ZONASULTRA.COM, KENDARI – Tentang perdamaian yang terawat baik dan persatuan yang kokoh dalam lingkungan masyarakat, etnis Tolaki di Sulawesi Tenggara (Sultra), memiliki “kalosara”, suatu kearifan lokal warisan leluhur. Keberadaannya masih dipertahankan hingga kini.
Kalosara dianggap sebagai segala sumber adat istiadat, termasuk suatu sistem hukum dalam masyarakat Tolaki. Etnis ini mendiami bekas Kerajaan Konawe dan bekas Kerajaan Mekongga, yakni wilayah daratan Sulawesi Tenggara (Sultra), meliputi Kendari, Konawe, Kolaka, dan sekitarnya.
Kalosara disimbolkan dengan tiga batang rotan kecil yang dibentuk menjadi lingkaran lalu terikat menyimpul. Lingkaran rotan itu memiliki pengalas kain putih berbentuk persegi yang di lapis bawahnya ada talam anyaman (dari daun palem hutan).
Simbol kalosara itu terlihat di Museum Provinsi Sulawesi Tenggara. Kunjungan penulis di museum itu pada 24 September 2019 lalu, simbol kalosara masih tersimpan rapi disertai dengan miniatur saat prosesi adat kalosara. Tepat di belakang simbol itu ada tulisan falsafah “Inae kosara, ie pinasara. Inae lia sara ie pinekasara”. Artinya “Siapa yang menghargai adat ia akan dihormati. Siapa yang melanggar adat akan diberi sanksi”.
Dari susunan kata-katanya, jelas menggambarkan bahwa betapa penting menghargai adat dan tidak boleh dilanggar. Adat secara harfiah adalah aturan yang lazim dilakukan sejak dahulu kala. Adat juga berarti wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang lain berkaitan menjadi suatu sistem.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, saat suku-suku bangsa belum bersatu, kalosaralah yang menjadi sistem aturan yang menciptakan keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat Tolaki. Lalu pada masa kemerdekaan ini, di mana aturan telah dibuat dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kalosara tetap menyesuaikan sesuai problem-problem masyarakat Tolaki.
*Kalosara dalam Kehidupan Masyarakat Tolaki
Kalosara hingga kini, masih dianggap sebagai solusi atas segala persoalan yang muncul di masyarakat Tolaki baik di daerah asal maupun di mana orang Tolaki menetap. Kalosara juga menjadi benteng dari dampak-dampak yang bisa ditimbulkan dari adanya bermacam konflik.
Tentang kalosara ini, diutarakan oleh Ketua Lembaga Adat Tolaki (LAT) Provinsi Sultra Masyhur Masie Abunawas bahwa peran strategis kalosara bisa dilihat dari simbol yang digunakan. Lingkaran rotan itu adalah tanda persatuan yang kuat Sedangkan kain putih menandakan niat baik dan sebuah pemikiran suci bersih.
Perpaduan kedua hal itulah yang dijunjung tinggi sebagaimana prinsip orang Tolaki adalah ingin hidup damai, tentram, dan tidak ada permusuhan. Maka dari itu kata Masyhur, bila ada permusuhan dan perselisihan diselesaikan sesuai mekanisme kalosara.
Simbol kalosara itu digunakan dalam berbagai kegiatan adat, salah satunya dalam penyelesaian masalah pertikaian masyarakat. Sistem adat kalosara yang demikian sudah ada sejak zaman kerajaan di wilayah Konawe, yang salah satu fungsinya untuk mengatur tatanan hidup masyarakat.
Masyhur menjelaskan di zaman sekarang ini, yang mana sudah ada hukum formal dalam bingkai NKRI, masyarakat Tolaki tetap menggunakan adat kalosara dalam penyelesaian masalah. Masalah apapun mulai dari perkelahian, perselisihan, perzinahan, pencurian, hingga masalah yang timbul dari penggunaan media sosial.
“Meskipun sudah diproses secara hukum formal, hukum adat juga tetap jalan. Tetapi kadang-kadang polisi, kalau ada masalah perselisihan, atau yang menyangkut keluarga, biasanya hanya dikembalikan ke hukum adat untuk diselesaikan,” ujar Masyhur ketika berbincang dengan penulis di kediamannya, Kota Kendari, 28 September 2019.
Namun, untuk kasus-kasus pidana serius, misalnya pembunuhan maka ada dua yang berlaku yakni hukum formal dan adat kalosara. Bila hukum formal diproses oleh kepolisian maka kalosara yang berwenang adalah lembaga adat yang dipimpin Masyhur.
Wilayah pemberlakuan kalosara ini, yakni di mana pun orang dari suku Tolaki berada atau tinggal. Sementara yang berperan dalam prosesi adat kalosara adalah lembaga adat.
Di Sulawesi Tenggara, kepengurusan LAT ada di wilayah daratan yang berpusat di Kendari sebagai Dewan Pengurus Pusat (DPP). Di tingkat kabupaten juga ada seperti di Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka Timur, dan Kolaka.
Hukuman atau sanksi adat (peohala) yang diberlakukan dalam adat kalosara bermacam-macam, bisa diusir keluar kampung, hewan kerbau, denda berupa uang tunai, satu pieces kain putih, hingga ada yang hanya sebatas permintaan maaf. Jenis-jenis denda ini ada tingkatannya sesuai tingkat pelanggaran, bisa berupa uang saja dan ada pula uang plus kerbau, tapi karena saat ini sulit menemukan kerbau maka bisa diganti sapi.
“Biarpun misalnya kesalahannya bawa lari anaknya orang atau kawin lari, atau pernah membunuh. Pada saat bertemu, meskipun parang sudah di sini (leher), kalau dibawakan kalosara selesai itu masalah. Kalau tidak menerima itu (kalosara) berarti sudah melanggar adat, sudah kurang ajar,” tutur Masyhur.
Saking dihormatinya simbol kalosara, dalam keadaan terdesak pun, misal sudah tertodong parang, topi dapat digunakan sebagai pengganti lingkaran rotan. Masyhur menyebut, caranya topi diletakkan di lantai atau tanah agar menyerupai lingkaran kalosara, sebagai tanda masalah itu harus diselesaikan secara adat.
Simbol kalosara begitu dihormati dan dihargai sebagaimana falsafah “Inae kosara, ie pinasara. Inae lia sara ie pinekasara”. Masyhur menjelaskan maksud falsafah itu bahwa setiap individu baik orang Tolaki maupun bukan harus menjunjung tinggi aturan, dan siapa yang menaati aturan itu akan dihargai dan dihormati, serta siapa yang melanggar aturan harus menerima sanksi atau hukuman.
Pemberlakuan adat kalosara ini biasanya ketika orang Tolaki menjadi objek pelanggaran, maupun ketika menjadi subjek pelanggaran. Sehingga hal itu dapat menjadi solusi penyelesaian konflik, baik dengan orang luar ataupun lokasi pelanggaran ada di daerah lain, selama hal itu berkaitan dengan orang Tolaki.
Di era perkembangan teknologi digital sekarang ini di mana interaksi sosial beralih ke media sosial, kalosara tetap memiliki peranan dalam penyelesaian konflik dan meredam dampak perselisihan akibat penggunaan media sosial. Hal itu sejalan dengan tujuan dasar kalosara adalah untuk kepentingan merawat perdamaian dan mengokohkan persatuan.
Masyhur mencontohkan sekitar dua tahun lalu, terjadi penghinaan terhadap orang Tolaki oleh orang dari suku lain melalui media sosial. Saat itu warga Tolaki sudah tersulut amarah dan tidak terima meskipun telah dilaporkan ke pihak kepolisian.
Untuk meredam masalah itu maka diselesaikanlah secara adat kalosara yang difasilitasi oleh Lembaga Adat Tolaki. Terhadap pelaku dikenakan sanksi berupa denda. Begitu hal itu diselesaikan secara adat, masyarakat sudah tidak mempersoalkannya lagi. Begitu pula bila masalah itu tidak diselesaikan melalui kalosara, mungkin kata Masyhur, masyarakat tetap akan mencari pelaku meskipun sudah diproses secara hukum formal.
Masalah-masalah media sosial lainnya, bila itu berhubungan dengan pelanggaran hukum dapat diselesaikan dengan adat kalosara. Sebab kata Masyhur, aturan hukum itu terus berkembang, begitu pula aturan adat kalosara yang menyesuaikan dengan pola kehidupan masyarakat.
“Kalau kalosara diterapkan, aman dunia,” ujar Masyhur menggambarkan betapa pentingnya kalosara.
*Makna Kalosara dan Nilai-Nilai yang Dikandungnya
Asal usul kalosara ini diceritakan oleh Budayawan Tolaki Basaula Tamburaka bahwa kalosara sudah ada sejak abad ke-X. Dikisahkannya, mulanya seluruh wilayah Konawe dalam keadaan kacau balau, tidak ada tata tertib yang mengatur masyarakat dan terjadi perang saudara antar kerajaan-kerajaan kecil.
Kerajaan-kerajaan yang berperang itu adalah Kerajaan Padangguni di Abuki, Kerajaan Besulutu di Sampara, dan Kerajaan Wawolasea di Toreo (kini wilayah Lasolo). Perang saudara ini berlangsung selama tujuh generasi. Singkat cerita, perang saudara itu berakhir dan kerajaan-kerajaan kecil itu tergabung menjadi Kerajaan Konawe dengan raja pertama adalah Wekoila.
Pada masa pemerintahan Wekoila, dibuatlah konsep untuk persatuan dan aturan yang berlaku di masyarakat. Konsep itu terwujud dalam bentuk lingkaran seperti benda kalo. Kalo maksudnya adalah sebuah benda berbentuk lingkaran. Sedangkan sara, adalah aturan-aturan tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan atau dilarang.
Konstruksi simbol kalosara itu tersusun dari tiga bahan utama yakni talam anyaman bambu, kain putih, dan rotan. Masing-masing unsur itu memiliki nilai-nilai yang bermanfaat bagi tatanan kehidupan masyarakat.
Tiga lilitan rotan dalam kalosara dalam skala keluarga bermakna: lilitan pertama adalah ayah/bapak, lilitan kedua adalah ibu rumah tangga, dan lilitan ketiga adalah anak atau anggota keluarga. Kata Basaula, maksudnya dalam keluarga yang tinggal dalam satu rumah harus selalu rukun, damai, bersatu, tidak berjalan sendiri-sendiri.
Dalam konteks kehidupan masyarakat Tolaki masa kini, tiga lilitan rotan bermakna pemerintah, agama, dan adat. Semua dalam satu kesatuan yang saling menguatkan sebagaimana lilitan rotan.
“Rotan itu kan fungsinya adalah benda serba guna, yang akan mengingatkan orang Tolaki untuk selalu berguna atau bermanfaat. Seperti rotan yang tumbuh tinggi dengan batang yang kuat tetapi lentur bermakna bahwa kita harus hidup saling bekerja sama dan rukun damai,” tutur Basaula di kediamannya, Kendari, 1 Oktober 2019.
Kain putih yang bermakna bersih dan suci merupakan wujud jiwa religius yang ada pada diri masyarakat Tolaki, dengan keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu kata Basaula, kain putih juga memiliki nilai keadilan, keikhlasan, dan kejujuran.
Kemudian, talam anyaman bermakna kesejahteraan, ketentraman, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat orang Tolaki. Pekerjaan masyarakat Tolaki yang kebanyakan bertani, lewat talam anyaman itulah disimbolkan ada kesejahteraan hidup bagi para petani.
Talam anyaman juga mengandung asas musyawarah mufakat. Dalam pengambilan keputusan biasanya ada musyawarah melalui perwakilan perangkat adat untuk pengambilan keputusan yang dapat diterima semua pihak.
“Jadi kalau tiga unsur itu kalau tidak dihargai, maka tiga ini dia kena. Misalnya, itu orang tidak ada persatuannya, tidak berjiwa kesucian atau tidak ada agamanya,” ujar Basaula, yang juga mantan Sekretaris LAT Konawe Selatan. (***)
Baca Artikel Selanjutnya :
Kalosara dari Dulu hingga Kini: Merawat Perdamaian, Mengokohkan Persatuan (Bagian 2)