ZONASULTRA.COM, KOLAKA – Sertifikat tanah lokasi berdirinya Pondok Pesantren Ihya Assunnah Kolaka, di Kelurahan 19 November Kecamatan Wundulako, Kabupaten Kolaka saat ini tengah diributkan oleh pimpinan pondok pesantren, Muhammad Sutamin dan Mardin More.
Keributan tersebut sempat viral di media sosial, karena kehadiran sang anak pemilik lahan yang merupakan aparat TNI AL. Persoalan sengketa lahan tersebut bermula karena adanya saling klaim kepemilikan antara pimpinan pondok dan Mardin More.
Pimpinan Pondok Pesantren lhya Assunnah, Kolaka, Muhammad Sutamin mengatakan tanah seluas lebih dari 7.000 meter persegi itu adalah milik pondok pesantren, yang telah dibeli dari Mardin More pada April 2012, seharga Rp100 juta yang pembayarannya melalui transfer ke rekening Mardin More.
Baca Juga : Oknum TNI AL Diduga Todongkan Pistol ke Pimpinan Pesantren di Kolaka
“Ada bukti transfer, hanya saja kuitansi dan surat-surat lainnya tidak diserahkan ke kita,” ujar Sutamin ditemui di Pondok Pesantren lhya Assunnah Kolaka, Jumat (10/1/2020) kemarin.
Usai melakukan pembayaran, selanjutnya dilakukan penyerahan sertifikat tanah masih atas nama Mardin More kepada pihak pondok pesantren, yang dilakukan di masjid dan disaksikan oleh masyarakat.
Kemudian, pihak pondok pesantren mulai mendirikan bangunan pada Mei 2012, melakukan peresmian pondok pesantren pada Mei 2013, dan beroperasi pada Juli 2013. Namun dalam perjalanannya, pada Desember 2013 Mardin More mulai melayangkan gugatan secara lisan dengan meminta sertifikat tanahnya kembali.
Tak hanya itu, kata dia, Mardin More juga membuat laporan ke pelaksana desa, kecamatan, departemen agama, hingga pertanahan bahwa dirinya kehilangan sertifikat. Mengetahui hal tersebut, pihaknya kembali melaporkan bahwa sertifikat tersebut telah dialihhakkan ke pondok pesantren.
“Hanya saja kita belum sempat melakukan balik nama, karena tidak memiliki dana dan kesibukan setelah pesantren beroperasi,” tambahnya.
Menurutnya, Mardin More mengingkari adanya penjualan dan pembayaran, termasuk beralasan sertifikat itu masih atas namanya, serta dana yang diterima berasal dari donatur. Ia mengungkapkan bila wakaf yang ada sekarang ini, hanya sebagai pengganti akta jual beli yang disarankan oleh Mardin More saat itu. Selain itu, ia pernah meminta kuitansi namun Mardin More ngotot tidak memberikan.
Untuk diketahui, kasus tanah ini masih dalam proses sengketa dan saat ini berada di Mahkamah Agung. Sebab pada putusan Pengadilan Negeri Kolaka dan Pengadilan Tinggi Kendari, menyatakan gugatan Mardin More ditolak dengan status putusan NO (Niet Ontvankelijke Verklaard) atau gugatan tidak dapat diterima karena alasan gugatan mengandung cacat formil.
Sementara itu, Mardin More menegaskan bila tanah yang menjadi lokasi Pondok Pesantren lhya Assunnah, Kolaka adalah miliknya yang ditandai dengan sertifikat atas nama dirinya. Ia mengatakan hal tersebut, sambil memperlihatkan surat-surat dan denah tanah tersebut.
Mardin More menjelaskan, dirinya sudah sejak lama meminta sertifikat tanah tersebut baik melalui perantara berbagai pihak maupun dirinya secara pribadi. Namun tidak pernah ditanggapi oleh Muhammad Sutamin.
Ia menjelaskan pada Februari 2012 dirinya bersama Sutamin berencana mendirikan pondok pesantren. Namun, untuk meyakinkan donatur supaya memberikan bantuan, maka perlu ada lokasi yang disertakan dengan sertifikat. Akhirnya, dirinya meminjamkan sertifikat tanahnya kepada Sutamin dengan membuat surat wakaf sebagai syarat.
“Dengan tidak ada kecurigaan sama sekali, saya percayakan silakan dibawa ini sertifikat perlihatkan kepada donatur. Diambillah sertifikat itu sama dia, dibawa, jadi tidak diserahkan sama dia tapi saya pinjamkan untuk meyakinkan donatur,” jelasnya.
Setelah itu, Sutamin memberitahukan bila ada donatur yang siap membantu pembangunan pondok pesantren. Hanya saja besaran bantuannya belum diketahui pasti oleh dirinya. Belakangan, baru ia ketahui bila Sutamin mulai jalan sendiri.
Dirinya pun meminta Lurah 19 November supaya melakukan mediasi, tetapi saat diundang untuk mediasi, justru Sutamin tidak hadir dan hanya mengutus orang lain. Saat itulah, ia mengetahui ada kontrak dengan besaran dana senilai Rp540 juta antara Sutamin dan pihak donatur.
Mardin More menuturkan bahwa Sutamin mulai melakukan aktivitas menerima santri baru, akan tetapi belum ada izin operasional. Ia lalu menyarankan kepada Sutamin untuk tidak membuka penerimaan, sebelum keluar izin operasional. Namun oleh Sutamin tidak dihiraukan, sehingga Mardin mundur, karena dinilai tidak mengikuti regulasi dari pemerintah.
“Antara 2013 sampai 2015, saya bersabar untuk melakukan mediasi supaya kembali ke awal permasalahan, dengan mengikuti prosedur, tapi ternyata tetap ditolak. Sutamin tidak pernah hadir, jadi bagaimana mau ketemu penyelesaiannya,” ungkapnya.
Baca Juga : Oknum TNI AL Bantah Todongkan Pistol ke Pimpinan Pesantren di Kolaka
Mardin menyebutkan kalau dua gugatannya selalu ditolak di pengadilan, karena masing-masing beda luas ukuran tanah dan kurang pihak. Sehingga gugatannya ditolak dengan status putusan niet ontvankelijke verklaard. Akhirnya, ia melakukan kasasi di Mahkamah Agung.
Sedangkan, terkait dana Rp100 juta yang ditransfer di rekeningnya, Mardin mengaku uang tersebut bukan untuk membeli tanah. Kata dia, dana itu masih ada dan digunakan untuk pembiayaan pembangunan pondok serta pembiayaan yayasan, karena dirinya adalah pemilik sekaligus pendiri.
Ia menyebutkan di pengadilan pun, tidak bisa dibuktikan bila Sutamin membeli tanah tersebut, karena tidak ada kuitansi dan di dalam bukti transfer tidak ada kata yang menyebutkan pembelian tanah. Selain itu, tidak ada akta jual beli, dokumennya pun masih ada pada dirinya. (A)
Kontributor : Sitti Nurmalasari
Editor : Muhamad Taslim Dalma