ZONASULTRA.COM, KENDARI – Sejumlah praktisi hukum menilai aneh kebijakan Kepolisian Resor (Polres) Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang menangguhkan penahanan tersangka kasus pencabulan anak di bawah umur berinisial T (32).
Polisi beralasan karena tersangka kooperatif. Selain itu, polisi juga meyakini T tidak bakal melarikan diri.
Salah seorang praktisi hukum Dahlan Moga menyatakan, polisi harus mempertimbangkan alasan objektif dan subjektif dari pemberian penangguhan itu. Alasan objektif itu mengenai ancaman hukuman dan pasal perlindungan anak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
Ancaman hukuman dalam undang-undang itu minimal lima tahun penjara. Sehingga, menurut Dahlan, polisi seharusnya tidak mengabulkan penangguhan penahanan tersangka. Selain itu, alasan subjektif melepas tersangka untuk tidak di dalam jeruji perlu dipertimbangkan.
Pasalnya, kata Dahlan, jika alasan tersangka tidak akan melarikan diri maka polisi harus mempertimbangkan secara matang. Apalagi, tersangka saat ini tengah berada di Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) dengan jarak yang cukup jauh, dimungkinkan tersangka melarikan diri.
“Tentu ini alasan kepolisian untuk menangguhkan aneh, karena kejahatan seperti ini kan sudah cukup banyak contoh dilakukan penahanan, apalagi berkaitan dengan pencabulan terhadap anak, mana ada, kita temukan satu dari seribu mungkin,” tegas Dahlan Moga saat dihubungi melalui telepon, Senin (10/8/2020).
Dahlan pun mempertanyakan garansi dari penjamin tersangka. Ia mengatakan, penangguhan bisa diberikan terhadap tersangka dengan menggunakan alasan subjektif seperti apabila tersangka tengah sakit parah dan harus menjalani perawatan intensif.
“Jika dia masih kuat, jaraknya jauh dan tidak punya pekerjaan yang jelas tidak bisa dipakai alasan subjektif itu,” ucap Dahlan.
Pada pokok aturan, ia memandang sifat dari undang-undang perlindungan anak tersebut tidak memberikan ruang untuk penangguhan penahanan kepada pelaku kejahatan. Baginya, regulasi tersebut jelas mengatur tentang perlindungan anak dan generasi muda sejak usai dini dari tindakan kekerasan.
Dikatakannya, seharusnya penyidik langsung melimpahkan kasusnya di kejaksaan supaya cepat diproses hukum. Bukannya malah ditangguhkan. Dahlan pun bingung dengan sikap kepolisian. Ia melihat, dengan menetapkan tersangka berarti polisi sudah punya alat bukti yang cukup.
“Proses penangguhan itu kan bagi kepolisian karena dia ingin mengembangkan proses penyidikan itu untuk mencari bentuk-bentuk kejahatan baru yang akan diproses, kemudian (polisi) kurang yakin sehingga ingin menambah alat bukti,” ujarnya.
Senada dengan itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kendari, Anselmus Masiku menilai pencabulan anak di bawah umur masuk dalam kategori kasus lex specialis, sehingga polisi tidak boleh menyamakan dengan kasus pidana umum.
“Sebenarnya kasus ini adalah lex specialis, jadi tidak boleh dipersamakan perlakuannya dengan kasus pidana umum, seperti pencurian, penggelapan. Apalagi korbannya adalah anak di bawah umur,” kata Anselmus melalui telepon, Senin (10/8/2020).
Menurut Ansel, tersangka kasus pencabulan anak di bawah umur harusnya wajib ditahan. Ia meragukan pihak penjamin yang tidak bisa menggaransi tersangka tidak mengulangi perbuatannya atau melakukan tindak pidana yang lain.
Di sisi lain, kata dia, korban juga bisa trauma saat melihat tersangka berkeliaran. Bisa juga berakibat fatal karena dikhawatirkan keluarga korban merasa ada ketidakadilan dan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Ia pun merasa aneh dengan keputusan pihak kepolisian.
Jika alasan polisi menangguhkan penahanan karena tersangka kooperatif, Anselmus menyebut, hal itu tak cukup kuat untuk menjadi alasan. Sebab, tersangka lain di kasus yang sama pun akan kooperatif.
“Alasannya jangan terlalu mengada-ada, kalau alasannya kooperatif, sebenarnya semua orang bisa kooperatif, karena kalau kasus seperti ini kebanyakan tersangkanya kooperatif. Jadi kalau alasannya itu, tidak cukup beralasan,” sambungnya.
Anselmus menegaskan kewenangan penangguhan penahanan oleh polisi terus memicu persoalan. Kata dia, polisi selalu menggunakan hak diskresi yang dia anggap adalah hak abu-abu. Sebab tidak berlaku terhadap tahanan lain.
“Hak diskresi ini abu-abu, dan bisa menjadi pisau bermata dua. Bisa menguntungkan tersangka, tapi juga bisa merugikan korban,” tutup dia.
Sebelumnya, tersangka pencabulan anak di bawah umur berinisial T (32) diduga dilepas kembali oleh Polres Kendari. Tersangka terlihat di pelabuhan Wawonii saat turun dari kapal feri rute Kendari-Konawe Kepulauan, Jumat (7/8/2020) malam.
Padahal, tersangka pencabulan terhadap anak berusia 15 tahun ini sempat ditahan selama enam hari pada 1 Agustus 2020 lalu. Polisi juga baru menetapkan T sebagai tersangka lebih dari satu bulan pasca-pelaku tertangkap basah bersama pelaku di dalam kamar hotel pada 26 Juli 2020.
Kepala Satuan Reserse dan Kriminal (Kasatreskrim) Polres Kendari AKP Muhammad Sofwan Rosyidi membenarkan bahwa pihaknya menangguhkan penahanan tersangka karena ada pengajuan dari pihak tersangka.
“Kooperatif tersangkanya. Belum pernah ada pemanggilan dia datang sendiri, sehingga kami nilai kooperatif, kita tidak khawatir dia melarikan diri,” terang M Sofwan Rosyidi saat dihubungi melalui telepon, Minggu (9/8/2020). (A)
Reporter: Fadli Aksar
Editor: Jumriati