ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyoroti rencana pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) ditengah pandemi Covid-19 yang melanda berbagai daerah di Indonesia.
Ketua Umum AJI Abdul Manan menuturkan RUU KUHP merupakan warisan RUU yang gagal disahkan pada penghujung masa kerja DPR periode 2014-2019 setelah mendapatkan protes besar dari mahasiswa dan masyarakat sipil, September tahun lalu. Protes tersebut terjadi di Jakarta dan sejumlah daerah di Indonesia yang menyebabkan 5 mahasiswa meninggal dunia.
“Setidaknya ada 10 pasal dalam draft RUU KUHP tertanggal 28 Agustus 2019 yang bisa mengkriminalkan jurnalis dalam menjalankan fungsinya,” kata Abdul Manan dalam keterangan tertulis yang diterima awak Zonsultra.com pada Kamis (9/4/2020).
Abdul Manan merinci masing-masing pasal diantaranya Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden, Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa, Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong, Pasal 263 tentang berita tidak pasti, Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan, Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama, Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, Pasal 440 tentang pencemaran nama baik, Pasal 444 tentang pencemaran orang mati.
Setelah mendapat protes luas, draft itu mengalami sedikit perubahan pada pasal 281. Melihat draft RUU KUHP tersebut, kata Abdul, DPR dan Pemerintah tidak hanya mengabaikan masukan masyarakat sipil dengan mempertahankan pasal-pasal yang selama ini banyak dikritik.
“Keduanya juga menghidupkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, yang sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu,” imbuh Abdul.
Sementara itu, Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana mengungkapkan bahwa Komisi III DPR dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly agar melanjutkan pembahasan RUU KUHP dalam rapat kerja Rabu (4/2020).
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin sempat mengatakan bahwa pimpinan Komisi III DPR meminta waktu satu pekan untuk mengesahkan RUU KUHP.
Namun Ketua Komisi III DPR Herman Herry kemudian meluruskan pernyataan Aziz dan menyatakan bahwa Komisi III hanya meminta persetujuan pimpinan DPR untuk memulai pembahasan RUU KUHP pada awal April 2020. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly meminta DPR menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan surat presiden yang baru.
“Yasonna khawatir RUU KUHP yang akan disahkan akan bermasalah pada masa mendatang jika tidak ada surat presiden,” kata Yadi.
Terkait hal itu AJI dan IJTI mendesak DPR dan pemerintah untuk menunda pembahasan RUU KUHP di tengah wabah Covid-19. Termasuk menunda RUU-RUU lainnya yang bermasalah seperti RUU Cipta Lapangan Kerja. Dengan banyaknya pembatasan di tengah pandemi saat ini akan menyulitkan masyarakat sipil, termasuk komunitas pers, ikut memberikan masukan secara maksimal dalam pembahasan RUU tersebut.
Selanjutnya mendesak Presiden Joko Widodo untuk tidak menerbitkan surat presiden baru yang dapat menjadi dasar kelanjutkan pembahasan RUU KUHP.
Dan meminta pemerintah dan DPR fokus pada penanganan COVID-19 yang telah menelan korban jiwa dan berdampak besar pada perekonomian nasional. Membahas RUU yang bermasalah di tengah pandemi COVID-19 hanya akan membuat energi bangsa ini terpecah dan melemahkan penanganan yang dapat memicu dampak lebih luas di masyarakat. B
Reporter: Rizki Arifiani
Editor: Rosnia