ZONASULTRA.COM, KENDARI – Perkelahian kuda atau adu kuda merupakan salah satu atraksi budaya yang berkembang dalam masyarakat suku Muna. Atraksi ini diketahui merupakan satu-satunya di Indonesia.
Di wilayah Kabupaten Muna Barat, khususnya di Kecamatan Lawa, atraksi budaya yang dalam bahasa lokal disebut “kapogiraha adhara” ini masih terus eksis hingga saat ini.
La Samau, salah satu tokoh masyarakat Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna Barat, mengatakan, tradisi perkelahian kuda ini merupakan warisan dari raja-raja Muna.
Pada zaman kerajaan, kata La Samau, perkelahian kuda ini ditampilkan untuk menghibur para tamu raja yang datang. Atraksi ini kemudian berkembang dan akhirnya terus dilaksanakan secara turun temurun hingga saat ini.
Selain untuk menghibur tamu raja, masyarakat juga kerap menampilkan atraksi perkelahian kuda ini saat selesai panen atau hari raya besar sebagai bentuk kesyukuran.
Menurut Samau, perkelahian kuda hanya ada di Kecamatan Lawa, yang kini masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Muna Barat setelah mekar dari Kabupaten Muna.
Kata Samau, Lawa dulunya adalah pusat kuda karena banyak penduduk yang memelihara kuda. Kuda-kuda tersebut didatangkan dari Bima, Nusa Tenggara Barat.
Bahkan saking banyaknya kuda di Lawa, sampai digelar balapan kuda. Namun, karena populasi kuda semakin berkurang maka balapan kuda juga tidak lagi dilaksanakan.
La Samau melanjutkan, perkelahian kuda memiliki makna sebagai salah satu simbol harga diri yang harus dipertahankan.
“Jadi bagaimana kuda ini berkelahi, ya dipisahkan dari betinanya. Misal ada sekelompok kuda, lima betina satu jantan. Agar kuda jantan berkelahi, yang betina itu disimpan di kelompok lain. Kuda jantan pasti tidak terima betinanya ada di kelompok lain. Inilah yang memicu perkelahian,” terang La Samau saat ditemui di kediamannya pada medio Oktober 2023.
Eksistensi Atraksi Kuda
Salah seorang pawang kuda di Desa Latugho, Lawa, Laode Abjina mengatakan, meski sudah tak sesering dulu, atraksi perkelahian kuda masih terus dilakukan.
Namun, masalah di depan mata saat ini adalah populasi kuda yang mulai berkurang. Jika dibiarkan, Laode Abjina khawatir atraksi perkelahian kuda ini akan punah dengan sendirinya.
“Setiap ada pertemuan dengan pemerintah, kita selalu suarakan itu, terkait populasi kuda yang makin berkurang, tetapi tak ada juga tindakan yang nyata,” ungkap Laode Abjina.
Menurutnya, kuda yang mereka miliki adalah milik keluarga yang diwariskan secara turun temurun dan kini jumlahnya terus menyusut.
Terkait perkelahian kuda, lanjutnya, kini lebih sering ditampilkan saat menyambut para pejabat pemerintah, baik dari lingkup pemerintah provinsi hingga pemerintah pusat. Termasuk juga saat memperingati HUT Muna Barat maupun HUT RI.
“Seperti beberapa waktu lalu, di Desa Latugho ini kan ada objek wisata, nah ada wisatawan, jadi kita hibur dengan atraksi perkelahian kuda. Kita tidak pungut biaya untuk mereka menyaksikan atraksi ini,” terang Laode Abjina saat dihubungi, Rabu (1/11/2023).
Selama menjadi pawang kuda, Laode Abjina mengaku tak ada kendala yang berarti, apalagi sampai kudanya mati.
“Kalau sampai mati (kuda) tidak, palingan hanya luka-luka, dan itu ada pengobatannya tersendiri,” ujarnya.
Untuk tetap melestarikan atraksi perkelahian kuda ini, Laode Abjina mengaku terus mengenalkan kepada generasi muda di desanya, terutama pada keluarganya.
Ia juga mengajari keluarganya teknik melerai kuda, cara menghindar dan sebagainya. “Karena kalau salah teknik bisa kena tendang kuda,” ujarnya.
Ia pun berharap pemerintah daerah bisa membantu mereka tetap melestarikan atraksi ini. Salah satunya dengan mendatangkan kuda ke Kabupaten Muna Barat.
Butuh Peran Pemerintah
Menurut salah satu budayawan Sultra, Syahrun, perkelahian kuda merupakan tradisi yang sudah menjadi identitas kebudayaan masyarakat Muna. Salah satunya terlihat dari gambar kuda yang terdapat di gua purba Liangkabori.
Menurut Syahrun, untuk tetap melestarikan tradisi ini dibutuhkan peran pemerintah. Pertama melakukan identifikasi semua tradisi yang ada di masyarakat.
Setelah diidentifikasi, pemerintah kemudian menggelar event-event untuk menampilkan tradisi tersebut agar makin dikenal publik, terutama para generasi muda.
Kedua, pemerintah juga harus hadir di tengah masyarakat bagaimana agar kuda berkembang biak lebih banyak lagi di Muna. Sebab, kendala saat ini populasi kuda yang mulai berkurang.
“Kuda ini kan sudah jadi ciri khas masyarakat Muna. Kuda juga menjadi logo daerah, baik Muna maupun Muna Barat. Jangan sampe kuda yang jadi ciri khas Muna dan Muna Barat ini malah punah,” terangnya.
Menurut dia, daerah Muna dan Muna Barat cocok untuk pengembangbiakan kuda. Sehingga pemerintah melalui dinas peternakan harus hadir agar populasi kuda terus bertambah, bukan malah semakin berkurang.
Terakhir pemerintah harus menghidupkan kembali tradisi tersebut agar tetap diketahui oleh generasi muda saat ini sehingga perkelahian kuda tetap lestari. Apalagi, perkelahian kuda bisa menjadi salah satu unggulan Muna di bidang pariwisata. (***)
Editor: Jumriati