Kisah Kakek Mualaf, Peluk Islam Saat Didapuk Jadi MC Maulid Nabi

Kisah Kakek Mualaf, Peluk Islam Saat Didapuk Jadi MC Maulid Nabi
Agustin Suharto

Kisah Kakek Mualaf, Peluk Islam Saat Didapuk Jadi MC Maulid Nabi Agustin Suharto

 

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Berpindah keyakinan bukan hal yang mudah untuk dijalani. Apalagi jika keyakinan tersebut sudah dibawa sejak lahir yang tentunya sulit untuk dilepaskan. Namun hal itu tidak berlaku bagi Agustin Suharto (71), kakek asal Yogyakarta yang kini menghabiskan sisa hidupnya di Wisama Bahagia, Panti Sosial Tresna Werdha Minaula, Ranomeeto, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Agustin merantau ke Sulawesi Tenggara (Sultra) melalui program transmigrasi tahun 1977 silam. Dirinya memutuskan meninggalkan kedua orang tuanya di Yogyakarta dan merantau bersama sang istri, Sri Wahyuni (60) ke Bumi Anoa. Pasangan ini ditempatkan di Desa Marga Cinta, Moramo, Konawe Selatan (Konsel).

Agustin adalah seorang penganut agama Katolik. Sedangkan istrinya adalah seorang muslim. Di Desa Marga Cinta kehidupan keduanya sangat sederhana, bahkan boleh dikata berada di bawah garis kemiskinan. Lokasi yang ditinggali keduanya tidak cocok untuk bertani karena daerah pegunungan dan tandus, hanya jambu mente yang bisa tumbuh.

Agustin adalah sosok yang cerdas di lingkungan sekitarnya. Dia menjadi staf di Kantor Unit Transmigrasi dan selalu dijadikan sebagai MC atau protokoler dalam setiap kegiatan formal di desanya. Dan tahun 1980 adalah masa ia harus memutuskan sebuah keputusan besar dalam hidupnya yakni menjadi mualaf. Saat itu ia secara spontan saja memeluk Islam karena diminta Danramil setempat untuk menjadi MC dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW.

“Pertama diminta saya langsung bingung apa yang harus saya lakukan, tapi karena permintaan Danramil saya langsung siap saja,” kata Agustin saat ditemui awak Zonasultra.com pekan lalu.

(Baca Juga : Kisah Nenek Penjual Ikan, Dorong “Lori” Keliling Kampung)

“Saya meminta waktu 15 menit untuk mengetik pernyataan bahwa saya akan memeluk agama Islam. Pernyataan tersebut saya baca sendiri,” ujarnya dengan nada semangat.

Hari itu ia menyampaikan di hadapan jamaah bahwa dirinya akan memeluk agama Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat yang dibantu oleh imam setempat. Sah, Agustin resmi memeluk agama Islam dan ia pun melanjutkan tugasnya sebagai MC Maulid Nabi.

Agustin mengaku tak menyesal menjadi mualaf. Namun yang tidak mudah baginya adalah melaksanakan ibadah umat muslim. Tetapi karena kesehariannya di bulan puasa yang menjadi pengangkat alat pengeras suara dan penerangan bagi para mubaliq yang berdatangan memberikan ceramah agama di desa itu, sedikit membantunya mengenal Islam lebih jauh.

Sembilan tahun kemudian ia bersama istrinya memutuskan pindah dari Desa Marga Cinta ke Desa Sarona, Kecamatan Watunohu, Kolaka Utara (Kolut). Di sana Agustin menjadi buruh tani dengan menggarap perkebunan coklat milik seorang haji bernama Subo.

Agustin mengaku hidup di Kolaka Utara sedikit lebih baik Kehidupan ketimbang bertahan hidup di daerah transmigran yang tandus. Sistem bagi hasil pun menjadi jaminannya, jika ia berhasil mengumpulkan lima kuintal panen coklat maka ia mendapatkan bagian satu kuintal dan empat kuintal merupakan hak si pemilik kebun.

Entah suatu kebetulan atau memang takdir, kepindahan Agustin ke Kolut juga membuatnya rajin beribadah, padahal sejak menjadi mualaf Agustin mengaku hanya Islam KTP saja.

Perkataan sang pemilik kebun H Subo lah yang mengetuk hati dan pikiranya. “Saya lebih baik memberi makan anjing daripada orang yang tidak salat,” ungkap Agustin saat mencontohkan perkataan H. Subo kala itu.

Meskipun perkataan tersebut tidak disampaikan langsung kepadanya, tapi  pria yang sebelum mualaf bernama Agustinus itu merasa terpukul sebagai umat muslim yang tidak pernah menjalankan ibadah.

“Saya langsung ketok jidat, wadohh… ini pasti yang dimaksud saya ini,” katanya dengan sumringah mencairkan suasana di pertemuan siang itu.

Tahun 1990 pun menjadi langkah awalnya mulai belajar melaksanakan salat lima waktu, apalagi setiap memasuki bulan suci Ramadhan. Kepiawaian Agustin menjadi seorang MC juga akhirnya terus berlanjut di setiap momen puasa di masjid setempat.

“Hidup saya jauh lebih baik dari sebelumnya, dan jujurnya saja jiwa saya lebih tenang setelah memeluk agama Islam dan mulai melaksanakan salat,” ungkapnya.

Merindukan Anak

Hingga memasuki usia senja, Agustin dan istrinya belum juga dikarunia anak. Kerinduan dan kesedihan terus terbayang kala melihat seorang anak lalu lalang di hadapan mereka. Apalagi setiap masuk bulan suci Ramadhan, kerinduan untuk memiliki seorang anak semakin menggebu-gebu. Impian keduanya adalah bisa sahur dan berbuka puasa bersama buah hati mereka.

Untuk mengobati kerinduan sosok akan seorang anak, keduanya pun selalu mengizinkan anak-anak yang ingin bermain di kediamnnya kala itu. Rasa senang bercampur haru seolah menjadi hiasan hati pasutri ini, sebab hanya itulah obat penawar rindu bagi mereka.

“Kami berdua hanya pasrah saja, apa boleh buat kami tidak diberikan anak, saya anggap kamu yang mendatangi saya adalah anak saya dan setiap orang yang mendatangi saya anggap anak yang rindu akan orang tua atau kakek dan neneknya yang sudah meninggal,” ujarnya.

Agustin dan Hukum Karma

Usai menceritakan kisah kehidupan mualaf dan kerinduannya akan sosok seorang anak, terlintas cerita kehidupannya dimasa remaja sebelum menikah dengan Sri. Agustin adalah sosok anak yang nakal kala itu.

Waktu memutuskan meninggalkan orang tuanya merantau ke Jakarta awal tahun 70-an adalah untuk membantu ekonomi keluarganya. Namun karena kehidupan Jakarta yang begitu keras merubah tujuan hidupnya. Ia lebih memilih hidup dalam pergaulan bebas.

Setelah menikah dengan Sri tahun 1975 ia pun kembali memutuskan meninggalkan kedua orang tuanya dengan merantau ke Sultra. Komunikasinya bersama orang tua masih lancar melalui surat kala itu. Akan tetapi waktu terus berjalan dan akhirnya mereka putus hubungan.

Kisah Kakek Mualaf, Peluk Islam Saat Didapuk Jadi MC Maulid Nabi
Agustin Suharto bersama istri

 

Kabar bahagia datang di tahun 2000. H Subo memberikannya uang transportasi dan akomodasi selama satu minggu untuk pulang ke Jawa bersama sang istri agar menemui keluarga dan kedua orang tua mereka.

Keduanya pun pulang ke Jawa. Istrinya diantarkan ke Solo, Jawa Tengah (Jateng) tetapi disana sama sekali tidak menemukan jejak keluarganya, adapun yang diketemukan hanya keluarga jauh. Kemudian Agustin ke Yogyakarta berusaha mencari kedua orang tuanya, namun hasilnya nihil. Rumah orangtuanya sudah ditempati oleh orang lain dan dikatakan bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.

Rasa penyesalan memang selalu datang belakangan. Itulah yang dirasakan Agustin. Ia menyesal meninggalkan kedua orang tuanya waktu itu dengan alasan ingin merubah hidup dan tak mau menyusahkan kedua orang tuanya karena persoalan ekonomi.

Tapi apapun alasannya, ia merasa sebuah hukum karma telah berlaku pada kehidupannya. Agustin percaya jika dikaitkan dengan tidak adanya momongan dalam kehidupan keluarga kecilnya, merupakan sebuah balasan dari yang maha kuasa karena semasa muda ia tega meninggalkan kedua orang tuanya.

“Rasa penyesalan begitu mendalam kala saya mengingat masa itu, tapi waktu sudah tidak dapat diputar kembali, saya hanya bisa berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT untuk menghapus dosa saya yang dulu-dulu baik besar ataupun kecil,” pungkasnya.

Belajar dari pengalaman hidup, Agustin selalu berpesan kepada setiap orang yang datang mengunjunginya agar tidak menyia-nyiakan kedua orang tua, berbakti dan selalu berusaha memberikan kebahagian kepada mereka (orang tua). Terutama kepada ibu, karena surga berada di bawah telapak kaki ibu.

(Baca Juga : Mengenal Jejak Perjuangan Alwy Mansyur, Veteran Asal Sultra)

“Tidak ada orang tua durhaka sama anak, yang ada itu anak durhaka sama orang tua, sayangi orang tua jangan jadi seperti saya yang sepanjang hidup hanya rasa penyesalan dan kesedihan kala mengingat orang tuaku,” ucapnya dengan senyuman manis kepada siapa saja yang datang menemuinya.

Agustin Suharto dan Sri Wahyuni tercatat sebagai penghuni Wisama Bahagia sejak tahun 2016 lalu. Sri terkena struk (saraf kanan mati) sejak beberapa tahun silam. Sejumlah pekerjaan yang semestinya dikerjakan Sri harus diambil alih oleh Agustin.

Meski begitu, keduanya merasa lebih baik dan bahagia sejak masuk ke Wisama Bahagia setelah menjalani perjalanan panjang hidup dari Moramo ke Kolaka Utara dan berakhir di panti sosial tersebut.

“Saya merasa lebih baik hidup di sini bersama istri saya meski hanya kami berdua saja, mati kami pun insya Allah masih berada disini,” tutup Agustin. (A)

 

Penulis: Ilham Surahmin
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini