Kalosara dari Dulu hingga Kini: Merawat Perdamaian, Mengokohkan Persatuan (Bagian 2)

Kalosara dari Dulu hingga Kini: Merawat Perdamaian, Mengokohkan Persatuan (Bagian 2)
ADAT KALOSARA - Dua jenis lingkaran rotan yang digunakan sebagai simbol adat kalosara. Lilitan rotan sebelah kiri digunakan untuk sara wonua dan sebelah kanan adalah lilitan rotan untuk sara mbedulu. (Foto: Muhamad Taslim Dalma/ZONASULTRA.COM)

*Pelanggaran Hukum dan Penyelesaian Konflik

Kalosara terbagi dalam lima bagian yakni sara wonua tentang pemerintahan, sara meombu tentang adat ritual yang berhubungan dengan agama, sara mbedulu yang berhubungan dengan adat perkawinan, sara mandarahi tentang kesenian. Sementara yang kelima adalah sara mondau, mombopaho, mombakani, melambu, dan me’oti-oti yaitu yang berkaitan dengan berladang, berkebun, beternak, dan melaut.

Budayawan Tolaki Basaula Tamburaka menyebut, yang berkaitan dengan pelanggaran hukum dan penyelesaian konflik adalah sara wonua. Simbolnya berupa kalosara yang ujung rotannya membentuk angka delapan. Berbeda dengan sara mbedulu yang salah satu ujung rotannya keluar menonjol. Dua jenis simbol kalosara inilah yang umumnya digunakan.

Pada sara mbedulu di tengah lingkaran rotan ada pinang dan daun sirih sedangkan pada sara wonua tidak ada. Simbol dalam sara mbedulu itu bahwa ketika proses pelamaran atau perkawinan pasti ada kekurangan yang mesti disembunyikan sehingga ujung rotan dalam kalosara hanya satu yang menonjol keluar dan dua ujung rotan lainnya terikat ke dalam.

“Kalau sara wonua yang ujung rotannya bermakna tidak ada yang kalah tidak ada yang menang, di situ juga menunjukkan persatuan kita,” ucap Basaula.

Ada berbagai kasus yang dapat diselesaikan dengan sara wonua. Basaula bercerita, misalnya pada tiga tahun yang lalu, pernah terjadi konflik antara orang Tolaki dan orang Bali terkait masalah kepemilikan tanah di wilayah Kabupaten Konawe.

Masing-masing memiliki dasar yang kuat, orang Bali memiliki sertifikat tanah. Sementara orang Tolaki di lahan yang sama masih ada rumah yang sudah lama ditinggali dan ada pohon kelapa sebagai bukti.

“Nah mereka sudah mau baku potong, sudah sama-sama pegang parang karena masing-masing ada dasar. Pada waktu itu dihubungi tokoh adatnya orang Bali dan tokoh adatnya orang Tolaki. Disampaikan kalau mau aman pakai ini (kalosara), maka datanglah mereka di situ (lokasi sengketa),” tutur Basaula.

Setelah itu, bertemulah para tokoh adat di sebuah lapangan untuk bermusyawarah hingga akhirnya mufakat. Solusi yang dicapai adalah sesuai aturan adat kalosara. Pihak Lembaga Adat Tolaki menimbang seperti apa keputusan yang akan diambil.

Pada akhirnya diputuskan bahwa tanah sengketa itu dibagi dua sesuai nilai yang terkandung dalam ujung rotan simbol kalosara “tidak ada yang menang tidak ada yang kalah”. Dengan adanya keputusan yang seperti itu warga berbeda etnis itu dapat hidup rukun berdampingan hingga saat ini.

Selain keputusan yang demikian, berdasarkan pengalaman Basaula, ada pula jenis sanksi atau hukuman lain, misalnya seekor kerbau, kain putih satu pieces, dan ada pula denda adat berupa uang tunai. Kalau kerbau biasanya disembelih lalu dibagi-bagikan ke masyarakat kampung, sedangkan uang tunai adalah untuk keluarga korban. Bila korbannya mengalami luka, maka uang tunai itu tujuannya adalah untuk biaya berobat.

Kepada penulis, seorang warga suku Bali, bernama Iyan (30) yang bermukim di salah satu kampung di Kabupaten Konawe, berkisah tentang bagaimana kalosara begitu dihormati oleh masyarakat Tolaki dan berperan dalam perdamaian antar warga. Saat itu akhir tahun 2018, terjadi kesalahpahaman antara Iyan dan seorang pemuda setempat (dari suku Tolaki) yang berujung perkelahian.

Hal itu kemudian membuat cemas warga setempat karena perkelahian itu sudah memancing konflik antar kelompok. Keluarga Iyan kemudian berupaya agar masalah itu diselesaikan secara damai dan yang disepakati melalui adat kalosara. Kedua belah pihak yang tadinya masing-masing hendak lapor polisi akhirnya tidak jadi.

Dalam proses kalosara itu melibatkan pemangku adat setempat yang disebut tolea pabitara. Tolea adalah ketua adat sedangkan pabitara adalah juru bicara. Dalam kasus ini, pihak Iyan mengutus pabitara (dari suku Tolaki) ke pihak sebelah yang diwakili oleh tolea. Setelah itu dilakukanlah proses sidang adat kalosara dengan menghadirkan berbagai pihak.

“Saat itu dilakukan ritual adat. Waktu itu saya sampai mau dilaporkan ke polisi, tapi karena sudah tokoh adat yang turun tangan dengan kedua belah pihak,” tutur Iyan di Kendari, 29 Oktober 2019, yang tidak begitu mendetailkan perkara itu karena persoalan itu disepakati untuk tidak disebut-sebut lagi.

Akhir dari masalah itu, Iyan dikenakan peohala (sanksi adat) yakni membayar uang tunai sekitar Rp100 ribu dan harus saling memaafkan. Iyan pun kemudian membayar sanksi adat itu dan saling memaafkan dengan pemuda tersebut.

Usai proses adat itu, Iyan mengaku hubungan antar masyarakat kembali normal dan damai, begitu pula hubungan Iyan dengan pemuda itu seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak ada lagi yang mengungkit-ungkit persoalan tersebut.

*Kalosara dan Hukum Formal

Seorang advokat senior di Sulawesi Tenggara, Risal Akman menilai kalosara sangat penting, khususnya dalam penyelesaian sengketa-sengketa atau persoalan yang timbul di masyarakat. Sejauh pengalamannya, yang sudah 20 tahun menjadi advokat, kalosara merupakan alat pemersatu untuk mencapai perdamaian.

Namun, menurut dia perlu ada pembatasan-pembatasan bahwa tidak semua persoalan disamaratakan untuk diselesaikan dengan hukum adat seperti kalosara. Misalnya kasus pembunuhan maka semestinya diselesaikan lewat jalur hukum formal.

“Kalau saya melihat, kita di orang Tolaki itu, persoalan-persoalan yang menyangkut hubungan kekerabatan seperti terjadi perselisihan antara kedua keluarga, seberapa panasnya itu masalah tapi kalo sudah turun dengan kalosara, teredam itu,” tutur Risal yang juga berasal dari etnis Tolaki, ketika berbincang dengan penulis, 18 Oktober 2019.

Dalam proses hukum di pengadilan, adanya penyelesaian kalosara tidak menghentikan proses hukum yang sudah berjalan. Hasil dalam kalosara menjadi hal-hal yang bisa meringankan dalam putusan hakim.

Risal menjelaskan penyelesaian perkara dengan adat kalosara biasanya sebelum perkara ditingkatkan ke penyidikan aparat penegak hukum. Bila sudah masuk tahap penyidikan maka akan berlanjut hingga persidangan.

“Pernah ada putusan di mana pengadilan lebih mengedepankan penyelesaian perkara dengan pendekatan budaya kalau kedua belah pihak sudah ada dan terjadi kesepakatan. Hanya itu tidak menjadi tolok ukur bagi perkara-perkara lainnya, dan itu tergantung hakim yang memeriksanya juga,” tutur Risal.

Risal terkadang mendapat keluhan dari kliennya yang sudah membayar denda adat dan ikuti aturan adat tapi proses hukum formal tetap jalan. Ia pun menjelaskan bahwa budaya lokal tidak terikat dengan aturan normatif negara dan kalosara pula tidak dalam aturan yang tertulis.

Aparat penegak hukum diharapkan bisa menggali nilai-nilai luhur yang ada pada masyarakat. Sebab kata Risal, perdamaian di atas segala-galanya. Meski memang putusan hukum itu penting, tapi perdamaian lebih penting dari itu.

Risal menyebut tujuan hukum di Indonesia bukanlah untuk memenjarakan orang, tapi sarana untuk koreksi diri bahwa apa yang dilakukan itu mungkin ada semacam kekeliruan. Jadi lebih kepada pembinaan bukan penghukuman.

“Misalnya apakah dengan memenjarakan orang persoalan akan selesai atau tidak berbuat lagi, kan tidak seperti itu, jadi tujuan hukum kita untuk koreksi bahwa apa yang dilakukan itu tidak semestinya,” ucap Risal, yang juga seorang magister hukum lulusan Universitas Islam Jakarta.

Risal bercerita pernah menangani seorang klien yang jadi pelaku dalam kecelakaan lalu lintas. Kejadiannya di Unaaha, Kabupaten Konawe pada tahun 2005. Kliennya ini membawa kendaraan kemudian menabrak seseorang hingga yang ditabraknya itu meninggal dunia. Kliennya dan keluarga korban lalu bersepakat agar masalah itu diselesaikan melalui adat kalosara.

Proses adat kalosara pun berlangsung, kedua pihak dipertemukan dengan mekanisme adat kalosara. Sanksi adat pun dikenakan, hingga pelaku menyelesaikan semuanya sesuai adat kalosara, termasuk salah satu sanksinya membayar denda. Namun proses hukum formalnya tetap jalan.

“Jadi pada saat pemeriksaan di pengadilan dan hingga putusan. Itu hanya bagian yang bisa meringankan saja. Dari tuntutan hukuman 5 tahun, karena ada penyelesaian secara adat itu tadi, divonis 2 tahun. Hakim mempertimbangkan bahwa antara korban dan pelaku sudah berdamai sesuai dengan adat kebiasaan Suku Tolaki, kalosara,” ujar Risal.

Kepala Sub Bidang Penerangan Masyarakat Humas Polda Sultra Kompol Agus Mulyadi mengatakan kasus yang sedang diproses kepolisian bisa saja diselesaikan secara kekeluargaan maupun melalui proses hukum adat seperti lewat kalosara.

Di kampung-kampung, biasanya yang mengambil peran adalah bhabinkamtibmas bersama tokoh adat dan unsur aparat pemerintah desa/kelurahan. Kasus-kasus yang diselesaikan secara hukum adat adalah tindak pidana ringan.

Jadi tidak seluruh masalah yang dilaporkan di polisi itu harus muaranya ke pengadilan. Kata Agus, kalaupun kasusnya sudah ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan maka itu proses penyelesaiannya harus melalui penyidik.

“Misalnya sudah naik ke tahap penyidikan ternyata ada semacam perdamaian, masing-masing bisa bikin pernyataan dengan diketahui pejabat pemerintahan, itu bisa diselesaikan di hadapan penyidik,” ujar Agus di ruang kerjanya, Selasa (29/10/2019).

Penyelesaian yang demikian, disebut alternatif dispute resolution (ADR) atau penyelesaian perkara di luar pengadilan. Hal ini sesuai Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang ADR.

Yang dapat ditolerir kepolisian lewat ADR adalah tindak pidana ringan, misalnya yang ancaman hukumannya paling lama tiga bulan penjara. Namun, untuk kasus-kasus pidana berat, kepolisian akan tetap melanjutkan kasus yang sudah ditangani sampai ke pengadilan.

Khusus kasus-kasus mengenai suku agama ras dan antar golongan (SARA), polisi juga mendorong agar penyelesaiannya bisa melalui adat masyarakat setempat seperti kalosara. Sebab kata Agus, bila dapat diselesaikan sendiri antar masyarakat maka masalah SARA itu tidak akan berkembang sedangkan bila diselesaikan melalui hukum formal bisa panjang prosesnya dan belum tentu meredam konflik yang ada di masyarakat.

“Makanya kalau masalah-masalah SARA itu, sebaiknya juga melibatkan unsur pemerintah, tokoh adat, tokoh agama, karena kasus yang berbahaya itu biasa pemicunya adalah suku agama, ras, dan golongan,” ujar Agus.

Pada tahun 2019 ini, kasus SARA yang sering muncul adalah penghinaan suku melalui media sosial. Agus menyebut salah satunya pada pertengahan 2019 ini yakni kasus penghinaan terhadap suku Tolaki melalui media sosial facebook. Hanya saja kasus ini tidak diselesaikan secara hukum adat sehingga kepolisian melanjutkan hingga ada penetapan tersangka dan dilimpahkan ke tahap penuntutan.

Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kendari, Kelik Trimargo
Kelik Trimargo

Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kendari, Kelik Trimargo menjelaskan pengadilan negeri menganut hukum nasional. Kalau ada masyarakat yang menyelesaikan masalahnya dengan hukum adat maka disilakan, hakim pengadilan tidak bisa mengintervensi proses hukum adat tersebut.

Kecuali, dalam proses pelaksanaan hukum adat merugikan salah satu pihak karena ada yang ingkar janji, barulah dibawa ke ranah pengadilan. Perkara yang sering disidangkan PN Kendari adalah ada yang berjanji membayar denda adat tapi tidak dilaksanakan.

“Kayak di sini orang di-peohala (denda adat dalam istilah kalosara), dia tidak bisa memenuhi berapa denda yang harus dibayar padahal dia sudah berjanji. Nah itu bisa penipuan,” ujar Kelik yang juga Humas PN Kendari.

Misalnya juga pelaku janji bayar denda dengan menjaminkan mobilnya, tapi kemudian terjadi wanprestasi, nah ini masuk ke hukum perdata. Jadi kata Kelik kalau ada hukum adat, diselesaikan dulu dengan adat mereka, tidak dicampur dengan hukum nasional.

Kelik mengakui memang ada juga kasus-kasus yang sudah diselesaikan secara hukum adat kalosara tapi pengadilan juga tetap melanjutkan proses persidangan. Dalam keadaan seperti ini, maka hasil-hasil yang sudah dijalani dalam hukuman adat kalosara menjadi hal yang meringankan atau menjadi pertimbangan hakim.

“Hal yang meringankan terdakwa, itu yang dipandang oleh hakim bahwa dia sudah menjalani hukuman adat. Nah itu menjadi hal-hal yang meringankan ketika hakim menjatuhkan putusan, bukan terpengaruh. Karena itu hukum adat, hakim juga harus mematuhi, ndak begitu,” ujar Kelik.

Selama menjadi hakim di PN Kendari, kasus yang kerap ditemukan Kelik adalah ingkar janji atau wanprestasi terhadap sanksi adat kalosara yang sudah disepakati antar pihak. Pelaku tidak memenuhi janji sehingga diperkarakan oleh korban sebagai tindak pidana penipuan.

*Tantangan Pelestarian Kearifan Lokal

Kalosara sebagai warisan leluhur etnis Tolaki menghadapi tantangan masa kini yang mengancam eksistensinya. Ketua Lembaga Adat Tolaki (LAT) Masyhur Masie Abunawas dan Basaula Tamburaka memiliki pandangan yang senada terkait tantangan yang ada yakni berkurangnya penguasaan bahasa daerah di generasi muda, masyarakat mulai heterogen yakni terjadi perkawinan antar etnis, dan kurangnya kepedulian generasi muda terhadap budayanya sendiri.

Penguasaan bahasa Tolaki dianggap penting sebab bahasa daerah tidak lain adalah identitas kebudayaan Tolaki. Masyhur menyebutuntuk menguasai adat kalosara maka harus tahu berbahasa daerah Tolaki, misalnya, bahasa-bahasa dalam adat kalosara menggunakan bahasa daerah Tolaki.

“Kalau saya di sini masih pakai bahasa Tolaki, tapi anak cucu saya sudah banyak yang tidak mengerti bahasa Tolaki. Nah itu kendalanya nanti,” ujar Masyhur.

Kemudian terjadinya asimilasi perkawinan di dalam penduduk membuat terjadinya pencampuran kebudayaan pada generasi selanjutnya. Hal ini dinilai mengikis budaya Tolaki itu sendiri secara perlahan.

Kendati demikian, LAT tetap berupaya agar adat kalosara tetap dipertahankan, misalnya dengan berlanjutnya kepengurusan LAT di sejumlah kabupaten/kota. Ketua LAT dijabat oleh orang yang berpengaruh di pemerintahan, misalnya Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara Lukman Abunawas adalah Ketua LAT Konawe. Hal ini diharapkan dapat memberi nilai lebih pada eksistensi kalosara.

Kemudian kata Masyhur, LAT juga mengupayakan agar bahasa daerah Tolaki maupun materi tentang kalosara bisa masuk dalam pembelajaran Muatan Lokal (Mulok) di sekolah. Generasi muda dianggap perlu mengenal kalosara melalui bangku pendidikan.

Untuk masuk di dunia pendidikan formal di Sulawesi Tenggara, kearifan lokal kalosara masih belum dapat dilakukan. Padahal sudah ada Keputusan Pemerintah RI yang mengakui kalosara sebagai warisan budaya tak benda dengan nomor registrasi 204758/2013. Dua warisan budaya tak benda lainnya yang juga diakui adalah tari lulo dan mosehe.

Saat ini Peraturan Gubernur (Pergub) Sulawesi Tenggara tahun 2017 tentang muatan lokal, model pengembangan kurikulumnya adalah tarian lulo untuk diajarkan di Sekolah Menengah Atas (SMA) dan pengolahan rumput laut untuk SMK. Sementara tentang kalosara belum ada dalam pergub tersebut.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sultra Asrun Lio mengatakan dengan mengikuti pergub tersebut muatan lokal tentang tarian lulo tidak tersendiri tetapi terintegrasi di beberapa mata pelajaran yakni Seni Rupa, Kewirausahaan, dan Prakarya.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sultra Asrun Lio
Asrun Lio

Dalam Kurikulum 2013 (K-13) yang berlaku saat ini berbeda dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku sebelumnya. Dalam KTSP, materi muatan lokalnya tergantung sekolah berdasarkan potensi kearifan lokal wilayah sekitarnya. Nah di K-13 tidak ada mata pelajaran muatan lokal, sehingga diperlukan pergub agar ada kearifan lokal yang bisa dikembangkan.

“Kearifan lokal memang banyak tapi kan yang baru siap ini materinya baru dua itu (tari lulo dan rumput laut). Yang lainnya masih dalam proses, seperti misalnya bahasa daerah,” ujar Asrun di ruang kerjanya, Selasa (15/10/2019).

Terkait bahasa daerah itu, di Sulawesi Tenggara terdapat banyak bahasa daerah, di antaranya bahasa Wolio, Bahasa Muna, Bahasa Tolaki, dan lainnya. Untuk dimasukan dalam pembelajaran muatan lokal masih perlu dikonsep.

Asrun mengatakan pihaknya bersama lembaga bahasa mendorong untuk mempercepat dikeluarkannya pergub tentang pembelajaran bahasa daerah di sekolah. Modelnya bisa dengan pembelajaran bahasa daerah sesuai penduduk di sekitar sekolah, misalnya pada mayarakat Tolaki pembelajaran di sekolah bahasa Tolaki dan pada masyarakat Buton adalah bahasa Wolio.

Meskipun juga sudah ada pergub, Asrun menyebut kendala saat ini soal pengintegrasian kearifan lokal adalah kurangnya tenaga pengajar yang berkompeten. Misalnya tidak ada guru yang bisa mengajarkan, maka harus mendatangkan guru yang mampu.

Di SMAN 4 Kendari, materi kearifan lokal terintegrasi dalam mata pelajaran prakarya. Namun kearifan lokal seperti tari lulo tidak begitu maksimal diajarkan secara utuh karena terkendala tenaga pengajar yang bisa secara khusus mengajarkan.

Kepala SMAN 4 Kendari, Ruslan mengatakan bila memang tenaga pengajar tersedia maka pastilah materi kearifan lokal mulai dari sejarahnya hingga nilai-nilai yang dikandungnya dapat diajarkan ke siswa. Saat ini meskipun kearifan lokal didukung pergub, tidak serta merta maksimal diterapkan.

“Di sekolah kami, misalnya, kalau guru khusus prakarya memang belum ada. Karena kurikulum itu mensyaratkan, maka yang boleh mengajarkan mata pelajaran prakarya itu adalah guru ekonomi, biologi, kimia. Jam pelajaran prakarya kita distribusi ke guru-guru itu,” ujarnya di Kendari, Selasa (15/10/2019).

Kearifan lokal lainnya juga biasanya masuk dalam kegiatan ekstrakuriler SMAN 4 Kendari dengan membentuk sanggar seni. Namun kata Ruslan, dalam ektrakurikuler hanya yang yang bisa diikutkan lomba-lomba, seperti tarian daerah. Hal itupun hanya siswa tertentu, sesuai persiapan lomba. (***)

 

Baca Artikel Sebelumnya :
Kalosara dari Dulu hingga Kini: Merawat Perdamaian, Mengokohkan Persatuan (Bagian 1)


Reporter: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini