ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus kata “dapat (merugikan keuangan negara)” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor menjadi pokok eksepsi (nota keberatan) Nur Alam atas dakwaan yang dituduhkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Perubahan dua pasal dalam UU Tipikor itu mengharuskan penyidik kasus Tipikor menyajikan data kerugian negara yang nyata dan berkepastian, sementara kuasa hukum Nur Alam, Didi Supriyanto menilai dakwaan yang diberikan JPU masih belum fix atau masih berpotensi.
“Putusan MK tidak boleh lagi ada tafsiran potensi kerugian negara tapi harus fix real, sedangkan yang dimaksudkan Rp2,7 triliun itu kami anggap sebagai potensi,” ujar Didi Supriyanto usai persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus), Senin (27/11/2017).
Hal itu merupakan kerusakan lingkungan yang nantinya akan diperbaiki dalam sekian tahun kemudiaan. Sementara untuk perhitungan kerugian negara melalui kerusakan lingkungan, Didi menilai tidak tepat penggunaanya.
(Berita Terkait : Jalani Sidang Lanjutan, Nur Alam Ajukan Eksepsi)
“Hitungannya keliru kalau dari ahli lingkungan karena dia menghitung pakai hutan premier padahal ternyata dia hutan sekunder. Itu pun secara teknis kita akan buka di dalam pembelaan tentunya,” kata Didi.
Selain perhitungan kerugian negara yang belum fix, tim Nur Alam juga mengajukan keberatan mengenai kewenangan mengadili (kompetensi absolut). Didi mengungkapkan bahwa kasus yang menjerat kliennya diatur secara khusus dalam UU Minerba.
Dalam pasal 165 itu, lanjut Didi, jika seorang kepala daerah mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) secara melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang itu sudah ada aturan tersendiri. Jadi bukan tindakan korupsi namun ada aturan khususnya.
Selain kompetensi absolut, dari segi kompetensi relatif Didi menyatakan seharusnya sidang dilaksanakan di Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra). “Harusnya sidangnya di Kendari karena saksi yang 36 orang itu dari Kendari, 2 dari Sulawesi Selatan (Sulse) sementara hanya 25 orang saksi yang dari Jakarta,” pungkasnya.
(Berita Terkait : Nur Alam Banyak Menabrak Aturan Saat Mengeluarkan IUP PT Anugerah Harisma Barakah)
Sementara Ketua JPU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Afni Carolina tetap pada dalil-dalil yang ada dalam surat dakwaan.
“Kami mendalilkan memang sidang di sini karena saksi yang akan kami hadirkan lebih dekat dengan PN Jakpus. Untuk jawaban kita jawab detailnya di sidang berikutnya,” pungkas Afni.
Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam telah menjadi tersangka atas dugaan korupsi dalam persetujuan pencadangan wilayah pertambangan, persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi dan persetujuan peningkatan IUP eksplorasi menjadi IUP operasi produksi kepada PT. AHB di wilayah Sultra tahun 2008-2014. (A)
Reporter : Rizki Arifiani
Editor : Jumriati