PAN dan Domino Politik di Sultra

pan
muswil_pan
Andi Syahrir Alumni Pascasarjana UHO & Pemerhati Sosial
Andi Syahrir

 

Salah satu kenikmatan bermain domino adalah ketika kita berhasil memaksa lawan untuk turun pada mata domino yang kita inginkan. Selanjutnya, kartu yang diturunkan lawan menjadi jembatan kemenangan kita. Maka berderailah tawa riang pemenang ditingkahi senyum-senyum kecut dari sang lawan. Sambil menggocok kartu, lawan bersungut-sungut merutuki kesalahan langkahnya di awal permainan.

Konon, permainan domino diciptakan dan dipersembahkan bagi kaisar Cina bernama Hui Tsung tahun 1120 Masehi. Mereka yang memainkannya pun awalnya adalah para bangsawan. Rakyat jelata tidak boleh memainkannya. Barangkali, ini menjadi semacam “kurikulum” pengkaderan bagi para bangsawan untuk terbiasa menganalisis berbagai pilihan-pilihan keputusan.

Dunia politik mirip dengan permainan domino. Para politisi selalu diperhadapkan pada berbagai pilihan langkah, yang pada gilirannya menentukan pergerakan lawan politik. Bahkan, pilihan untuk tak mengambil langkah apapun sesungguhnya adalah langkah politik. Dunia domino mengenalnya dengan kata “pas” ketika tak satu pun kartu kita cocok dengan yang terpampang di bawah.

Paripurnanya keterampilan bermain domino terlihat dari kemampuan mendikte lawan. Dan politik adalah dunia tentang dikte mendikte. Seorang politisi ulung adalah mereka yang mampu mendiktekan kemauannya kepada lawan politik.

Meskipun demikian, dalam prakteknya, politik kerap diasosiasikan dengan olahraga otak yang lebih kompleks lainnya, yakni catur. Sehingga lahirlah frase “percaturan politik”. Kita jarang atau tidak pernah mendengar istilah “perdominoan politik”.

Pun, catur menjadi lebih “berasa” politik karena bidak-bidak yang dimainkan menggunakan simbol-simbol kekuasaan: pion (prajurit), kuda, benteng, perdana menteri, dan raja. Ah, permainan ini tidak punya sisi romantis. Harusnya ada ratu…hehehe.

Di sisi lain, catur sesungguhnya abai terhadap keberadaan Tuhan sebagai causa prima. Dalam permainan catur, setiap pemain selalu berada dalam posisi yang setara. Mereka selalu memiliki bidak yang sama dan seragam kekuatannya.

Beda halnya dengan permainan domino, dimana dikenal “kartu baik” dan “kartu buruk”, yang merepresentasikan keberadaan Tuhan sebagai pemberi takdir. Selihai apapun seorang pemain domino, jika kartu kebanyakan “dobol”, sulit atau tidak akan bisa memenangkan permainan. Itulah garis tangan. Politik pun juga tentang garis tangan.

***

pan
Ilustrasi

Akhir 2015 hingga memasuki tahun 2016 ini, nadi dunia politik Sultra mulai berdenyut dan diyakini akan semakin keras di bulan-bulan ke depan. Terlepas bahwa pada tahun 2017 sejumlah daerah akan menggelar pilkada serentak, tapi isu Walikota Kendari dan Gubernur Sultra merupakan wacana paling trend. Mereka yang berhasil memenangkannya menjadi pemain yang sedang “cheki dobol”.

Kita mengawalinya dari poros politik terkuat dan dominan dilihat dari sisi sebaran kekuatan di parlemen dan kepala daerahnya sejauh ini. Partai Amanat Nasional. PAN. Pergerakannya pasti akan mempengaruhi kekuatan politik lainnya.

Tetapi tulisan politik tidak akan menarik jika tidak berbicara tentang orang. Dan kali ini, ulasan tentang orang-orang PAN dan yang berkepentingan dengan PAN. Kita memulainya dari pucuk. Nur Alam. Ketua PAN Sultra. Gubernur Sultra.

Ada dua realitas politik yang dihadapinya. Pertama, dia segera berhenti jadi gubernur. Tepat waktu. Tidak bisa ditawar lagi. Sudah menjadi keniscayaan. Kedua, belum tentu dia berhenti jadi Ketua PAN. Tepatnya, belum pasti lengser.

Calon gubernur. Dari kader PAN, Walikota Kendari Asrun, Bupati Buton Umar Samiun, dan anggota DPR Fraksi PAN Hasnawati Hasan. Nama terakhir adalah istri Nur Alam. Figur eksternal dan ingin lewat pintu PAN adalah Lukman Abunawas. Figur non PAN ada Rusda Mahmud (Demokrat), Sjafei Kahar (Golkar), Ali Mazi (Nasdem), Hugua (PDIP), dan Ridwan Bae (Golkar).

Di sini permainan domino dimulai. Siapa kader PAN yang akan menjadi calon gubernur akan ditentukan dari siapa ketua PAN di periode selanjutnya di forum musyawarah wilayah (muswil), bulan Januari ini. Nur Alam masih punya kans jika meminjam kalimat Umar Samiun di sebuah media online terbitan hari ini (Selasa, 12 Januari 2015), bahwa Nur Alam masih diinginkan oleh mayoritas dewan pimpinan daerah (DPD).

Kendati demikian, peluang Nur Alam tidak mudah. Bertitik tolak dari dinamika kongres PAN di Bali, setidaknya tiga ketua DPD menunjukkan sikap berseberangan dengan Nur Alam, yakni Ketua PAN Konawe Utara Raup, Ketua Ketua DPD PAN Konawe Selatan Djainal, dan Ketua PAN Kolaka Timur Farida Harianti.

Pada Kongres Bali, Nur Alam berada di kubu Hatta Radjasa. Dan yang terpilih adalah Zulkifli Hasan. Tentunya, bakal ada hambatan psikologis jika kelak nama Nur Alam menjadi salah satu formatur yang akan dipilih oleh DPP untuk memimpin PAN Sultra.

Belum lagi isu bahwa Nur Alam bakal memimpin PAN Sultra periode keempat –jika terpilih lagi. Suatu hal yang kontraproduktif dengan pandangan Zulkifli Hasan yang memasang pengurus DPP-nya dari kalangan muda. Ada pesan bertema regenerasi yang hendak disampaikan Zulkifli Hasan berdasarkan postur pengurus DPP-nya. Itu di atas kertas.

Di lapangan, kekuatan Nur Alam juga bisa diukur dari pilkada serentak, Desember lalu. Satu kandidat petahana asal PAN tumbang (Buton Utara), satunya lagi terseok-seok dengan keunggulan setipis kulit ari yang berakhir di Mahkamah Konstitusi (Muna). Bahkan, kakak kandung Nur Alam –Asnawi Syukur– yang didukung PAN, hanya di urutan ketiga Pilkada Konawe Selatan.

Tetapi Nur Alam bukan politisi sembarangan. Barangkali, tidak ada ketua PAN di tingkat provinsi di Indonesia ini yang menjabat hingga tiga periode. Sepanjang kepemimpinannya di partai matahari terbit, Nur Alam sukses “membirukan” Sultra dengan dominasi kepala daerah dari PAN.

Tentunya, Nur Alam masih menyimpan kartu-kartu bermata bagus untuk tetap mempertahankan kursinya. Tentu, jika benar dia memang masih mau. Empat periode.

Dan jika Nur Alam terpilih, maka peluang Asrun untuk menjadi calon gubernur lewat PAN akan mengecil. Setidaknya, ada dua alasan. Pertama, Asrun merupakan pesaing Nur Alam di bursa ketua PAN. Kedua, Nur Alam sebenarnya tidak merestui Asrun sebagai kandidat gubernur dari PAN.

Salah satu buktinya, dia “membiarkan” istrinya, Hasnawati Hasan, akan nyalon lewat PAN melalui sosialisasi yang lumayan masif. Sederhananya, jika Nur Alam menyetujui Asrun, istrinya tidak akan “dimainkan” lewat baliho. Ini pesan tersirat Nur Alam buat Asrun.

Kandidat kuda hitam sesungguhnya adalah Lukman Abunawas, Sekretaris Daerah Pemprov Sultra. Jika Nur Alam ketua PAN (lagi), kemungkinan besar Lukman akan diusung PAN sebagai calon gubernur (cagub). Sejauh ini, Lukman kelihatan lebih serius ketimbang Umar Samiun menjadi cagub.

Jika Nur Alam tidak lagi terpilih, PAN kemungkinan besar akan dipimpin oleh Asrun. Dari segi prestasi dan track record, Asrun lebih moncer ketimbang Umar Samiun. Pun, Lukman saat ini belum mengundurkan diri sebagai birokrat jika hendak masuk bursa ketua partai.

Jika Asrun memimpin PAN Sultra, boleh dikata karier politik Nur Alam bakal meredup. Akhir masa jabatan sebagai gubernur di pelupuk mata, pemimpin partai pun selesai. Realitas inilah yang menghadirkan dugaan bahwa Nur Alam masih mau untuk periode keempat sebagai ketua PAN.

Tetapi bagi Asrun, menduduki ketua PAN merupakan kartu terbaik untuk menatap kursi gubernur. Bukan hanya itu. Dia juga bakal menjadi mastermind bagi kandidat Walikota Kendari asal PAN.

Ada langkah cukup misterius yang ditempuhnya saat ini. Putranya, Adriatma Dwi Putra, sedang gencar-gencarnya memasang atribut sosialisasi yang berisi informasi bahwa dirinya adalah anggota DPRD provinsi. Titik. Bukan sebagai calon apapun, di saat seorang Abdul Rasak, Ishak Ismail, Musaddar Mappasomba, dan Andi Musakkir Mustafa, menyita ruang publik sebagai kandidat walikota.

Ada dua tafsir yang bisa dihadirkan. Pertama, Adriatma akan dipersiapkan jadi kandidat walikota asal PAN, jika Asrun sukses menduduki ketua partai. Tapi skenario ini agak berbahaya jika digulirkan sekarang. Bakal ada resistensi: ayahnya gubernur, anaknya walikota. Kejelasan bahwa Adriatma akan ngapain, kemungkinan setelah ajang pemilihan ketua PAN tuntas.

Kedua, Adriatma kemungkinan akan “dimagangkan” sebagai calon wakil walikota. Asrun cukup cerdas untuk melihat bahwa anaknya masih perlu belajar lebih banyak. Jika demikian, siapa yang akan diusung PAN sebagai calon walikota?

Kandidat terkuat, tentu Abdul Rasak. Tetapi kembali lagi pada sikap politik Rasak pada muswil yang akan datang. Dia di poros Asrun atau bukan. Jika Rasak tak diusung PAN, dia mungkin akan bergandengan dengan Ishak Ismail, yang saban hari mulai kelihatan foto bareng keduanya di sejumlah akun jejaring sosial.

Sedangkan Adriatma –jika memang Asrun tidak hendak “mengkarbit” putranya itu– akan dia pasangkan dengan Musaddar Mappasomba, yang sampai sekarang PKS belum memastikan akan mengusungnya.

Ada alasan yang logis untuk itu. Sejauh ini, Asrun dan Musaddar terbilang pasangan walikota-wakil walikota yang harmonis. Dua periode pula. Duet yang berhasil membangun tanpa pernah kedengaran di publik mereka sedang ribut-ribut.

Begitu banyak kemungkinan-kemungkinan dalam politik. Semuanya tentu sangat cair dengan berdasar pada berbagai pertimbangan. Kita tunggu muswil PAN selesai. Dari sana, kita kembali mengocok kartu-kartu domino politik para politisi. Selamat bermain domino.***

 

Andi Syahrir

Alumni Pascasarjana UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini