Fakta Sesar Palu Koro Penyebab Gempa di Sulteng

Gempa di Palu donggala sulawesi tengah
Lokasi gempa bermagnitudo 7,4 yang mengguncang Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018). (Foto : tribunnews.com)

ZONASULTRA.COM,KENDARI– Deputi Bidang Geofisika Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjelaskan penyebab dari gempa bumi bermagnitudo 7,4 SR yang terjadi di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng), Jumat (28/9/2018) disebabkan deformasi mekanisme pergerakan dari struktur sesar mendatar.

Jika memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenter, gempa yang terjadi merupakan jenis gempabumi dangkal akibat aktifitas sesar Palu Koro.

Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa ini dibangkitkan oleh deformasi dengan mekanisme pergerakan dari struktur sesar mendatar (Slike-Slip).

Dilansir pada laman ekspedisipalukoro.co dijelaskan, Provinsi Sulteng memiliki banyak sesar aktif atau patahan tektonik. Sesar aktif utama, yaitu Sesar Palu-Koro. Menurut ahli geologi aktivitas ini menyimpan gempa besar, yang bahkan lebih besar dari Sesar Semangko yang ada di Sumatera.

Berita Terkait : BMKG: Gempa di Donggala 7,4 SR

Untuk mendapatkan data dan informasi yang lebih valid dibentuklah tim ekspedisi Palu-Koro yang dilaksanakan pada bulan Juli 2018 lalu dengan melakukan sejumlah penelitian, pembuatan dokumentasi untuk TV, foto, buku, diskusi, seminar dan pelatihan.

Ekspedisi ini tidak hanya mengangkat soal bencana gempa dan tsunami, tetapi juga akan mengangkat isu lain yang menjadi berkah bagi wilayah yang dilalui oleh sesar aktif ini seperti berkah tambang mineral dan energi, wisata, keanekaragaman flora dan fauna, budaya dan kemasyarakatan.

Juga perihal misteri dari lebih dari 1000 patung megalitik yang berusia lebih dari 2500 tahun di 3 lembah yang telah mengundang keingintahuan dari berbagai peneliti dari manca negara.

Ketua Tim Ekspedisi Palu Koro Trinurmalaningrum dari Perkumpulan SKALA yang juga sekjen Platform Nasional (PLANAS) untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB) menggagas upaya PRB di wilayah sesar aktif ini bersama Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) dan Aksi Cepat Tanggap (ACT).

Berita Terkait : Gempa di Palu, Jaringan Telekomunikasi Terputus dan Listrik Padam

Dukungan juga diperoleh dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Pemda Sulteng, BPBD Sulteng, Universitas Tadulako, beberapa LSM di Sulteng dan beberapa institusi pemerintah lainnya.

Pertengahan bulan Mei 2017 lalu, dilakukan riset pendahuluan di wilayah Sesar Palu-Koro, selama 10 hari. Sebelumnya 3 workshop sudah dilaksanakan di Jakarta. Workshop pertama untuk memperdalam persoalan Sesar Palu-Koro di balik berkah yang diberikannya.

Workshop kedua untuk menggalang dukungan dari industri minerba di wilayah sesar. Sedangkan workshop ketiga untuk mematangkan persiapan survei pendahuluan di bulan Mei 2017 lalu. Riset pendahuluan ini juga ditutup dengan 2 workshop, di BPBD dan di Universitas Tadulako.

Riset pendahuluan telah mengumpulkan sejumlah hasil penelitian yang pernah dilakukan seputar wilayah Sulteng dan menjadi bahan pijakan yang berarti untuk pelaksanaan Ekspedisi Palu-Koro.

Ada satu kegiatan penting lain yang dilaksanakan di Sesar Palu-Koro sebelum pelaksanaan ekspedisi yaitu workshop bersama media dalam rangka membangun kesadaran tentang pentingnya upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB).

Dilansir dari laman Tempo.co Trinurmalaningrum mengatakan, Sesar Palu-Koro memanjang dari Selat Makassar hingga pantai utara Teluk Bone dengan panjang patahan mencapai 500 kilometer. Khusus di Palu, beberapa segmen sesar ini berada di wilayah daratan hingga lembah Pipikoro yang seterusnya sesar ini memanjang sampai Kabupaten Donggala yang berada di selatan Kota Palu.

Berita Terkait : Sulteng Diguncang Gempa, Warga Kendari Khawatir Tunggu Kabar Keluarga

Tim Ekspedisi Palu-Koro mencatat beberapa gempa besar pernah terjadi akibat sesar ini. Misalnya gempa bumi tahun 1907 yang memakan korban sekitar 250 jiwa. “Kalau dilihat dari siklusnya 100 tahun,” ujar Ketua Tim Ekspedisi Palu Koro Trinurmalaningrum, di Gedung BNPB, Jakarta Timur, Juli lalu.

Tim Ekspedisi Palu-Koro ini dibentuk pada Agustus lalu, dan tim ini turun ke lapangan untuk meneliti sesar yang panjangnya mencapai 500 kilometer itu.

Menurutnya jika mengacu pada bencana tahun 1907 silam, siklus 100 tahunan kemungkinan akan terjadi dalam waktu dekat. Meski ia menegaskan bisa meleset 10-20 tahun.

“Yang jelas sekarang ini masa rawan. Dan masa-masa ini yang kami khawatirkan,” ungkapnya.

Menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Sukmandaru Prihatmoko, sesar Palu-Koro bergeser tiga sentimeter setiap tahunnya. Angkanya memang kecil, tapi bisa berdampak besar. Jika pergerakannya ke dalam, dampaknya hanya guncangan. “Tapi kalau pergerakan ke permukaan, akan muncul retakan tanah atau penurunan ketinggian tanah,” ujar dia.

Pada laman CNN Indonesia, ia menjelaskan, Sesar Palu Koro adalah patahan yang arahnya hampir ke utara bagian barat dan ke arah selatan, dimana patahan ini membelah Kota Palu.

Patahan yang memanjang ke utara itu menyusur pantai dan kemudian masuk ke laut. Sementara, patahan yang ke arah selatan membelah Pulau Sulawesi, kemudian belok ke timur ke arah Sesar Matano.

Pada laman Jawapos.com, lebih jauh Daru menerangkan jika paska gempa dahsyat 1907, wilayah sesar Palu Koro sempat dikosongkan oleh warga setempat. Nanti sekitar tahun 1952 masyarakat baru kembali berdatangan.

Warga pendatang inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah setempat termasuk Tim Ekspedisi Palu Koro untuk diberi pengetahuan dalam menghadapi bencana yang bisa terjadi kapan saja.

“Setelah gempa 1907 dulu daerah itu mulai dikosongkan, masyarakat mulai datang lagi tahun 1952. Tapi mereka kemungkinan nggak tahu sejarah di masa lalu. Makanya kita harus lakukan pendekatan untuk sosialisasi bahayanya sesar Palu Koro ini,” tukasnya.

Disebutkan pula jika Kota Palu merupakan tiga kota di Dunia yang dilewati oleh sesar aktif selain Wellington di New Zealand dan San Fransisco di California.

Pada laman act.id yang merupakan situs resmi dari ACT lebih detail dijelaskan, ada 9 sesar terbesar yang membuat Sulawesi dikepung oleh gempa. Sesar tersebut meliputi Sesar Palu Koro, Sesar Poso, Sesar Matano, Sesar Lawanopo, Sesar Walanae, Sesar Gorontalo, Sesar Batui, Sesar Tolo, dan Sesar Makassar.

Seorang ahli Geolog dari LIPI, Danny Hilman pernah mengatakan, Sesar Palu Koro dan Sesar Matano menyimpan energi guncangan gempa yang besar.

“Rambatan gempa yang diakibatkan pergerakan Sesar Palu Koro dan Sesar Matano sudah berada di level tertinggi. Setara dengan akselerasi gravitasi 0,6 G. Kalau sudah 0,6 G levelnya sudah sangat parah,” kata Danny.

Disebutkan pula dalam situs ini, 91 tahun silam tepatnya tanggal 1 Desember tahun 1927, di tengah laut sebelah barat Kota Palu dan Donggala, gempa besar mengguncang. Cerita masyarakat lokal Palu mengenang waktu itu air laut sampai naik setinggi kurang lebih 15 meter.

“Saat itu, masyarakat lokal turun temurun berkata, air laut berdiri,” ungkap Abdullah, seorang peneliti gempa bumi dari Jurusan Fisika, Fakultas MIPA Universitas Tadulako.

Ada pula catatan gempa besar di tahun 1938 dengan episentrum di daratan sekitar Kecamatan Kulawi. Gempa Palu Koro tahun 1938 terekam seismograf pada skala guncangan 7,9 skala richter.

Kemudian berselang 30 tahun berikutnya, di tanggal 15 Agustus tahun 1968 sesar Palu Koro kembali menimbulkan gempa besar setara dengan 7,4 SR. Episentrumnya berada di wilayah Pantai Barat Kabupaten Donggala. Gempa tahun 1968 kembali memunculkan tsunami besar setinggi 10 meter.

Historis gempa paling dekat yang terekam berupa guncangan Sesar Palu Koro di tahun 1996 sebesar 7,9 SR dan di tahun 2012 kemarin dengan skala 6,1 SR yang terjadi di dekat Danau Lindu, Kabupaten Sigi. B

 


Reporter Ilham Surahmin
Editor Tahir Ose

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini