ZONASULTRA.COM, KENDARI – Dalam rangka mendukung ketahanan pangan dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI terus mendukung pengembangan ekosistem padi.
Direktur Bisnis Kecil dan Menengah BRI Amam Sukriyanto, menyampaikan bahwa BRI selalu berkomitmen pada sektor UMKM, termasuk pertanian dan rantai pasoknya.
Hingga triwulan II 2021, BRI telah menyalurkan kredit kepada sektor pertanian sebesar Rp117,54 triliun atau sebesar 28,03 persen dari penyaluran bank secara nasional untuk sektor pertanian. Jumlah tersebut tumbuh 12,8 persen secara year in year.
Bahkan khusus pembiayaan ekosistem beras dan RMU, sampai dengan Juni 2021, BRI telah menjangkau 40.798 nasabah yang penyaluran kreditnya mencapai Rp4,1 triliun, yang terdiri dari fasilitas KUR untuk Petani, KUR dan Kupedes kepada koperasi dan kios sarana produksi pertanian (saprodi); maupun Kredit Investasi (KI) dan Kredit Modal Kerja (KMK) untuk pengusaha penggilingan padi dan distributor beras.
BRI sendiri menggelar seminar secara daring bertajuk “Memperkuat Klaster Bisnis Padi Indonesia” pada Jumat (13/8/2021) kemarin.
Kegiatan ini sebagai bentuk dukungan nyata bagi petani dan pelaku UMKM, serta pengembangan Klaster UMKM unggulan untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
Seminar ini juga bertujuan untuk membedah permasalahan dan tantangan seputar bisnis padi mengingat padi sebagai makanan pokok mayoritas masyarakat Indonesia merupakan komoditi penting bagi ketahanan pangan nasional.
Mengangkat tema ketahanan pangan, seminar menyedot peserta dari berbagai kalangan diantaranya petani, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), anggota Perpadi, anggota dan pengurus Koperasi, Bumdes, UMKM binaan BRI, pekerja BRI, mahasiswa dan pelajar, serta masyarakat umum. Turut hadir sebagai pembicara Direktur Bisnis Kecil dan Menengah BRI Amam Sukriyanto, Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Jamhari, serta Direksi PT Biogene Plantation Nasikin.
Sebagai akademisi, Jamhari mengungkapkan kajiannya bahwa terdapat dua permasalahan utama dalam bisnis padi. Permasalahan pertama yaitu increasing demand dan decreasing capacity telah terjadi saat ini, dan diperkirakan gap-nya akan semakin lebar di masa depan.
“Increasing demand disebabkan karena pertumbuhan penduduk. Namun hal ini tidak diiringi kenaikan supply, yang disebabkan karena berkurangnya lahan persawahan, berkurangnya profesi petani dan adanya pergeseran ekonomi dari agraris ke non agraris,” jelasnya
Lebih lanjut dirinya menjelaskan adanya permasalahan kedua yaitu inefisiensi proses produksi dan pengolahan padi. Saat ini kebutuhan nasional padi merata di seluruh Indonesia, namun produksi padi kebanyakan dilakukan di pulau Jawa oleh petani perorangan, dan dengan luasan lahan yang terbatas (rata-rata kurang dari 0,5 ha per petani). Hal ini menyebabkan produksi padi kurang efisien.
Untuk mengatasi hal ini, terdapat beberapa model tata kelola bisnis padi yang dapat diimplementasikan, yaitu Cooperative Farming (yang saat ini banyak dijalankan di Indonesia, dimana lahan tetap dikuasai petani dan dilakukan penguatan manajemen kelompok tani), Contract Farming (kerjasama antara petani dengan perusahaan mitra yaitu BUMN, BUMD, BUMDES, Swasta), serta Corporate Farming (penguasaan dan pengelolaan lahan oleh lembaga berbadan hukum, petani sebagai pemegang saham dan tenaga kerja).
Sementara itu, Nasikin selaku Direksi PT Biogene Plantation yang memproduksi benih padi, memberikan ulasan tentang pendampingan dan penguatan kelompok petani padi untuk meningkatkan produktivitas. Petani juga perlu bersinergi dengan Rice Mill Unit (RMU) / penggilingan padi.
Untuk mencapai kerjasama saling menguntungkan antara kelompok tani dan RMU, dibutuhkan skala ekonomi gabungan kelompok tani dengan luas lahan minimal 300 ha. Dirinya menyampaikan, secara umum permasalahan di bisnis padi adalah panen hanya 3 kali setahun, namun RMU harus memenuhi kebutuhan pasar sepanjang tahun.
“Maka dibutuhkan support permodalan bagi RMU untuk membeli persediaan gabah dan membangun sarana penyimpanan”, ulasnya.
Di sisi lain Sutarto Alimoeso Ketua Umum Perpadi mewakili pengusaha di bisnis Padi, menegaskan bahwa padi memiliki korelasi langsung kepada inflasi, sehingga Pemerintah memiliki kepentingan untuk menjaga kestabilan pasokan padi dan harga beras. Permasalahan saat ini adalah masa panen puncak terjadi di musim hujan, sedangkan kapasitas mesin pengering di RMU masih terbatas (94 % atau 171.495 dari 182.199 RMU berupa skala kecil yang tidak memiliki sistem pengeringan yang baik).
“Sebenarnya jumlah RMU sudah over capacity, namun RMU yang ada memiliki keterbatasan teknologi sehingga tidak dapat menghasilkan beras dengan kualitas premium. Hal ini menyebabkan potensi susut pasca panen masih relatif tinggi (di kisaran 3,25-2,8 persen). Diperlukan upaya revitalisasi RMU agar pengolahan beras menjadi efektif dan mampu menghasilkan beras kualitas premium,” ujarnya.
Amam menambahkan, ekosistem Klaster Padi ini akan efisien apabila masing-masing pihak dalam mata rantai bisnis ini bisa mendapatkan supply yang sesuai dengan kebutuhannya, secara tepat waktu dan tepat jumlah. Apabila ada salah satu yang terhambat, maka akan mengganggu pelaku usaha lainnya dalam ekosistem ini.
Hasil diskusi seminar tersebut mengungkap bahwa implementasi manajemen keuangan yang baik merupakan hal yang penting dalam pengembangan ekosistem Klaster Bisnis Padi.
Namun faktor permodalan bukan satu-satunya penentu keberhasilan, diperlukan juga inovasi sosial, ekonomi dan teknologi. Sinergi antara seluruh stakeholders dalam ekosistem bisnis padi sangat dibutuhkan untuk merevitalisasi bisnis padi dan mendukung ketahanan pangan nasional. (*)