ZONASULTRA.COM, RUMBIA– Lagi-lagi Radiman (alm) tidak menyebut nama raja yang menikahkan anaknya itu kepada Manjawari, akan tetapi lebih jauh ia memaparkan bahwa sebab tidak disukainya Wa Bana dinikahi oleh Manjawari sehingga keduanya diminta untuk ditenggelamkan ke dasar laut.
Konon untuk menenggelamkan keduanya, pihak kerajaan memberikan ‘koli-koli’ (sampan) terpotong. Manjawari terima saja pemberian itu, sebab ia telah mengetahui bahwa sampan yang tidak utuh itu merupakan salah satu cara untuk membunuhnya melalui cara ditenggelamkan.
Sebelum meninggalkan tanah Buton, Manjawari berpesan kepada raja melalui dua petugas kerajaan bahwasanya suatu ketika kerajaan ini (Buton), akan mendapat kesulitan yang datangnya dari Kesultanan Ternate. “Bila hal itu terjadi, maka carilah saya di negeri seberang,” tutur Manjawari yang ditirukan oleh Radiman. Bertanyalah petugas kerajaan itu. “Bagaimana cara untuk dapat kami menemuimu?. Berkatalah Manjawari bahwa ia akan meninggalkan jejak di tengah lautan hingga ke tempat yang kami akan huni.
Berita Terkait : Asal Usul Kabaena dan Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a
Setelah itu, petugas kerajaan yang ditugaskan menenggelamkan dua sejoli itu, melepaskan Manjawari dan istrinya dan kemudian pulang melaporkan kepada raja bahwa perintah telah mereka laksanakan. Berselang setahun kemudian datanglah kesulitan kepada pihak kerajaan.
Salah satunya yaitu menentukan pangkal dan pucuk dari potongan kayu bundar yang dikirim dari Kesultanan Ternate. Jika pertanyaan itu dijawab benar, maka Kesultanan Ternate sudah akan melepas Buton sebagai salah satu negeri yang merdeka.
Mendapat pertanyaan itu, tak satupun dari pihak kerajaan yang dapat menjawabnya, sehingga teringatlah petugas kerajaan yaitu Bontona Peropa dan Bontona Wanailolo tentang pesan Manjawari dan seketika itu mereka mengemukakan pesan itu dihadapan raja.
Berangkatlah kedua Bonto itu dan mendapati serta mengikuti jejak yang ditinggalkan Manjawari berupa alur putih memanjang laksana titian benang hingga ke daratan Muna (kawasan Mawasangka). Di daratan itu, kedua bonto tersebut mendapati sepasang manusia (laki-laki dan perempuan) (cikal-bakal orang balo di masa lampau), kemudian mereka membawa kedua orang itu bersama mereka.
Kemudian melanjutkan perjalanan mengikuti alur jejak Manjawari yang membelok ke arah barat hingga ke daratan Kotu’a tepatnya di E’e Nkinekei (Air Galian) dalam bahasa Buton disebut Weetakalimbungu.
Setibanya di daratan itu, kedua Bonto dan orang yang dibawanya bertemu dengan Wa Bana (Istri Manjawari) yang telah berambut sangat panjang untuk menutupi auratnya, sebab saat mereka diusir tidak diperkenankan untuk mengenakan sehelai kain pun.
Berita Terkait : Asal Usul Kabaena dan Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a [Bagian 2]
Mendapati suasana itu, maka berbungkuk lah para Bonto dan kemudian membelakangi Wa Bana setelah diperintahkan, kemudian melemparkan selembar sarung untuk menutupi auratnya. Konon peristiwa itulah yang menjadi cikal bakal prilaku penghormatan bonto kepada raja.
Beberapa saat kemudian pulanglah Manjawari dari mencari umbi-umbian untuk makanan mereka keseharian. Setibanya di olompu (pondokan kecil), disampaikanlah perihal kesulitan yang dialami buton sejak mereka tinggalkan. Maka berkatalah ia, “kalian pulanglah lebih dahulu, sementara saya masih akan singgah berpamitan kepada bapak saya di Tangkeno (yaitu di Olongkontara, sebuah perkampungan tua di Kotu’a) dan dua orang itu biarlah mereka ikut dengan saya untuk diserahkan kepada Raja Kotu’a.
Konon, setelah bertemu ayahnya (La Pati), Manjawari menyerahkan kedua orang yang bersama itu, kemudian ia dibekali dengan tombak bermata tiga (gala) dan sebuah keris untuk ke tanah Buton. Sesampainya di Buton,ia langsung ke rumah raja dan menyelesaikan persoalan tentang menentukan pankal dan pucuk dari potongan kayu bundar kiriman dari Kesultanan Ternate. Bersebab masalah itu dianggap selesai, sehingga terbentuklah Kesultanan dan Manjawari adalah putera Kotua yang menjadi Sapati Buton pertama.
Di masa Manjawari sebagai Sapati, hubungan antara Mokole Kotu’a dengan Kesultanan Buton terjalin baik. Hal ini ditandai adanya pengiriman beras padi kepada Sapati usai panen (Mongkotu). Beras padi yang dikirim itu, oleh Manjawari kemudian membagikannya kepada keluarga kerajaan. Sehingga dikenallah Kotu’a sebagai daerah penghasil beras atau Mokobaena (bahasa wolio) yang artinya pemilik beras yang enak.
Berita Terkait : Asal Usul Kabaena dan Jejak Sejarah Kerajaan Kotu’a [Bagian 3]
Dasar Mokobaena itulah yang pada akhirnya semakin dikenal hingga akhirnya Kotu’a berubah nama menjadi Kobaena ketika pulau tersebut masuk dalam administrasi pemerintahan dati II Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. (***)
Reporter : Jumrad Raunde
Editor : Rustam