ZONASULTRA.COM, KENDARI – Ratusan masyarakat Wawonii, Konawe Kepulauan (Konkep) melakukan aksi penolakan terhadap hadirnya tambang di tempat mereka tinggal pada Rabu (6/3/2019) lalu. Dalam aksinya, masyarakat menuntut Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) untuk segera mencabut izin usaha pertambangan (IUP) di pulau tersebut yang jumlahnya 13 IUP.
Penolakan masyarakat itu tentunya tanpa alasan. Masyarakat khawatir, aktivitas tambang tersebut dapat merusak lingkungan, sebagaimana yang dialami beberapa daerah lain.
Dosen Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkunga (FHIL) Universitas Halu Oleo (UHO), Safril Kasim mengungkapkan, jika dilihat dari segi lingkungan, aktivitas pertambangan di daerah kepulauan memang memiliki dampak terhadap kerusakan lingkungan.
(Baca Juga : Aksi Kubur Diri Warnai Protes Hadirnya Tambang di Pulau Wawonii)
Kata Safril, aktivitas pertambangan dapat menyebabkan kegundulan hutan karena dilakukan pembersihan lahan sebelum aktivitas pertambangan (land clearing). Akibat land clearing itu, maka semua vegetasi di atasnya akan hilang, lalu membentuk kubangan. Hilangnya vegetasi inilah yang nantinya akan memberi dampak terhadap lingkungan.
“Vegetasi itu, secara substansial memiliki berbagai fungsi, seperti menyerap gas karbondioksida, gas rumah kaca, atau gas cemaran lainnya melalui proses fotosintesis. Gas karbon atau utamanya monoksid atau dioksid itu hanya bisa diserap oleh tumbuhan hijau,” kata Safril ditemui di kediamannya, Kamis (7/3/2019).
Jika vegetasi tersebut telah hilang, khususnya di daerah kepulauan seperti Konkep yang notabene memiliki daratan yang kecil, lanjutnya, fungsi menyerap gas-gas yang tidak baik untuk tubuh mahluk hidup itu akan hilang. Hal ini, berimplikasi pada meningkatnya gas-gas cemaran, khususnya karbondioksida di atmosfer.
Peningkatan gas cemaran, khususnya karbondioksida tersebut, bisa memicu perubahan iklim. Perubahan iklim sendiri, kerap kali dapat menyebabkan gelombang pasang, meningkatnya permukaan laut, dan sebagainya. Hal ini dapat memberikan dampak ke masyarakat, misal dengan gelombang pasang masyarakat akan susah melaut. Dampak ini akan membuat pendapatan masyarakat berkurang.
(Baca Juga : Pemerintah Pusat Sepakat Tak Ada Ruang untuk Pertambangan di Konkep)
Dampak lain yang juga akan timbul, sudah pasti pada lingkungan. Tambang memang memiliki dampak yang tidak baik untuk lingkungan, seperti kegundulan lahan, pencemaran, dan sebagainya. Untuk di daerah kepulauan, beberapa kerusakan lingkungan yang menjadi kekhawatiran salah satunya adalah masalah air bersih karena kurangnya vegetasi atau tumbuhan hijau dipermukaan lahan.
Vegetasi sendiri memiliki peran yang besar untuk mengatur tata air. Ketika terjadi hujan, jika ada vegetasi, maka air hujan tadi akan diserapnya, lalu dialirkan kepermukaan tanah sehingga menjadi aliran dasar. Aliran dasar itulah yang kemudian menjadi air bersih. Namun, jika vegetasi sudah tidak ada lagi dan menjadi lahan tambang, maka otomatis fungsi dari vegetasi tersebut sudah tidak ada lagi.
Kemudian, terkait kualitas dan pencemaran, kata Safril, ada kemungkinan akan tercemarnya air dengan mineral tambang. Ketika air yang mengalir di dalam tanah, tercampur dengan mineral-mineral tambang, ituakan sangat berbahaya untuk dikonsumsi. Belum lagi kalau aliran tersebut juga masuk ke tubuh sungai atau hingga ke laut. Otomatis, biota sungai atau laut tersebut akan terganggu.
Dampak selanjutnya juga yang akan timbul seperti perubahan bentang lahan, hilangnya keanekaragaman hayati flora, fauna, dan musnahnya jutaan plasma nutfah, hilangnya lapisan soil tanah, memicu global warming karena meningkatnya konsentrasi gerak di atmosfer, polusi suara pada saat tambang beroperasi, dan sebaginya. (a)
Kontributor : Sri Rahayu
Editor : Kiki