KUNJUNGAN DPR RI – Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Saleh Lasata saat menerima cenderamata dari ketua rombongan Komisi VI DPR RI Mohamad Hekal (kanan) didampingi sejumlah rombongan komisi VI lainnya. Dalam pertemuan ini sejumlah permasalah disampaikan oleh pemda termasuk perihal pencabutan IUP bermasalah. (ILHAM SURAHMIN/ZONASULTRA.COM)
ZONASULTRA.COM, KENDARI – Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Saleh Lasata mengaku ragu dan takut mencabut 13 izin usaha pertambangan (IUP) yang bermasalah di Kabupaten Konawe Utara (Konut).
Hal itu diungkapkan Saleh Lasata di hadapan rombongan Komisi VI DPR RI di aula rapat Kantor Gubernur Sultra, Senin (30/10/2017).
Saleh menjelaskan, bukan tanpa alasan mengapa pihaknya masih saja belum berani mencabut IUP tersebut. Pertama, mantan Bupati Muna dua periode itu tak ingin bermasalah dengan hukum menjelang masa jabatannya yang akan berakhir pada Februari 2018 mendatang.
Sebab, sebelum pemerintah provinsi diberi kewenangan untuk mencabut seluruh IUP bermasalah di daerahnya, belum lama ini melalui Permen ESDM Nomor 34 tahun 2017 tentang Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara, kewenangan untuk memberikan izin dan mengeluarkan IUP adalah pemerintah kabupaten/kota.
“Tapi belakangan kita lagi yang ambil alih, kadang membingungkan kita tak bisa begitu saja mencabut, data kami sangat minim. Soalnya waktu pengurusan pemprov ini hanya dilewati begitu saja oleh pusat dan daerah,” ungkap Saleh.
Kedua, Saleh mengaku hingga saat ini masih menunggu hasil konsultasi dengan kejaksaan tinggi (Kejati) setempat. Agar langkah pencabutan 13 IUP bermasalah itu dapat berjalan dengan baik tanpa menimbulkan masalah hukum dikemudian hari.
(Berita Terkait : Izinnya Terancam Dicabut, 13 Pemilik IUP di Konut Angkat Bicara)
Ia pun berharap Komisi VI dapat menerima masukan darinya untuk diteruskan ke pemerintah pusat bagaimana alternatif penyelesaian yang lain dan tetap sesuai dengan aturan.
Ketua rombongan Komisi VI DPR RI, Bowo Sidik Pangarso mengatakan, seluruh keluhan dan masukan dari Pemerintah Provinsi Sultra wajib mereka sampaikan ke pemerintah pusat, agar masalah yang ada tersebut dapat diselesaikan melalui kebijakan yang tepat.
Instruksi pencabutan IUP milik 13 perusahaan tambang di Konut itu dilakukan menyusul adanya putusan hukum tetap dari Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 17 Juli 2014 lalu dengan nomor 225.K/TUN/2014.
Di mana dalam amar putusan itu, Mahkamah Agung memerintahkan Pemerintah Kabupaten Konut untuk mengembalikan IUP milik Antam yang pernah dicabut sebelumnya, serta mencabut IUP perusahaan lain yang ada di atas lahan PT Antam itu.
Sejumlah perusahaan yang akan dicabut IUP-nya oleh Pemprov Sultra itu adalah CV Ana Konawe, CV Yulan Pratama, CV Malibu, PT Andhikara Cipta Mulia, PT Avry Raya, PT Hafar Indotech, PT James, Armando Pundimad, PT Karya Murni Sejati 27, PT Mughni Energi Bumi, PT Rizqi Cahaya Makmur, PT Sangia Perkasa Raya, PT Sriwijaya Raya, dan PT Wanagon Anoa Indonesia 3.
Sebelumnya, Deputi General Manager (GM) Operation PT Antam Tbk Sultra Nilus Rahmat mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu hasil pencabutan IUP ke-13 perusahaan tembang yang sebagian masih melakukan operasi penambangan di atas lahan milik PT Antam Tbk itu.
Tercatat, hingga saat ini terdapat lima perusahaan tambang yang masih melakukan penambangan di atas lahan seluas 20 ribu hektar itu. Seperti PT Wanagon Anoa Indonesia, PT Sriwijaya Raya, PT Hafar Indotech, PT Karya Murni Sejati 27 serta PT Sangia Perkasa Raya.
(Berita Terkait : PT Antam Tunggu Aksi Pemprov Sultra Cabut 13 IUP di Konut)
“Jadi sebenarnya ada sekitar 30 perusahaan di dalam, tapi sisa 13 perusahaan, dan masih aktif sampai sekarang. Antam belum bisa beroperasi karena masih ada aktifitas di sana,” ungkap Nilus Rahmat, Kamis (5/10/2017) lalu.
Dia menjelaskan, awal tumpang tindih lahan tambang di atas IUP PT Antam itu bermula saat Bupati Konut pada masa itu mencabut IUP PT Antam Tbk yang kemudian disusul dengan penerbitan 30 IUP di atas lahan PT Antam Tbk.
“Kita tunggu hasil pencabutan itu karena setelah Antam lakukan gugatan pasca bupati Konut cabut IUP Antam itu. Kita menang sampai di Mahkamah Agung,” jelasnya.
Terkait kerugian negara, untuk periode antara 2008 hingga 2014 pihaknya belum bisa menaksirkan jumlah kerugian negara yang ditimbulkan akibat adanya aktivitas 13 IUP itu di atas lahan Antam. Namun untuk periode tahun 2016 hingga 2017, Nilus menaksir kerugian negara bisa mencapai Rp100 milliar lebih. (A)
Reporter: Ilham Surahmin
Editor: Jumriati