ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor, mengusulkan agar presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dihapus.
Menurut Firman, ambang batas pencalonan sebesar 20 persen dinilai mematikan kaderisasi partai politik untuk menghasilkan pemimpin publik.
“Karena dia tidak sanggup partainya mencapai itu akhirnya dia serahkan haknya pada orang lain,” kata Firman di sela-sela acara “Evaluasi Pemilu Serentak 2019: Menuju Pemilu yang Efektif dan Demokratis” di Gedung Widya Graha LIPI, Jalan Jendral Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Senin (2/11/2019).
Dikatakannya, ambang batas 20 persen menyebabkan orang harus berkoalisi sejak awal, sehingga disinyalir ada tawar-menawar. Berbeda yang maju dengan sendiri dan bertarung sendiri, selanjutnya rakyat yang akan menentukan.
“Deal ini yang kemudian bisa menjadi kecelakaan money politic, conflict of interest nanti, atau juga berkembangnya oligarki karena membutuhkan uang untuk berdekatan, sehingga memang pada akhirnya banyak aspek negatif dari yang 20 persen itu,” imbuh Firman.
(Baca Juga : Perludem Sebut Tantangan KPU Larang Mantan Koruptor Ikut Pilkada Sangat Berat)
Ia juga menegaskan bahwa kongkalikong sejak awal ini menciderai makna pemilu serentak. Untuk menghindari kongkalikong tersebut, lebih baik ambang batas dibiarkan saja menjadi 0 persen sehingga semua orang bisa mencalonkan diri.
Firman menuturkan bahwa Indonesia mempunyai pengalaman memiliki beberapa calon dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Dengan dihapuskannya ambang batas maka setiap orang dapat mencalonkan diri, namun mereka pasti tetap memperhitungkan kemungkinan menang.
“Jadi orang itu punya reason untuk maju, meskipun dibuka besar-besaran orang pasti akan berhitung dia sanggup atau tidak,” tandas Firman.
Sementara terkait dengan kekhawatiran adanya parlemen yang kuat vs Presiden yang kuat, hal itu sudah tidak terbukti secara empiris. Firman menegaskan bahwa presiden yang minoritas di parlemen akan bertahan. (b)