Komoditas Ekspor, Lahan Budi Daya Porang di Sultra Capai 612 Hektare

Komoditas Ekspor, Lahan Budi Daya Porang di Sultra Capai 612 Hektare
Distanak Sultra - Dari kiri ke kanan, Kepala Bidang (Kabid) Tanaman Pangan Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan (Distanak) Sultra, Djodji Paat, Kepala Seksi (Kasi) Perbenihan dan Perlindungan Tanaman Distanak Sultra, Abdul rahim, Kasi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Distanak Sultra, Sahrudin dan Pengolah data Distanak Sultra, Isnaini saat ditemui di kantornya pada Rabu (25/8/2021).(ISMU/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Porang kini makin populer dan jadi komoditas ekspor. Tumbuhan itu bahkan disebut sebagai pengganti beras di masa depan oleh Presiden Joko Widodo saat berkunjung di pabrik pengolahan tanaman umbi-umbian porang, PT Asian Prima Konjac, Kota Madiun, Jawa Timur (Jatim), Kamis (19/8/2021).

Selanjutnya, sebanyak 12 wilayah di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) telah terdaftar oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sultra melalui Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan (Distanak) Sultra per Agustus 2021.

Kepala Bidang Tanaman Pangan Distanak Sultra, Djodji Paat mengatakan bahwa data yang diperoleh tersebut berdasarkan laporan dari masing-masing petani dan kelompok tani tumbuhan porang masing-masing daerah di Sultra. Kata dia, berdasarkan data yang ada, luas lahan tanaman porang terbesar di Sultra yaitu di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) seluas 158,50 hektare.

“Data yang tercatat saat ini untuk luas tanaman porang di Sultra seluas 612,80 hektare yang tersebar di 12 kabupaten kota,” ucapnya saat ditemui di kantornya pada Rabu (25/8/2021).

Adapun 12 wilayah yang terdata telah membudidayakan tanaman Porang yaitu Buton 15,80 hektare (ha), Muna 32,25 ha, Konsel 158,50 ha, Bombana 150,00 ha, Kolaka Utara (Kolut) 11,00 ha, Kolaka Timur (Koltim) 97,00 ha, Konawe Kepulauan (Konkep) 101,00 ha, Muna Barat (Mubar) 15,50 ha, Buton Tengah (Buteng) 11,50 ha, Buton Selatan (Busel) 18,50 ha, Kendari 8, 75 ha, Baubau 20,00 ha. Sementara itu, daerah yang belum melaporkan adanya pembudidayaan Porang yaitu Konawe, Kolaka, Wakatobi, Buton Utara (Butur) dan Konawe Utara (Konut).

Selain itu, Kepala Seksi (Kasi) Perbenihan dan Perlindungan Tanaman Distanak Sultra, Abdul rahim juga mengatakan bahwa pembudidayaan Porang di Sultra masih dilakukan secara swadaya oleh para petani lokal dan belum tersentuh oleh bantuan pemerintah.

“Yang menjadi kendala saat ini adalah bibitnya, karena belum ada bibit yang bersertifikat legal, baru di Madiun benih yang dilepas bersertifikat. Kita masih menggunakan bibit lokal,” ucapnya.

Kata dia, itulah sebabnya sampai saat ini belum ada bantuan dari pemerintah terkait penyediaan bibit porang tersebut. Karena untuk menggunakan anggaran negara, bibit yang akan dibeli harus bersertifikat bibit unggul.

Selain itu, Rahim juga mengatakan bahwa selain bibit yang belum bersertifikat, pemerintah juga sedang memproritaskan masalah kesehatan terkait dengan pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung saat ini. Menurutnya kesehatan masyarakat merupakan hal besar yang harus diprioritaskan sehingga belum ada anggaran yang disediakan untuk porang.

“Harus diakui memang anggaran khusus tanaman porang itu sendiri memang belum ada, padahal komoditas porang ini menjadi unggulan karena orientasinya akan memberikan kesejahteraan bagi para petani,” tambahnya.

Kasi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Distanak Sultra, Sahrudin mengungkapkan bahwa di Sultra saat ini para petani porang memasarkan hasilnya pada pembeli yang berasal dari luar Sultra yang datang langsung membeli. Kata dia, dari pemerintah sendiri belum ada wadah untuk menampung hasil panen dari para petani lokal.

“Biasanya para pembeli dari luar yang datang,” ucapnya.

Untuk ekspor sendiri, Sultra telah mengekspor perdana untuk tanaman porang ini sebanyak 100 ton yang berasal dari wilayah Konkep. Sementara negara tujuan ekspor yaitu Cina dan Korea yang terbesar.

Untuk diketahui, di Sultra untuk penjualan porangnya masih dalam bentuk bahan mentah karena pemerintah belum menyediakan sarana dan prasarana untuk mengolah menjadi bahan setengah jadi ataupun bahan jadi. Hal itu dikarenakan membutuhkan biaya yang besar sehingga masih diserahkan ke pihak swasta untuk mengelolanya.(A)


Penulis: M11
Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini