Diperam Hingga Digotong, Uniknya Tradisi Katoba Massal di Muna

2094
Diperam Hingga Digotong, Uniknya Tradisi Katoba Massal di Muna
KATOBA MASSAL - Peserta Katoba saat diarak oleh tetua kampung dan ratusan masyarakat Lapole. (Nasrudin/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, RAHA – “Lego, lego,”, teriak warga ketika menyaksikan puluhan anak perempuan bak seorang putri raja diarak dengan cara digotong oleh lelaki dewasa, melintasi setiap sudut lorong rumah warga.

Riuh sekampung kian pecah, ketika para gadis yang beranjak dewasa itu, meliuk-liukan jemarinya dengan sehelai kain mengenakan pakaian adat setempat di atas pundak para penggotong. Sementara anak laki-laki dengan gagahnya membawa keris tanpa mengenakan baju diarak dengan tarian yang dipimpin oleh tetua kampung.

Pemandangan demikian terdapat di Kampung Labora Desa Lapole Kecamatan Maligano Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra), pada Kamis (13/6/2019) lalu. Masyarakat setempat tengah berpesta usai menyambut lebaran Idul Fitri tahun 2019 ini.

Setelah Ramadan berakhir, seluruh aktivitas warga kampung setempat memang terfokus demi suksesi berbagai hajatan. Kegiatan keseharian seperti berkebun dan melaut ditinggalkan. Sudah menjadi tradisi, usai menyambut bulan suci Ramadan akan berderet acara mulai memenuhi jadwal pemerintah desa setempat. Pesta pernikahan, khitanan hingga pengislaman atau warga setempat menyebutnya ‘katoba’ menjadi agenda tahunan yang rutin dihelat.

(Baca Juga : Kande Tompa di Buton, Tradisi Agar Lajang Mendapat Jodoh)

Secara historis, keberadaan tradisi katoba di Muna terkait dengan awal masuknya Islam di Muna pada 1629-1665 M, yakni masa pemeritahan La Ode Abdul Rahman bergelar Sangia La Tugho. Tradisi ini dilaksanakan pada anak yang berusia 7-11 tahun yang dipandu oleh seorang imam desa.

Uniknya, jika di kampung lain peserta katoba hanya diikuti beberapa anak, maka di kampung Labora justru diikuti puluhan anak baik itu anak laki-laki maupun perempuan.

Kepala Desa Lapole yang juga koordinator panitia, La Piara mengatakan tahun ini, peserta toba di desa Lapole menurun yakni hanya 36 anak terdiri dari 19 laki laki dan 17 perempuan. Padahal, tahun sebelumnya hampir mencapai seratus peserta.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

“Tahun ini pesertanya hanya 36 orang. Tahun lalu yang besar hampir ratusan. Bahkan dihadiri oleh bapak Ali Mazi saat masih mencalon dan pa Rektor UHO,” ceritanya, kepada awak zonasultra.id.

Diperam Sebagai Tanda Beranjak Dewasa

Diperam Hingga Digotong, Uniknya Tradisi Katoba Massal di Muna

Kata La Piara, setiap orang tua yang sudah siap mengislamkan anaknya, akan mendaftarkannya dan siap menjalani tahap awal yang disebut “ghombo”, artinya ‘peram’. Mereka yang diperam berarti anak memasuki usia matang.

“Ghombo diartikan ibarat buah yang diperam untuk proses pemasakan. Begitu juga dengan peserta toba, diperam ketika akan memasuki usia balig,” ucapnya.

Pelaksanaan ghombo dilakukan selama empat hari. Selama prosesi itu, peserta tidak diperkenankan keluar rumah ataupun berinteraksi dengan orang lain.

“Pesertanya, dilarang berinteraksi dengan orang lain, hanya orang tua yang sudah didelegasikan oleh panitia. Para peserta ini, tubuhnya akan dilumuri bedak dari beras yang dihaluskan. Sebagai tanda ia dalam masa pemeraman,” jelasnya.

Setelah empat hari diperam, 36 peserta toba akan menjalani prosesi puncak yakni pengislaman. Namun sebelum itu, tradisi warga Lapole akan berbondong-bondong menyaksikan para peserta dikeluarkan dari tempat pemeraman.

(Baca Juga : Mengenal Tradisi Unik Kacang Jodoh di Wakatobi)

“Hari terakhir peserta Laki-laki akan dicukur rambutnya pertanda menghilangkan hal buruk pada dirinya. Itu juga menandai ia siap untuk ditoba,” katanya.

Pengarakan pun didahului oleh peserta laki-laki menuju panggung, tempat para tetua kampung sudah menunggu para peserta toba. Disusul perempuan yang diarak.

Setibanya di panggung, para peserta melingkar menghadap tetua kampung. Sehelai kain putih turut dibentangkan memanjang tepat di depan masing-masing peserta. Mangkuk berisi beras dan telur juga diletakkan berjejer di hadapan setiap peserta.

Dengan menggunakan kain putih para peserta melingkar menghadap tetua kampung. Kain putih itu dipegangi oleh setiap peserta. Semangkuk beras berisi telur berjejer di hadapan masing-masing peserta.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Setelah posisi duduk peserta sudah siap, maka tetua kampung mulai memberi wejangan atau syarat pengislaman bagi peserta. Pengislaman bagi masyarakat Muna merupakan dasar menjalani kehidupan dunia.

Nasihat Meninggalkan Kebiasan Buruk

Diperam Hingga Digotong, Uniknya Tradisi Katoba Massal di Muna

La Tolambe yang didaulat sebagai imam mengatakan toba merupakan proses yang menandakan bahwa seseorang akan meninggalkan kebiasan buruk di masa kecil menuju sebuah kedewasaan.

Hal itu, ditandai dengan lima hal yang mesti ditakuti atau disegani oleh peserta toba. Pertama, kepada bapak dan seumurnya sebagai pengganti Allah. Setiap perkataannya, untuk kebaikan harus diikuti. Kedua, kepada ibu dan seumurnya sebagai pengganti nabi karena surga berada di telapak kaki ibu.

(Baca Juga : Yuk ke Samosir, Intip Uniknya Ajang Cari Jodoh di Festival Gondang Naposo)

Ketiga, kepada kakak juga sebagai pengganti malaikat. Keempat, kepada adik sebagai pengganti orang mukmin. Kelima, kepada kenalan atau kawan. Kelima hal itu atau orang-orang yang dimaksud mesti dihargai dan dihormati.

Syahadat Puncak Pelaksanaan Toba

Selanjutnya para peserta akan berikrar, menyesali semua kesalahan yang sebelumnya sering dilakukan atau disebut “ososo”. Lalu, peserta diberi wejangan atau pernyataan sikap untuk menjauhi perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama atau disebut “fekakodoho”.

Ada pula yang disebut “dofokominae” atau istikamah dalam Iman, yakni menghilangkan atau untuk jangan lagi berbuat tidak baik. Peserta harus berbuat baik terhadap sesama karena Allah selalu mengawasi setiap langkah dan perbuatan.

Puncaknya pembacaan syahadat dengan mangancungkan jari telunjuk yang dibungkus kain putih dengan lafaz “asyhadu allailaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah”. Artinya ‘saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. ***

 


Kontributor: Nasrudin
Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini