang dari tim dokumentator.

Jadi, pagi itu memang aku begitu semangat. Bahkan, orang rumah sampai heran melihatku sudah rapi pagi-pagi sekali. Biasanya paling cepat aku berangkat pukul 08.00.

Ya. Waktu saat itu memang baru menunjukkan pukul 06.00. Aku sudah mengenakan seragam media tempatku bekerja lengkap dengan ID card pers menggantung di leherku.

Sekitar pukul 06.15, aku pun beranjak dari rumah menggunakan kuda besi merahku. Aku memang cukup excited untuk urusan kegiatan sosial, apa lagi melibatkan anak-anak.

Kebetulan, pada kegiatan ini aku didapuk menjadi inspirator yang nantinya harus bisa menginspirasi anak-anak SD untuk bermimpi setinggi mungkin.

Setelah melakukan persiapan kurang lebih satu bulan, akhirnya hari inspirasi itu tiba. Kami 17 orang, yang sebelumnya benar-benar tidak saling mengenal jadi semakin akrab satu sama lain, seiring berjalannya waktu menuju hari inspirasi.

Selama perjalanan, aku memang begitu takut jangan sampai terlambat. Kuputuskan untuk melaju dengan kecepatan tinggi. Aku yakin, saat mengendarai motorku, pasti Lia, salah satu panlok yang berboncengan denganku cukup panik karena keugal-ugalanku. Maafkan aku Lia!

Sesuai dugaanku, aku memang sedikit terlambat dan melewatkan salah satu penyambutan oleh pihak sekolah–kata teman setimku yang tiba lebih dulu mulai dari depan gerbang Desa Jati Bali, tempat SD itu berada.

Kelas Inpirasi Kendari #3: Sedikit dari Kami untuk Anak BangsaTepat pukul 07.10 aku dan Lia baru tiba di SDN 3 Ranbar. Maklum, jarak rumahku dan lokasi memang begitu jauh sehingga dibutuhkan sekitar sejam baru bisa sampai.

Tapi tidak apa. Kulihat di sana para siswa masih berbaris. Tepat di ujung kiri barisan, terdapat beberapa gadis yang kuyakini pasti siswi di sini, dengan pakaian adat Bali. Kuduga, mereka akan menari. Kembali kuduga, itu juga akan menjadi penyambutan berikutnya. Sungguh banyak menduga aku hari itu.

Tim kami mulai berkumpul di depan barisan siswa. Acara pembukaan secara resmi baru akan dimulai. Fasilitator tim 5, dibantu dengan para guru mengatur siswa agar merapikan barisan.

Setelah rapi, musik khas gamelan Bali mengalun. Siswi berpakaian adat Bali tadi lalu maju ke depan barisan menghadap kepada kami. Dugaanku tepat, ini semacam tarian penyambutan.

Tidak ku korek lebih lanjut juga tadi tentang nama tarian ini. Aku terlalu terpukau dengan kelihaian mereka menarikan tarian Bali, leher mereka yang lentur, dan mata mereka yang kerap melirik tajam ke kanan dan ke kiri.

Sekitar 5 menit tarian pun berakhir. Kami membalasnya dengan tepuk tangan riuh. Tak menyangka akan disambut seperti ini. Usai menari, barulah Bapak Ketut Sudarta, salah seorang guru memberikan sambutan. Inti dari sambutannya, ia berterimakasih atas berkenannya kelas inspirasi datang ke sekolahnya untuk memberi inspirasi kepada anak didiknya.

Tak mau kalah, pihak dari kami juga memberikan sepatah dua kata kepada pihak sekolah, yang diwakili oleh Kak Edy, yang berprofesi sebagai ASN di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sultra. Setelah sambutan-sambutan, acara pembukaan lalu ditutup dengan senam dari kami yang diikuti para siswa dan guru.

Kelas Dimulai

Nah, akhirnya waktu yang paling ditunggu tiba. Sebentar lagi, kami para inspirator akan masuk ke kelas. Perasaanku tentu saja deg-degan. Beberapa kekhawatiran muncul di kepalaku.

Bisakah aku menghadapi anak-anak itu? Apakah aku bisa menginspirasi mereka? Bisakah aku menjadi guru untuk beberapa waktu ke depan? Padahal profesi itu adalah hal yang paling kuhindari.

Kata fasilitator kami yang bernama Intan, sekitar 10 menit lagi, para inspirator yang kebagian sesi pertama akan masuk kelas. Kebetulan, aku sendiri kebagian di sesi dua dan lima, dari enam sesi yang ada.

Kelas Inpirasi Kendari #3: Sedikit dari Kami untuk Anak BangsaMasing-masing sesi diberi waktu 25 menit. Jadi, masih ada waktu sekitar setengah jam untukku bersiap-siap sebelum masuk kelas.

Dalam diamku di ruang kantor sekolah sambil menyicip beberapa kudapan yang disediakan, aku mencoba mencari di internet bagaimana cara menghadapi anak kecil di kelas. Sesungguhnya aku sekaku itu menghadapi anak-anak. Ku manfaatkan jaringan yang tak terlalu bagus itu untuk mencari games-games apa saja yang kira-kira harus ku gunakan untuk mencairkan suasana kelas.

Tak terasa, 25 menit hampir berlalu. Intan kembali ke ruangan tempat para inspirator berkumpul, mengingatkan tim yang masuk ke sesi kedua untuk kembali bersiap-siap. Waktuku akhirnya tiba.

Diantar salah satu panlok, aku lalu menuju kelas 5. Cukup lega sebenarnya di sesi awal ini aku dapat kelas yang menurutku sudah lebih mudah diatur, dibanding kelas di bawahnya.

Dengan ucapan membaca basmalah, aku pun masuk. “Halo adik-adik,” sapaku berusaha seceria mungkin. Untung saja dijawab dengan semangat juga oleh mereka.

Kuawali kelasku hari ini dengan mengajak mereka bertepuk-tepuk semangat, seperti yang sudah kupelajari dari para fasilitatorku. Setelah terlihat semangat, kupersilakan mereka duduk dan mulai memperkenalkan siapa aku dan apa pekerjaanku.

Pada sela-sela kelas yang tengah di bawah kendaliku itu, sempat ku tanyakan ke mereka tentang ingin jadi apa mereka jika sudah besar nanti. Ragam jawaban kudengar. Ada yang ingin jadi dokter, tentara, polisi, atau guru.

Profesi yang mereka tau memang sepertinya sebatas yang sering mereka lihat di lingkungan mereka. Di awal, belum ada dari mereka yang ingin jadi wartawan.

Kujelaskanlah kepada mereka apa yang kulakukan sehari-hari. Profesiku ini biasa disebut wartawan. Saat menyebut profesi wartawan, beberapa terlihat familiar, beberapa lainnya terlihat tidak begitu paham.

“Wiih..wartawan,” kudengar salah seorang siswi perempuan berucap usai kusebutkan profesiku.

Aku mencoba membuat interaksi kecil dengan menanyakan pada mereka apa tugas wartawan. Samar-samar kudengar ada yang menjawab tugasnya adalah mencari berita ada juga yang tidak menjawab. Kemudian, barulah kucoba menjelaskan secara umum tugas dari wartawan dengan penuh kesabaran tentunya.

Sehari-hari aku sering keliling Kota Kendari yang makin hari makin panas ini untuk mencari informasi yang nantinya kuolah menjadi berita. Di awal penjelasan, mereka sepertinya masih bingung, aku juga mulai khawatir mereka tidak paham.

Agar lebih mudah dipahami, ku ajak saja mereka mempraktekan langsung seperti apa kerja wartawan. Di sini, aku mengajarkan mereka tentang menjadi wartawan TV saja dulu. Walaupun memang aku bukanlah wartawan TV, tapi semasa kuliah aku sering dapat tugas jadi wartawan TV. Yang kuberitahu ke mereka tidak spesifik memang. Setidaknya mereka paham dulu seperti apa kerja wartawan itu secara umum.

Kelas Inpirasi Kendari #3: Sedikit dari Kami untuk Anak BangsaSetelah kelas berakhir dan beberapa penjelasanku soal pekerjaan yang sehari kulakoni ini, aku kembali bertanya ke mereka perihal siapa yang ingin jadi wartawan.

Senang rasanya melihat beberapa siswa mengacungkan tangannya. Sepertinya ajaranku berhasil, walaupun aku mulai merasa terjadi sesuatu dengan tenggorokanku. Jadi guru sepertinya memang tak cocok buatku.

Sesi pertamaku telah berakhir. Aku dan kawan-kawan yang mengisi sesi kedua lalu kembali ke ruang guru untuk bersiap-siap. Saat berkumpul kembali sembari inspirator yang lain menuju sesinya, kami saling berbagi pengalaman di kelas.

Ada yang dipanggil “Om Bapak” oleh para siswa, ada yang dikira petugas PLN, dan lain-lain. Anak-anak memang sepolos itu. Beragam dugaan polos dari anak-anak itu juga terus terlontar saat kami memasuki kelas mereka.

Selanjutnya masuk ke sesi kelima, di mana aku kebagian menginspirasi siswa di kelas tiga sekolah tersebut. Sebelum masuk ke sana, aku sempat melontarkan tanya ke inspirator lain, tentang bagaimana kondisi kelas itu.

Rata-rata menjawab kelas itu adalah yang paling rusuh. Ya, kelas rusuh itulah yang akan kumasuki dalam beberapa menit lagi.

Tibalah aku di kelas ini. Kelas mereka seperti dugaanku lebih tidak tenang dibanding kelas pertama yang kumasuki. Sama seperti di kelas pertama tadi, sebelum kelas dimulai aku meminta satu orang siswa yang bersedia memimpin “tepuk-tepuk” untuk maju ke depan.

Saat itu, mulailah nampak kerusuhan. Mereka begitu aktif, hingga berebut siapa yang akan memimpin di depan, berbeda dengan kelas berikutnya. Akhirnya, kuputuskan untuk memilih dua orang, dan kujanjikan kepada yang lain akan maju di kesempatan berikutnya.

Berbeda dengan sebelumnya, perkenalanku kali ini kulakukan dengan acting seolah-olah tengah menjadi reporter yang sedang melaporkan kejadian langsung di lapangan. Setelah acting sederhanaku itu, mereka serentak menjawab bahwa aku adalah wartawan. Sungguh antusias mereka.

Keaktifan dari mereka selama aku menjelaskan tentu saja memacu semangatku. Hingga akhirnya tiba di sesi praktek. Kucoba meminta kepada siswa yang bersedia praktek menjadi wartawan untuk maju ke depan. Tidak ku sangka, hampir semua siswa di kelas itu mengangkat tangannya.

“Kalau yang sudah maju tadi gantian yah. Kasih yang belum maju,” ujarku mencoba menetralisir kelas yang mulai gaduh.

Akhirnya kupilih tiga orang pertama untuk maju ke depan. Seperti biasa, satu jadi narasumber, satu jadi wartawan dan satu jadi kameramen. Dengan arahanku, mereka akhirnya mulai praktek bertanya jawab dan satu lagi berpura-pura sedang mengambil gambar. Tiga orang pertama akhirnya selesai. Kupersilakan mereka duduk diiringi tepuk cinta.

Tadinya ku ingin kembali menawarkan siapa yang bersedia praktek kembali. Namun, saking semangatnya, belum kupersilakan, mereka langsung ribut usai tiga temannya yang pertama duduk ke tempatnya. Bahkan, sampai ada yang langsung maju sebelum kupersilakan.

Akhirnya, secara acak, kembali kupilih siswa yang tadi belum terpilih. Kali ini mereka mempraktekan sebagai reporter dan pembaca berita, sesuai arahanku.

Tak terasa, waktu sesiku hampir selesai. Beberapa fasilitator mulai memberi kode. Dengan berat hati, kelas harus kuakhiri. Saat kuucapkan kelas harus berakhir, raut sedih mulai terpancar di wajah mereka yang belum kebagian maju ke depan.

“Kak, saya belum,” ujar satu siswa yang bernama Yoga. Padahal diawal tadi ia memimpin sesi tepuk-tepuk. Mungkin maksudnya belum mencoba jadi wartawan.

“Saya juga belum kak,” ujar salah satu siswa perempuan yang ku ketahui namanya Dea.

Melihat antusiasme mereka membuatku seakan tak ingin beranjak. Sayangnya waktu membatasi.

Akupun lalu mengajak mereka yang benar-benar belum sempat maju untuk memimpin salam perpisahan dengan tepuk terimakasih. Aku lalu menuju ke depan kelas, belum hendak menuju keluar kelas.

Saat keluar, Yoga menghampiri ku lalu berkata “Kak Acing, habis ini belum pulang?” tanyanya padaku.

Ku jawab “Masih ada satu lagi sayang. Tunggu nah,” ujarku padanya sambil merangkul pundaknya.

Ia hanya membalas dengan anggukan. Kucoba bercakap kecil dengan Yoga, menanyakan ingin apa dia kalau sudah besar. Katanya, ia ingin jadi pilot. Kubilang dia hebat kalau ingin jadi pilot. Pesanku padanya, harus belajar dan rajin belajar dan beribadah, biar cita-citanya tercapai.

Tak mau kalah dengan Yoga yang terlihat tengah asyik mengobrol denganku sambil menunggu inspirator berikutnya, siswa yang lain kemudian ikut bergabung.

Kuajukan pertanyaan yang sama kepada mereka sambil mengambil beberapa video untuk kuposting di media sosialku.

Mereka berebut ingin tampil diayar sambil menyebut cita-citanya. Cita-cita mereka kini mulai beragam. Mungkin pengaruh dari inspirator yang sudah masuk sebelumku. Mereka menyebutkan, ada yang ingin jadi dosen bahasa Inggris, tentara, dan senangnya, ada dua orang yang ingin jadi wartawan.

Kuberi tepuk tangan untuk mereka semua yang terlihat bangga dengan cita-citanya. Sukses terus untuk kalian.

Terima Kasih

Kelas akhirnya benar-benar berakhir. Hari yang cukup melelahkan kalau menurutku. Banyak hal yang kudapat hari ini.

Pertama, sulitnya menjadi seorang guru. Ingin rasanya aku meminta maaf kepada semua guru-guruku, karena saat masih di bangku sekolah aku masuk kategori murid yang cukup nakal, tapi sedikit berprestasi. hehehe.

Kedua, aku merasa cukup bangga saat melihat pohon inspirasi yang kami siapkan untuk para siswa menggantungkan impiannya melalui sebuah kertas, yang sengaja kami gunting berbentuk hati dan bintang. Cita-cita mereka tak lagi hanya ingin menjadi guru, polisi, dokter atau tentara saja. tetapi ada juga sebagian dari mereka yang mulai bercita-cita menjadi pelukis, pegawai bank, pramugari, hakim, hingga wartawan sebagaimana profesi dari kami para inspirator.

Dengan ini, artinya apa yang sudah kami sampaikan ke kelas-kelas mulai mereka pahami, bahwa ketika beranjak dewasa nanti, banyak pekerjaan yang bisa digeluti. Tak melulu harus jadi ASN, polisi dan lain-lain.

Aku sendiri, sebagai seorang yang mulai umur 20-an kemarin selalu bercita-cita ingin berguna bagi orang lain, merasa impianku itu sedikit tercapai. Dengan sedikit pengalaman yang kubagi, akhirnya bisa buat mereka paham jadi wartawan seperti apa.

Hari ini, Sabtu 16 November 2019 tentunya tidak akan kulupa. Tentunya kuucapkan terimakasih kepada Kelas Inspirasi Kendari, yang sudah seniat itu mengadakan kegiatan yang amat luar biasa ini, sehingga memberi kesempatan anak-anak bisa memahami ragam profesi yang ada sejak dini.

Harapanku, kegiatan positif ini akan terus berlangsung dan bisa menyentuh berbagai pelosok yang ada Sulawesi Tenggara ini.

Terimakasih juga untuk para anggota tim Hi-Five, yang selama hari persiapan selalu kompak. Usia kami yang beragam tak begitu jadi penghalang bagi kami untuk tetap akrab layaknya telah kenal bertahun lamanya. (*)

 


Penulis: Sri Rahayu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini