Penyebab Ikan dan Sayur Jadi Penyumbang Inflasi di Sultra Sejak 2014

Kepala Perwakilan BI Provinsi Sultra, Suharman Tabrani
Suharman Tabrani

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Pada tahun 2014 hingga 2019, ikan segar memiliki korelasi sebesar 0,72 persen terhadap inflasi Sulawesi Tenggara (Sultra) dan sayur memiliki korelasi sebesar 0,69 persen. Hal tersebut menunjukkan begitu besarnya dampak pergerakan harga ikan segar dan sayur terhadap inflasi di Sultra.

Kepala Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia (BI) Sultra Suharman Tabrani mengatakan, sepanjang Februari 2014 hingga Oktober 2019, tercatat 17 kali Kota Kendari dan Kota Baubau mengalami peningkatan tekanan inflasi ikan segar secara bersamaan. Ini mengindikasikan bahwa peningkatan tekanan inflasi ikan segar secara bersamaan di Kota Kendari dan Kota Baubau hanya terjadi 1 kali dalam 4 bulan secara rata-rata.

Badan Pusat Statistik (BPS) Sultra mencatat inflasi yang terjadi di Kota Kendari bulan Mei lalu 1,80 persen disebabkan oleh naiknya indeks harga pada kelompok bahan makanan sebesar 7,54 persen. Komoditasnya adalah ikan kembung, cakalang, sisik, kangkung, bayam, bawang putih, rambe, terong panjang, cumi-cumi, teri, dan ikan ekor kuning.

Kota Baubau pada Mei 2019 juga mengalami inflasi sebesar 0,15 persen. Ada 10 komoditas yang memberikan sumbangan terbesar pada inflasi tersebut di antaranya yakni ikan gembung, bawang putih, telur ayam ras, cumi-cumi, ikan baronang, bawang merah dan angkutan udara.

Baca Juga : Kendari Catat Inflasi Tertinggi di September 2019

Kemudian, September 2019 Kota Kendari tercatat mengalami inflasi sebesar 0,47 persen tertinggi dibanding kota di pulau Sulawesi lainnya. Penyebab utamanya adalah tekanan harga pada kelompok bahan makanan sebesar 0,88 persen. Komoditas utamanya adalah sawi hijau, ketimun, bayam dan kangkung.

Data terakhir hingga Oktober 2019 menunjukkan komoditas seperti cakalang dan layang mengalami tekanan inflasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018. Bahkan capaian inflasi kedua komoditas

tersebut juga jauh di atas capaian sepanjang tahun 2018. Hal serupa juga terjadi pada komoditas bayam yang mengalami peningkatan yang sangat signifikan.

Meskipun demikian, Suharman menegaskan bahwa penurunan beberapa komoditas seperti ikan bandeng, telur ayam ras, bensin dan angkutan udara mampu menahan laju peningkatan tekanan inflasi.

Selain itu, upaya Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Sultra terus berusaha utuk menjaga nilai inflasi tetap berada pada kisaran 3,5 plus minus 1 persen.

Hal tersebut dilakukan dengan sidak harga secara rutin di pasar saat menjelang

hari besar keagamaan, menggelar pasar murah guna menjaga kestabilan harga di pasar serta menjamin arus barang berjalan optimal.

Pengamat Ekonomi Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari Syamsir Nur mengatakan, ada dua hal menyebabkan kedua komoditas tersebut sebagai penyumbang inflasi dengan nilai korelasi yang cukup tinggi yakni, dari sisi permintaan dan suplai.

Sisi permintaan sangat dipengaruhi dari budaya masyarakat Sultra yang gemar makan ikan dan sayur. Sehingga kebutuhan akan dua komoditas bahan makanan itu menjadi sangat tinggi. Akan tetapi, hal ini tidak diimbangi dari sisi suplai. Menurutnya, beberapa tahun terakhir produksi pertanian dan perikanan di Sultra mengalami penurunan yang berdampak pada tidak mampunya memenuhi kebutuhan pasar.

Produksi pertanian di Sultra seperti jenis sayuran banyak disuplai dari Kabupaten Konawe, Konawe Selatan (Konsel), Kolaka Timur (Koltim) untuk memenuhi kebutuhan di kota Kendari dan Kota Baubau. Faktor cuaca seperti banjir dan musim kemarau memberikan dampak terhadap jumlah produksinya.

“Artinya tidak berkelanjutan suplainya dari kabupaten, sehingga harga tidak stabil,” ungkap Syamsir saat dihubungi via telepon seluler, Kamis (5/12/2019).

Sementara itu, penurunan produksi tangkap ikan laut sektor perikanan juga menjadi alasan tekanan harga ikan di pasar. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pihaknya, bahwa alasan berkurangnya produksi ikan bukan hanya disebabkan masalah klasik yaitu kondisi cuaca buruk.

Data di lapangan menunjukkan para nelayan yang melaut di perairan Sultra adalah mereka yang dimodali oleh punggawa (pemodal) mulai dari upah yang mereka dapatkan, biaya bahan bakar dan biaya makan selama melaut. Bahkan ada pula pemodal yang memiliki kapal sendiri dan tinggal mencari nelayan yang bekerja untuknya. Sehingga, banyak nelayan yang menurunkan hasil tangkapannya di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kendari tidak memiliki kemampuan untuk menentukan harga.

“Ya hasilnya pasti punggawa ini yang akan menentukan harga jualnya ke konsumen,” katanya.

Permasalahan lain ditemukan bahwa ada kegiatan transitmen, yaitu aktivitas jual beli antar nelayan dan pengusaha di tengah laut. Syamsir menyebutkan bahwa nelayan ini adalah kebanyakan yang memiliki modal sendiri dan mampu menentukan nilai jual kepada pengusaha. Pertimbangan lain nelayan adalah mereka bisa mengurangi biaya operasional dan tak harus kembali ke darat.

“Kalau lebih jauh kita logikakan mereka pasti sudah perjanjian sebelumnya dengan para pengusaha,” ujarnya. Belum lagi pengusaha yang membeli ikan di tengah laut itu menjual ikannya di luar wilayah Sultra.

Syamsir menambahkan bahwa pemerintah harus mampu melihat realita tersebut di lapangan dan tidak hanya menjadikan permasalahan cuaca buruk sebagai kendala utama. (A)

 


Reporter: Ilham Surahmin
Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini