Cerita Pengikut Kahar Muzakkar, Pimpinan DI/TII Yang Terlupakan di Bumi Anoa Bagian Selatan

Cerita Pengikut Kahar Muzakkar, Pimpinan DI/TII Yang Terlupakan di Bumi Anoa Bagian Selatan
PENGIKUT KAHAR MUZAKKAR - Lokasi terjadinya kontak senjata antara pasukan pimpinan Bahtiar dengan Mobri yang saat ini Brimob. Dimana saat itu masih bergabung dengan TNI. (Irfan Mualim/ZONASULTRA.COM)
Cerita Pengikut Kahar Muzakkar, Pimpinan DI/TII Yang Terlupakan di Bumi Anoa Bagian Selatan
PENGIKUT KAHAR MUZAKKAR – Dulu merupakan lokasi penjara milik DI/TII dengan ukuran 5X5 meter yang saat ini hanya ditandai dengan pohon mangga besar. (Irfan Mualim/ZONASULTRA.COM)

 

ZONASULTRA.COM, ANDOOLO – Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menjadi salah satu tempat persembunyian dan pelarian Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar.

Sekitar tahun 1962, Kahar Muzakkar bersama pasukannya pun memasuki wilayah Sultra yang dijuluki Bumi Anoa ini, melalui sebelah selatan Palopo dan menembus wilayah utara Sulawesi Tenggara. Yang mana sebelumnya sempat melakukan perundingan pada 21 Oktober 1961, dengan mengirim utusan untuk bertemu dengan Panglima Kodam XIV/Hasanuddin, Kolonel Muhammad Jusuf.

Akan tetapi, hal itu hanyalah siasat Kahar untuk tetap melanjutkan DI/TII. Hingga ajalnya menjemput pada 3 Februari 1965, saat ditembak di tepi Sungai Lasolo, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, dalam operasi kilat oleh regu pasukan asal Kodam Siliwangi.

Pelarian Pengikut Kahar Muzakkar

Cerita Pengikut Kahar Muzakkar, Pimpinan DI/TII Yang Terlupakan di Bumi Anoa Bagian Selatan
Lokasi ini dulunya digunakan sebagai bangunan sekolah yang terbuat dari papan dengan jumlah siswa sekitar 100 orang. Saat ini dipakai lokasi penggolahan sagu oleh masyarakat sekitar

Ada sejarah yang hilang dari pengikut Kahar Muzakkar. Selama ini, sebagian besar masyarakat Sultra hanya mengetahui,  DI/TII memasuki wilayah utara bumi Anoa. Namun ternyata pasukan pemberontak itu, juga masuk ke wilayah bagian selatan. Tepatnya di Desa Batu Jaya, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel). Dulunya desa tersebut dinamakan watu ndolu boto (bahasa daerah artinya batu tiga).

Dikenal dengan Batalyon 21, wilayah itu dikuasai oleh Kapten Bahtiar yang merupakan keluaran Polisi Militer (POM) yang tidak ditahu pasti dari Datasemen mana. Namun, dia adalah anak buah Kahar Muzakkar yang diperintahkan untuk menghuni wilayah selatan tersebut.

Masuk lewat jalur laut sekitar tahun 1961, Bahtiar kemudian membuat perkampungan yang berjarak sekitar 1 kilometer dari batas pantai wilayah desa tersebut dengan mendudukan tiga pos penjagaan.

(Baca Juga : Inilah Peninggalan Jepang dan Belanda yang Tersembunyi di Kota Kendari)

Pemilihan lokasinya pun dinilai strategis. Bahkan untuk mencapai perkampungan itu harus melewati gunung dan jurang. Akan tetapi setiba dilokasi itu, lahannya datar dan rata.

Cerita Pengikut Kahar Muzakkar, Pimpinan DI/TII Yang Terlupakan di Bumi Anoa Bagian Selatan
Lokasi terjadinya kontak senjata antara pasukan pimpinan Bahtiar dengan Mobri yang saat ini Brimob. Dimana saat itu masih bergabung dengan TNI. 

 

Dengan luas puluhan hektar, Bahtiar kemudian membangun sekolah, penjara, lapangan sepak bola, dan perumahan warga serta markas pasukannya.

“Ini lokasi sekolah dulu. Yang ada pohon mangganya itu penjara dengan ukuran 5×5 meter,” ujar seorang kakek, Laindi (70), sambil menunjuk lokasi bekas perkampungan itu.

Laindi yang saat itu masih kanak-kanak, hanya bisa menginggat sepintas sejarah pergolakan pasukan Kahar Muzakkar di wilayahnya.

Setahun bermukim di daerah itu, ternyata Brigadir Mobil (Brimob) yang saat itu masih bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), sudah mulai mencium keberadaan pasukan DI/TII tersebut.

Laindi saat menunjukkan lokasi lapangan bola perkampungan DI/TII kepada Bintara Pembina Desa (Babinsa) Lampasulu.
Laindi saat menunjukkan lokasi lapangan bola perkampungan DI/TII kepada Bintara Pembina Desa (Babinsa) Lampasulu.

 

Sehingga untuk mensiasati, lokasi mereka pun dinamakan Markas Langgara yang sama dengan Desa Langgara yang berada di Kabupaten Konawe Kepulauan (Wawonii).

“Itu sengaja diganti, biar tentara mencari mereka di Pulau Wawonii. Padahal mereka disini semua,” cerita Laindi saat ditemui dilokasi perkampungan itu, Minggu (16/10/2016).

Meski strategi perubahan nama itu dilakukan, namun pihak TNI tetap dapat mengetahui keberadaan pasukan Bahtiar yang mendiami wilayah daratan selatan itu.

Kapolsek Laonti Iptu Bakrie Ibnu, Kades Batu Jaya Basman, Pelaku Sejarah DI/TII, Laindi dan Laanda, serta Babinsa Lampasulu saat memasuki goa persembunyian para Mobri saat terjadi kontak senjata.
Kapolsek Laonti Iptu Bakrie Ibnu, Kades Batu Jaya Basman, Pelaku Sejarah DI/TII, Laindi dan Laanda, serta Babinsa Lampasulu saat memasuki goa persembunyian para Mobri saat terjadi kontak senjata.

Kontak senjatapun terjadi. Seorang anak buah pemegang senjata mesin bernama Mapeali harus menghembuskan nafas terakhirnya usai dikenai timah panas di tubuhnya.

“Mayatnya mereka bawa di kapal dan dibawa ke Kendari. Mapeali itu ajudan Palenggu (tukang breng/senjata mesin),” ujar Laanda (71) yang merupakan saudara Laindi.

Sebelum meninggalkan perkampungan, DI/TII ternyata sudah mengosongkan perkampungannya dan membawa beberapa keperluan (barang).

Mengetahui sudah tidak berpenghuni, Mobri (Brimob) yang saat itu disebut-sebut warga setempat, membakar puluhan rumah-rumah kayu milik pasukan Bahtiar.

Pengikut Bahtiarpun meninggalkan desa tersebut setelah setahun menghuninya.

Pengakuan Pengikut Kapten Bahtiar

Ia adalah Jamal K. Seorang pengikut DI/TII dibawah pimpinan Kapten Bahtiar. Meski sudah berusia sekitar 103 tahun, namun ayah dari delapan orang anak itu, masih terlihat kuat dan menginggat kejadian masa lalu saat masih mengangkat senjata melawan negerinya sendiri.

Dari kiri, Kapolsek Laonti Iptu Bakrie Ibnu, Kades Batu Jaya Basman, Pelaku Sejarah DI/TII, Laindi dan Laanda, serta Babinsa Lampasulu saat berpose dilokasi pembangunan markas pasukan DI/TII saat itu.
Dari kiri, Kapolsek Laonti Iptu Bakrie Ibnu, Kades Batu Jaya Basman, Pelaku Sejarah DI/TII, Laindi dan Laanda, serta Babinsa Lampasulu saat berpose dilokasi pembangunan markas pasukan DI/TII saat itu.

 

Dia tak tahu, apa sebenarnya tujuan dari ekspansi pasukan Bahtiar memasuki wilayah Selatan tersebut, tepatnya di Desa Batu Jaya Kecamatan Laonti, Konsel, Sultra.

Yang diketahuinya, sebagai umat Islam maka wajib hukumnya mengikuti pasukan bentukan Kahar Muzakkar diwilayah Sulawesi itu karena visi Kahar mengingginkan didirikannya negara Islam. Selain itu, keberadaan Kahar Musakkar baginya adalah pejuang yang bertarung dan mempertahankan wilayah Indonesia yang bertugas di hutan.

“Kebetulan kita adalah anggota jadi mengekor saja. Katanya, jangan sampai ada orang luar negeri masuk hutan. Jadi dia harus tinggal di hutan,” ujar kakek yang lahir tahun 1913 itu.

Keberadaan pasukan, lanjutnya, sifatnya tidak menentu. Bahkan, dirinyapun sudah pernah sampai ke Sulawesi Selatan (Sulsel) dikarenakan dirinya hanyalah anggota biasa.

Jamal K, mantan pengikut Batalion 21 DI/TII yang dipimpin oleh Bahtiar.
Jamal K, mantan pengikut Batalion 21 DI/TII yang dipimpin oleh Bahtiar.

Bubarnya para prajurit pimpinan Bahtiar, kenang Jamal, setelah melakukan perlawan dengan Mobri yang menggalami kekalahan.

“Nanti pimpinan sudah kalah baru kita bubar juga, setelah diserang oleh Mobri yang saat ini bernama Brigadir Mobil (Brimob),” ceritanya.

Dalam meningkatkan kekuatan persenjataan, pihaknyapun dilatih bagaimana cara memegang senjata dan berlatih menembak yang diajarkan oleh pasukan khusus DI/TII. Bahkan senjata pun dibeli diluar negeri.

“Kita juga dilatih menembak. Kalau dulu senjata itu kita beli di Tawao (luar negeri). Jadi, kita bawah hasil bumi kesana baru beli senjata. Di sana murah senjata,” kenang Jamal.

Jamal pun kembali ke kampung halamannya, tepatnya di Wawonii Tenggara setelah pemimpinnya kalah dan melarikan diri hingga ke Kendari. (A*)

 

Reporter  : Irfan Mualim
Editor       : Rustam

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini