Kasus di Luwu Timur Adalah Bagian Kecil dari Banyaknya Kasus Kekerasan Seksual

Kasus di Luwu Timur Adalah Bagian Kecil dari Banyaknya Kasus Kekerasan Seksual
Ilustrasi penghentian proses penyelidikan oleh polisi dalam kasus kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. (Project M/Muhammad Nauval Firdaus - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Isu kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Luwu Timur viral seminggu terakhir di media sosial. Polemik muncul di tengah masyarakat karena laporan media dilawan dengan mempublikasikan data ibu korban dan karya jurnalisme investigasi dinyatakan hoaks di Instagram @humasreslutim.

Menurut catatan Koalisi Anti Kekerasan Perempuan dan Anak Sulawesi Tenggara (Sultra), kasus kekerasan seksual di Luwu Timur hanyalah bagian kecil dari kasus kekerasan seksual yang tidak tertangani dengan baik di Indonesia saat ini. Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sultra sendiri meningkat tajam pada masa pandemi Covid-19.

“Dinas Pemberdayaan Perempuan Provinsi Sulawesi Tenggara mengungkapkan kasus kekerasan perempuan dan anak meningkat 100 persen pada masa pandemi Covid-19. Laporan kekerasan perempuan yang tercatat pada tahun 2020 sebanyak 240 kasus meningkat dari tahun 2019 sebanyak 140 kasus. Data itu yang terlapor, namun ada banyak kasus yang tidak dilaporkan,” jelas Koalisi Anti Kekerasan Perempuan dan Anak melalui keterangan tertulis pada, Senin (11/10/2021).

Survei tentang kekerasan seksual yang diadakan Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene menemukan bahwa 93 persen penyintas kekerasan seksual tidak pernah melaporkan kasus mereka ke penegak hukum. Korban cenderung takut bersuara karena malu, adanya relasi kuasa tidak seimbang serta pembuktian kasus yang rumit. Oleh karena itu menurut koalisi ini, Indonesia membutuhkan payung hukum tentang kekerasan seksual yang lebih spesifik dan menyeluruh, agar menjadi viral via media sosial bukan satu-satunya jalan keluar.

Terkait kasus di Luwu Timur, Koalisi Anti Kekerasan Perempuan dan Anak Sultra yang terdiri dari Yayasan Lambu Ina Sultra, Solidaritas Perempuan Kendari, Suluh Perempuan Kendari, dan organisasi Perempuan Pesisir Sultra menyampaikan beberapa tuntutan. Mereka meminta Kapolri mengambil alih penanganan perkara kekerasan oleh ayah kandung di Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel). Kapolda Sulsel juga diminta menjatuhkan sanksi tegas untuk oknum admin humas Polres Luwu Timur yang telah mempublikasikan identitas ibu korban dan menyatakan karya jurnalisme investigasi sebagai hoaks lewat media sosial instagram.

“Kami juga menuntut Pemerintah Luwu Timur menjatuhkan sanksi tegas terhadap pelaku kekerasan seksual yang merupakan salah satu ASN. Kemudian UPTD PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Sulawesi Selatan memberikan layanan pemulihan kepada korban kekerasan seksual dan ibunya,” kata Anggota Koalisi Anti Kekerasan Perempuan dan Anak, Mutmainna.

Kemudian lanjut dia, Komnas Perempuan, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) harus terus mengawasi jalannya proses penanganan kasus dan menjamin perlindungan korban dan ibunya di Luwu Timur. Koalisi ini juga mendesak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual dan ibunya.

“Kami menuntut pemerintah agar serius dalam menangani kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan seluruh daerah dan menciptakan ruang aman bagi perempuan dan anak. Pemerintah dan DPR perlu mengesahkan Rancangan Undang – Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual berdasarkan draf awal pengajuan,” kata Mutmainna.

Sebelumnya, satu tulisan investigasi terbit melalui link: https://projectmultatuli.org/kasus-pencabulan-anak-di-luwu-timur-polisi-membela-pemerkosa-dan-menghentikan-penyelidikan/. Laporan ini tentang kasus dugaan pemerkosaan seorang ayah terhadap tiga anaknya. Dalam tulisan itu dijelaskan, ibu tiga anak tersebut berjuag agar kasus itu diproses hukum namun polisi justru menghentikan penyelidikan dengan alasan tidak menemukan bukti yang diperkuat dengan hasil visum.

Keanehan dalam kasus itu mencuat dengan adanya bukti surat rujukan dari rumah sakit yang menunjukkan adanya tanda-tanda kekerasan seksual, bahkan ibu korban menyimpan video dan foto jejak-jejak kekerasan seksual yang dialami ketiga anaknya itu.

Berdasarkan siaran pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI), website Projectmultatuli.org terindikasi mendapat serangan digital pada Rabu, 6 Oktober 2021 pulul 18.00 WIB. Sepanjang malam itu banyak pembaca mengeluh tidak bisa mengakses berita tersebut. Semula tim Project Multatuli mengira hal tersebut terjadi karena masalah kapasitas server yang tidak memadai, namun pada pagi 7 Oktober baru bisa dikonfirmasi ada serangan DDos terhadap website Projectmultatuli.org.

Serangan tersebut bisa dikonfirmasi ketika situsweb dibanjiri data yang polanya bukan seperti manusia. Ini menyebabkan netizen tidak bisa mengakses laporan pertama dari serial #PercumaLaporPolisi dengan judul berita “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan” yang tayang sejak sore sekitar pukul 16.00 WIB.

Selain serangan DDoS, sekitar pukul 20.00 WIB, akun @humasreslutim menuliskan komentar di Instagram yang berisikan “klarifikasi” tentang pemberitaan Project Multatuli. Namun akun tersebut menuliskan secara gamblang nama pelapor (yang sudah ditulis dengan nama samaran Lydia di artikel), sehingga tim Project M memilih untuk menghapus komentar tersebut dan mempersilakan @humasreslutim berkomentar tanpa menyebutkan nama ibu para korban.

Sekitar 20 menit kemudian tim Project M mendapatkan laporan dari pembaca yang membagi berita di media sosial mereka mendapatkan DM dari @humasreslutim yang menyebabkan beberapa pembaca merasa tidak nyaman.

Pukul 21.00 WIB, akun @humasreslutim mengunggah konten di story yang menyatakan reportase Project M tersebut adalah hoaks. Tak berselang lama, sejumlah akun berkomentar di Instagram ramai ramai menyebutkan bahwa berita itu hoaks.

Laporan yang dicap hoaks oleh Polres Luwu Timur bercerita tentang Lydia, bukan nama sebenarnya, yang telah melaporkan mantan suaminya untuk dugaan pemerkosaan pada ketiga anaknya yang masih di bawah usia 10 tahun. Lydia mengadu ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Luwu Timur, lalu melaporkan ke Polres Luwu Timur. Di kedua institusi ini Lydia mengatakan dia tidak mendapatkan keadilan. Ia bahkan dituding punya gangguan kesehatan mental.

Mantan suaminya yang merupakan aparatur sipil negara di kantor dinas pemerintahan Luwu Timur, Sulawesi Selatan biasa menjemput anak anak Lydia saat sepulang sekolah dengan memberi jajan atau makanan. Ketiga anak Lydia masih di bawah umur 10 tahun.

Oktober 2019, anak anaknya mengeluh sakit dan menceritakan kepada ibunya perlakuan mantan suaminya kepada mereka. Sejak saat itu Lydia melaporkan kasus tersebut ke Polres Luwu Timur, namun pada 10 Desember 2019, polisi menghentikan proses penyidikan dan tidak melihat atau mengabaikan semua bukti foto yang disampaikan Lydia. Bahkan kemudian mencap laporan yang diterbitkan di website Projectmultatuli.org adalah hoaks.

Menyikapi hal tersebut, AJI Indonesia menyatakan mengecam Polres Luwu Timur yang memberikan cap hoaks terhadap berita yang terkonfirmasi. Laporan tersebut telah berdasarkan penelusuran dan investigasi kepada korban dengan melalui proses wawancara dengan pihak terkait, termasuk kepolisiaran Luwu Timur. Stempel hoaks atau informasi bohong terhadap berita yang terkonfirmasi, merusak kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme profesional, yang telah menyusun informasi secara benar sesuai Kode Etik Jurnalistik. Tindakan memberi cap hoaks secara serampangan terhadap berita merupakan pelecehan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap jurnalis. Pasal 18 Undang-undang Pers menjelaskan sanksi pidana bagi orang yang menghambat atau menghalangi jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Adapun ancaman pidananya yaitu penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta rupiah.

AJI Indonesia mendesak Polres Luwu Timur mencabut cap hoaks terhadap berita yang terkonfirmasi tersebut, serta menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Pelabelan hoaks akan membuat pers menjadi takut dalam membuat berita atau dikhawatirkan memicu praktik swasensor. Upaya yang dapat mengarah kepada pembungkaman pers ini pada akhirnya dapat merugikan publik karena tidak mendapatkan berita yang sesuai fakta.

AJI Indonesia juga mengimbau kepada jurnalis dan media agar mematuhi Kode Etik Jurnalistik serta mengacu pada pedoman liputan ramah anak yang diterbitkan Dewan Pers dalam memberitakan kasus pencabulan terhadap tiga anak oleh ayahnya di Luwu Timur. Yakni, jurnalis tidak menuliskan identitas/nama hingga alamat lengkap anak korban pelecehan seksual termasuk nama ibunya sebagai pelapor. Menyebut inisial pun bisa membahayakan pelapor dan ketiga anaknya. (*)

Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini