Kasus Pelecehan Mahasiswi UHO, Komnas Perempuan Minta UU TPKS Diterapkan

Kasus Pelecehan Mahasiswi UHO, Komnas Perempuan Minta UU TPKS Diterapkan
Theresia Iswarini

ZONASULTRA.ID, KENDARI – Komisi Nasional (Komnas) Perempuan angkat bicara soal kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh oknum dosen Universitas Halu Oleo (UHO) kepada mahasiswinya.

Komisioner Komnas Perempuan periode 2020-2024, Theresia Iswarini mengatakan bahwa kasus yang menimpa salah satu mahasiswi UHO tersebut bisa mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang disahkan pada 9 Mei 2022 karena masuk pelecehan seksual.

“Kalau kita melihat UU TPKS di pasal 4 ayat 1 poin b kan itu masalah pelecehan seksual fisik. Ini juga memang yang harus dipahami juga oleh aparat penegak hukum sebenarnya untuk melihat kasus ini,” ucap Theresia pada Zonasultra.id melalui telepon seluler pada Minggu (24/7/2022).

Selanjutnya, sesuai dengan yang dialami korban tercantum pada pasal 4 ayat 2 poin d yang disebutkan bahwa perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban. Pada pasal 6 juga dijelaskan terkait pidana yang diterima pelaku akibat pelecehan seksual fisik.

Pada poin a dijelaskan bahwa pelaku dapat menerima pidana paling lama 4 tahun penjara dengan denda paling banyak Rp500 juta. Poin b pidana paling lama 12 tahun penjara dengan denda paling banyak Rp300 juta.

Theresia juga mengatakan bahwa penting bagi kampus untuk melihat fenomena ini. Menurutnya, jika oknum dosen tersebut dalam konteks sebagai terduga pelaku, kampus bisa menonaktifkan terduga pelaku sebagai dosen sampai kasus tersebut diselesaikan oleh kepolisian.

Hal tersebut guna memberikan ruang transparansi dan akuntabilitas dari kampus untuk betul-betul serius menangani kasus tersebut. Meskipun kejadiannya berada di luar wilayah kampus, namun masih dalam konteks konsultasi atau bimbingan perkuliahan.

Ia juga menyebut bahwa kampus harus segera membentuk Satgas, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Pasalnya, kasus tersebut melibatkan dosen yang berpengaruh dan punya relasi kuasa. Korban juga memiliki hak untuk memperoleh pemulihan, penanganan dan perlindungan, sebelum dan selama proses peradilan.

“Ketika korban melaporkan ke polisi, ingat, korban bisa trauma, dia juga bisa bingung karena tidak setiap orang berani berhadapan dengan polisi. Ini yang betul-betul diperhatikan, jangan sampai orang yang melapor mendapatkan intimidasi karena itu berpotensi,” tambahnya.

Theresia mengungkapkan bahwa kasus tersebut menambah daftar kekerasan seksual yang terjadi di wilayah kampus. Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan seksual di kampus menjadi yang terbanyak pada 2021 dari total kekerasan seksual di lembaga pendidikan sebanyak 9 kasus.

Meskipun angka tersebut fluktuatif dari tahun 2020 yang tercatat sebanyak 17 kasus, wilayah kampus menempati urutan pertama dengan persentase 35 persen, disusul pesantren urutan kedua sebanyak 16 persen serta level SMA/SMK sebanyak 15 persen.

Ia juga menyebut bahwa satu studi yang dilakukan oleh sebuah koalisi jaringan masyarakat sipil yang mendapatkan hasil dan temuan bahwa kampus menempati urutan ketiga terbanyak setelah ruang publik atau jalanan dan transportasi umum.

Kata Theresia, hal tersebut menjadi keprihatinan besar. Pasalnya kampus dan orang yang harusnya menjadi pelindung, pengayom, yang dihormati, ternyata menjadi pelaku. Ia berharap UU TPKS ini lebih banyak disosialisasikan utamanya di tingkat daerah karena semakin banyak yang melaporkan kekerasan seksual maka memperlihatkan keberanian serta kinerja layanan serta penanganan kasus tersebut didorong agar lebih baik. (A)


Kontributor: Ismu Samadhani
Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini