ZONASULTRA.ID, LABUNGKARI – Kabupaten Buton Tengah (Buteng), Sulawesi Tenggara (Sultra) menyimpan sejuta pesona wisata yang menarik. Tak hanya keindahan pantai dan gua-gua yang menakjubkan, Buton Tengah juga memiliki objek wisata religi yang unik, yakni makam Sangia Wambulu.
Kawasan Makam Sangia Wambulu ini terletak di Desa Baruta, Kecamatan Sangia Wambulu, Buton Tengah. Desa Baruta sendiri sudah ditetapkan sebagai salah satu desa wisata di daerah itu.
Desa Baruta memiliki penduduk sekitar 400-an jiwa dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 170.
Sangia Wambulu merupakan salah satu tokoh agama Islam di zaman Kesultanan Buton. Sangia Wambulu yang disebut memiliki nama asli La Ode Ali ini merupakan putra Buton pertama yang menjadi imam Masjid Agung Keraton Buton.
Imam Makam Sangia Wambulu, Hamzah, bercerita, Sangia Wambulu dikenal memiliki pemikiran yang luas. Karena pemikirannya tersebut, ia hendak diberi jabatan. Namun, Sangia Wambulu menolaknya karena ia tidak mau jabatan itu menjadikannya terkenal dan disanjung. Ia pun bersembunyi di hutan belantara.
Sebelum wafat, Sangia Wambulu berwasiat agar makamnya dirawat dan diziarahi dua kali seminggu, setiap Rabu dan Jumat usai salat asar.
Ritual ziarah yang dimaksud, yakni membaca Surah Al Fatihah, lalu Al Ikhlas 100 kali, kalimat tahlil 100 kali, selanjutnya berdoa untuk keselamatan arwah serta keselamatan satu kampung agar terus dilindungi oleh Allah SWT.
Ritual ziarah itu, kata Hamzah, hanya boleh dilakukan oleh dirinya selaku imam sekaligus garis keturunan ke-8 Sangia Wambulu. Selain dirinya, juga bisa dilakukan oleh Kabolosi, yaitu perempuan yang menjaga dan merawat makam Sangia Wambulu beserta perangkatnya sebanyak sepuluh orang janda yang sudah menopause.
Uniknya, untuk memasuki kawasan makam, pengunjung harus mendapatkan izin dari penjaga dan diantar langsung oleh Kabolosi ini.
Kabolosi, kata Hamzah, tidak boleh ke mana-mana, hidupnya hanya berada di makam Sangia Wambulu.
Saat ini Kabolosi makam Sangia Wambulu bernama Kudusia, berumur sekitar 64 tahun. Aktivitasnya sehari-hari hanya di kawasan makam, seperti memasak yang dilakukannya bersama sepuluh orang janda.
“Kabolosi itu artinya silih berganti. Jika ada yang meninggal maka orangnya diganti dari keturunannya. Perangkatnya pas 10 orang janda, tidak boleh lebih dan kurang. Imam juga begitu jika meninggal yang ganti harus garis keturunannya,” terang Hamzah.
Tak ada yang tahu pasti kapan Sangia Wambulu wafat, namun menurut cerita orang tua dulu, ia wafat sekitar 300-an tahun lalu.
Kawasan makam Sangia Wambulu memiliki luas sekitar 300×300 meter. Di dalam kawasan ini terdapat makam pengikut Sangia Wambulu. Di kawasan ini juga tumbuh pohon besar yang diperkirakan sudah berusia puluhan tahun.
Untuk sampai ke kawasan makam Sangia Wambulu ini, dari Kota Baubau membutuhkan waktu satu jam perjalanan, baik laut maupun darat. Sedangkan dari Labungkari juga bisa ditempuh satu jam perjalanan darat, baik roda dua maupun roda empat.
Dikunjungi Wisatawan Luar Negeri
Menurut Hamzah, sudah banyak wisatawan yang datang berziarah ke makam Sangia Wambulu. Tak hanya orang Indonesia, ada juga wisatawan dari Turki dan Arab.
Dikatakan Hamzah, wisatawan yang datang berziarah biasanya menyumbang sesuai keikhlasan. Sumbangan itulah yang digunakan Kabolosi untuk biaya keperluan ziarah. “Biasanya banyak yang datang selepas hari raya,” kata Hamzah.
Tak sedikit yang menyebut ziarah ke makam Sangia Wambulu sebagai perbuatan syirik, namun Hamzah menegaskan, pihaknya sama sekali tidak menduakan Tuhan. Ia hanya menjalankan wasiat. “Mereka yang datang juga murni untuk ziarah. Kita juga tidak meminta apa-apa di makam, hanya berdoa,” ujarnya.
Ke depan jika pemerintah daerah maupun pemerintah desa hendak menjadikan makam Sangia Wambulu sebagai objek wisata religi, Hamzah berharap tak ada yang diubah, misal menebang pohon-pohon besar yang ada di kawasan makam. Kelestarian alam juga harus tetap dijaga.
“Jika dijadikan wisata adalah pilihan yang terbaik, yah itu saja jangan ada yang diubah dari tempat ini. Saya, kan senang jika banyak yang datang ke sini,” ucap Hamzah.
Kepala Desa Baruta, Muhammad Ridwan mengatakan, saat ini pengelolaan makam Sangia Wambulu dilakukan oleh tokoh adat Desa Baruta.
“Rencana tahun depan kita ingin ini dikelola oleh tokoh adat dan BUMDes agar ada pemasukan atau PAD untuk desa,” kata Muhammad Ridwan.
Muhammad Ridwan mengaku kendala pengembangan wisata religi di desanya hanya soal anggaran saja. (*)
Kontributor: Ilham Surahmin
Editor: Muhammad Taslim Dalam