ZONASULTRA.COM, KENDARI – Kepolisian Sektor (Polsek) Baruga, Kota Kendari menahan AR (55) terduga pelaku penyekapan anak RI (11) yang tidak lain adalah keponakannya sendiri. RI sendiri merupakan anak yatim piatu yang diasuh oleh tersangka.
Kapolsek Baruga AKP I Gusti Komang Sulastra mengatakan, AR terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka sebelum akhirnya ditahan. AR disangka melanggar undang-undang tentang perlindungan anak nomor 17 tahun 2016.
“Tapi bagi siapa saja yang ingin mengajukan penangguhan penahanan dipersilahkan, dengan pertimbangan usia, sakit dan tidak melarikan diri,” ujar AKP I Gusti Komang melalui telepon, Kamis (12/11/2020).
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kendari Anselmus AR Masiku menilai kasus domestik atau rumah tangga seperti itu tidak wajib untuk ditahan meski dalam Undang – Undang mensyaratkan wajib ditahan. Apalagi jika tante RI hanya ingin memberikan pembinaan dan pendidikan.
“Polisi jangan menjadi corong undang-undang, yang menjadi corong undang-undang itu cuma hakim. Harus ditahu betul apakah konteksnya untuk mendidik, maka tidak patut ditahan,” kata Ansel saat dihubungi melalui telepon.
Dia menjelaskan, penahanan juga dinilai tidak efektif dan tujuan hukum mengenai kemanfaatan bisa tidak tercapai, ketika sang tante itu bertindak sebagai pencari nafkah bagi anak itu. Belum lagi jika, ibu asuh tersebut kurang mendapat informasi dalam mendidik anak.
Anselmus menyarankan agar kepolisian ataupun pemerintah, harus melakukan upaya lain, seperti membawa masalah ini di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). RI bisa dititip di rumah aman ketika ada kekhwatiran kasus itu terulang kembali.
“Jadi dipisahkan bukan dalam konteks ditahan karena dia juga mencari untuk anak itu. Tapi anak itu yang dibawa ke rumah aman untuk dipisahkan dari orang tuanya. Dalam kasus rumah tangga seperti ini penahanan itu upaya terakhir,” tegas dia.
Ansel meminta aparat penegak hukum agar tidak menegakan hukum hanya karena suatu masalah viral di media sosial traile by medsos. Ia berharap polisi melihat kasusnya lebih jernih. Katanya, tidak melakukan penahanan, tidak menghalangi polisi melakukan upaya lain seperti diversi.
“Diversi dengan alternatif dispute resolution (ADR) dalam konteks penyelesaian kasus yang dilakukan orang tua terhadap tanpa melalui peradilan pidana bisa dilakukan. ADR itu juga diatur dalam surat edaran Kapolri nomor 8 tahun 2018 tentang penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana,” pungkas dia.
Dikutip dari Hukumonline.com, diversi dalam undang-undang sistem peradilan pidana anak (SPPA) dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.
Diversi secara tegas disebut dalam pasal 5 ayat 3 bahwa dalam sistem peradilan pidana anak wajib diupayakan diversi. Pasal 8 ayat 1 undang-undang SPPA juga telah mengatur bahwa proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya.
Selanjutnya melibatkan korban dan atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.
Diversi ini bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Diversi itu hanya dilakukan dalam hal tindak pidana yang dilakukan sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat 2 antara lain diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Sebelumnya, seorang anak yatim piatu RI (11) ditemukan warga di dalam sebuah kios dengan kondisi mulut dililit lakban, tangan dan kaki dirantai besi yang dikunci gembok di Pasar Baruga, Kota Kendari, Minggu (8/11/2020). (a)
Reporter: Fadli Aksar
Editor: Rizki Arifiani