Menilik Penggabungan Pelindo dan Dampaknya Bagi Sulawesi Tenggara

Menilik Penggabungan Pelindo dan Dampaknya Bagi Sulawesi Tenggara
PELABUHAN MODERN – Terminal Kendari New Port tampak dari udara. Pelabuhan milik PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) IV yang sudah dilengkapi berbagai peralatan modern ini siap melayani ekspor langsung (direct export) ke seluruh negara di dunia. (Foto: IG pelindo4kendari)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Sulawesi Tenggara (Sultra) merupakan salah satu provinsi di kawasan timur Indonesia yang denyut nadi ekonominya dapat dilihat pada gerak arus lalu lintas barang di tiap-tiap pelabuhan. Sebagai daerah kepulauan, pelabuhan jadi gerbang utama jalur distribusi masuknya barang maupun yang diangkut ke luar wilayah ini.

Untuk menunjang kelancaran perekonomian, telah beroperasi terminal pelabuhan berstandar internasional Kendari New Port (KNP) di Kota Kendari, ibu kota provinsi Sultra. Pelabuhan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) IV itu rampung pembangunannya sejak triwulan pertama 2019 lalu. Pelabuhan ini dapat melayani kapal sebesar post panamax yang kapasitasnya 6.600 twenty-foot equivalent unit (TEUs).

Terminal tersebut memiliki lapangan seluas kurang lebih 8,3 hektare serta memiliki dermaga sepanjang 300 meter dengan kedalaman perairan 18 low water springs (LWS). Fasilitas terminal peti kemas Kendari New Port ini hampir serupa dengan pelabuhan-pelabuhan terbesar di Jawa. Tampak 2 unit derek peti kemas (container crane), 4 unit alat penyusun/penumpuk peti kemas (rubber tyred gantry crane), dan peralatan lainnya yang sudah modern.

Terminal dengan nilai aset Rp1,2 triliun itu siap untuk melakukan ekspor langsung (direct export) ke seluruh negara di dunia dan sebentar lagi akan terintegrasi dengan terminal peti kemas lainnya milik Pelindo I, II, dan III. Integrasi itu tak lain karena adanya penggabungan atau merger yang akan dilakukan pada akhir tahun 2021 ini. Lalu seperti apa dampak positifnya bagi kawasan timur Indonesia, khususnya Sultra dan seperti apa masalah yang ada?

General Manager (GM) Pelindo IV Cabang Kendari Suparman menjelaskan tujuan penggabungan Pelindo I hingga IV itu menjadi Pelindo terintegrasi untuk mewujudkan konektivitas nasional dan jaringan ekosistem logistik yang lebih kuat. Hal ini akan memberi dampak positif dibanding ketika masih terpecah-pecah, salah satunya adalah memberi efek berganda (multiplier effect) bagi kemajuan perekonomian di setiap wilayah operasi Pelindo, termasuk wilayah Sultra.

Menilik Penggabungan Pelindo dan Dampaknya Bagi Sulawesi Tenggara
General Manager (GM) Pelindo IV Cabang Kendari Capt. Suparman M.Mar

Selain Pelindo akan memiliki kendali strategis pada sistem operasional pelabuhan, integrasi Pelindo I hingga IV juga akan meningkatkan efisiensi operasional dan belanja modal (capex). Kata Suparman, belanja modal ini tentu akan diarahkan pada kebutuhan prioritas berupa peralatan dan infrastruktur.

Dengan adanya pelayanan pelabuhan yang serba terstandar dan terintegrasi maka Suparman optimis akan berdampak pada efisiensi biaya logistik dan peningkatan kepuasan pelanggan. Misal, salah satu persiapan adalah infrastruktur sistem teknologi informasi (IT) yang akan saling terhubung dan lebih terpusat. Dengan begini, pelanggan akan lebih mudah memantau perjalanan barangnya di setiap rute. Ini mirip ketika belanja online yang mana posisi barang bisa dilacak kapan saja sehingga pelanggan dapat menjadwalkan penjemputan barang di pelabuhan dengan efektif.

Lanjut dia, dengan adanya peningkatan pelayanan diharapkan memberi dampak positif pada masalah yang ada di kawasan Indonesia bagian timur. Selama ini terjadi ketakseimbangan kargo (cargo imbalance) yakni kontainer yang masuk selalu terisi penuh lalu pulang ke wilayah Jawa dalam keadaan kosong. Hal ini merupakan salah satu penyebab tingginya biaya angkut logistik. ketakseimbangan kargo ini terjadi karena industri kebanyakan berada di wilayah Indonesia bagian barat sedangkan industri di wilayah Indonesia timur masih kurang.

“Yang masuk ke Indonesia timur itu rata-rata sembako, tidak ada produksi sembako kecuali beras. Gula, meskipun sudah ada pabrik gula di sini, tetap dari Jawa juga gula didatangkan. Terigu, tidak ada pabrik terigu di sini. Minyak sawit, kebun sawitnya di sini tapi pabrik produksinya di Jawa, lalu kembali ke sini dalam bentuk minyak goreng,” ujar Suparman saat ditemui di Kendari New Port, 28 Juli 2021 lalu.

Oleh karena itu kata dia, dengan adanya penggabungan Pelindo diharapkan mampu mendorong pertumbuhan dan perkembangan industri di kawasan timur Indonesia, seperti Kawasan Industri Konawe di Provinsi Sultra, Kawasan Industri Bantaeng di Sulawesi Selatan, serta Kawasan Industri Morowali dan Palu di Sulawesi Tengah. Semua kawasan ini masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menurutnya sudah semestinya mendapat dukungan dengan adanya pelabuhan Pelindo terintegrasi.

Semisal terminal peti kemas Kendari New Port yang terhubung dengan Kawasan Industri Konawe. Bila kawasan industri ini sudah beroperasi secara penuh maka Kendari New Port sudah mampu melayani dengan sarana prasarana pelabuhan modern yang memadai dan kapasitas yang sudah standar internasional.

Selain hasil tambang, Suparman menyebut sejumlah komoditas asal Sultra yang potensial ke depan meningkat produksinya yaitu hasil-hasil perkebunan (sawit, jambu mete), hasil perikanan (ikan, udang, kepiting), dan hasil hutan (rotan).

Dengan adanya dukungan terhadap industri maka daerah akan menjadi lebih produktif baik menghasilkan barang jadi maupun setengah jadi untuk diangkut atau dipasarkan ke daerah lain. Kendati memang membutuhkan waktu yang panjang, yang terpenting kata dia adalah pelabuhan bisa mendukung perkembangan industri.

Bila ketakseimbangan kargo dapat teratasi dengan seimbangnya keluar masuk barang, maka Suparman memastikan akan terjadi penurunan biaya logistik yang berdampak pada penurunan harga barang dan ujungnya adalah dapat menekan inflasi. Adanya efisiensi biaya logistik juga akan semakin meningkatkan kemampuan para pengusaha untuk meningkatkan volume barang yang diperdagangkan ke luar wilayah Sultra.

“Kalau itu semua sudah on the track saya yakin volume kargo akan semakin meningkat, artinya masyarakat tidak susah mendapatkan barang. Pendapatan orang yang bekerja di pelabuhan juga meningkat. Kalau barang-barang itu juga cepat laku pasti meningkat produksi, kalau meningkat produksi pasti meningkat tenaga kerjanya, yah dampaknya mengurangi pengangguran,” ujar Suparman.

Maka dari itu kata Suparman, perlu diketahui bahwa pelabuhan adalah pintu gerbang ekonomi yang bisa mengaselerasi perekonomian suatu daerah. Tanpa pelabuhan yang representatif Suparman memastikan ekonomi suatu daerah akan mandek.

Lalu Lintas Barang Tak Seimbang

Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mencatat sekitar 75 persen kontainer yang masuk ke Provinsi Sultra berisi sembako, selebihnya berupa bahan bangunan dan jenis barang lainnya.

Ketua DPW ALFI Sultra, Abraham Untung menyebut pengangkutan barang lewat kontainer saat ini lancar-lancar saja. Namun volume barang yang masuk memang tidak sebanding dengan barang yang keluar sehingga terjadi ketakseimbangan kargo. Bila ada 300 kontainer (berisi) yang datang dari Surabaya maka ketika kembali paling tinggi hanya 50 kontainer terisi.

Kondisi tersebut kata dia, dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya karena pusat-pusat produksi barang berada di Jawa. Sementara produksi dari wilayah Sultra masih sangat sedikit, khususnya komoditas nontambang seperti hasil perkebunan, hutan, dan perikanan.

Abraham mengungkap saat ini Sultra belum dikenal sebagai daerah pengekspor. Barang biasanya dibawa ke Makassar dan Surabaya lalu diekspor ke luar negeri. Hal ini disebabkan sedikitnya jumlah barang yang diangkut ke luar provinsi ini, sementara untuk ekspor secara langsung harus dalam jumlah besar sekaligus.

“Hasilnya kita jambu mete, kopra-kopra putih. Kopra putih itu dikirim dari sini ke Surabaya, lalu dikirim ke India. Jadi yang dikenal adalah Surabaya padahal barang itu dari Kendari. Itupun kopra juga sedikit. Sekarang kalau kapal ekspor masuk ke sini, ndak mungkin sedikit, pasti hanya mau angkut kalau banyak,” ucap Abraham melalui telepon, 31 Juli 2021.

Abraham menilai pelabuhan di Provinsi Sultra, termasuk yang dikelola Pelindo IV sudah cukup memadai baik sarana prasarana, tenaga kerja pelabuhan, hingga jasa transportasi. Bila ada peningkatan pelayanan dari pihak Pelindo dengan adanya penggabungan Pelindo I hingga IV, dia menilainya sebagai sesuatu yang bagus apalagi bertujuan untuk mendorong perkembangan ekonomi. Hanya saja dia pesimis penggabungan itu akan langsung berdampak pada meningkatnya volume logistik melalui pelabuhan.

Senada dengan ALFI, pihak Persatuan Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional Indonesia atau Indonesian National Shipowners Association (INSA) Cabang Kendari juga menyambut baik adanya penggabungan Pelindo. Organisasi ini berharap Pelindo dapat diperkuat dan lebih kompetitif sehingga bisa memberi dampak positif terhadap masalah yang ada saat ini.

“Pelindo inikan badan usaha pelabuhan yang bergerak sendiri-sendiri Pelindo I, II, III, dan IV. Tentunya dengan penggabungan ini maka konektivitas antar pelabuhan ini bisa lebih cepat, pasti pelaku usaha di dunia pelayaran mendapat benefit (keuntungan). Yah semoga Pelindo itu bisa bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan kelas dunia,” ujar Ketua INSA Cabang Kendari, Sapril melalui telepon, 18 Agustus 2021.

Menurut Sapril, konektivitas yang cepat dan terintegrasi antar pelabuhan, khususnya Pelindo sangat penting bagi negara kepulauan seperti Indonesia, khususnya di kawasan timur. Sebab dampaknya adalah dapat terjadi penurunan biaya logistik secara bertahap, yang tentu dapat mendukung perkembangan dunia usaha dan menguntungkan masyarakat.

Selama ini kata Sapril, dengan konektivitas yang agak terhambat turut menjadi penyebab tingginya biaya logistik. Akibatnya harga produk tertentu antara di Pulau Jawa dan kawasan timur Indonesia tak seimbang atau jomplang.

Selain itu, Sapril menyebut ada persoalan selama ini pada komoditas ekspor dari Sultra yang mana harus lewat Makassar dan Surabaya, sehingga tidak ada yang ekspor langsung ke luar negeri dari pelabuhan di Sultra. Misalnya cokelat dibawa ke Makassar untuk ekspor, sehingga Sultra tidak dikenal sebagai pengekspor cokelat tapi Makassar.

Dengan adanya penggabungan Pelindo, Sapril berharap ada perbaikan layanan pelabuhan (port service) oleh Pelindo di Kendari sehingga bisa lebih kompetitif seperti pelabuhan di Makassar dan Surabaya. Sapril meyakini, wilayah Sultra sangat berpotensi sebagai penghasil komoditas ekspor, sehingga jalur logistik utama seperti pelabuhan harus mumpuni.

Ongkos Logistik Nasional dan Tantangan Merger

Direktur Eksekutif The National Maritime Institute (Namarin), Siswanto Rusdi menjelaskan dampak penggabungan Pelindo akan terasa setelah satu atau dua tahun merger, bahkan bisa saja nanti lima tahun kemudian. Dengan begitu, salah satu dampak yang diharapkan berupa penurunan ongkos logistik nasional dipastikan tidak akan langsung terjadi.

Perlu diketahui, ongkos logistik adalah kumpulan dari berbagai macam kegiatan yang bukan saja pelabuhan dan pelayaran tapi ada truk, pergudangan, perizinan/dokumentasi dan lain sebagainya. Dalam ongkos logistik ini, porsi maritim (pelabuhan dan pelayaran) hanya 2,8 persen dari 23 persen ongkos logistik nasional.

Dengan angka yang demikian maka porsi Pelindo dari tingginya biaya logistik terbilang kecil. Namun begitu kata dia, yang namanya pelabuhan adalah simpul pertemuan atau aktivitas transportasi (kapal, barang, dan orang) yang mau tak mau harus diperbaiki.

“Perbaikannya itu yah melalui merger tadi. Kalau ditanya mana yang duluan telur atau ayam, yah ayam dulu deh kita urus, nah yang ayamnya itu adalah pelabuhan. Perbaiki pelabuhan, nanti dengan sendirinya pergudangan, truk, perizinan, mungkin akan selesai bersamaan. Jadi perlu waktu juga melihat turunnya ongkos logistik ini,” ujar Siswanto yang juga pengamat maritim, melalui telepon pada 9 Agustus 2021.

Selain itu, jumlah pelabuhan yang dioperasikan Pelindo I, II, III, dan IV tidak sampai seratus, sementara yang dioperasikan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sekitar 2 ribuan. Kemudian ada pelabuhan BUMN lain seperti Pertamina dan PLN, lalu pelabuhan lainnya adalah milik perusahaan swasta berupa terminal khusus (tersus).

Semua pelabuhan tersebut mempengaruhi ongkos logistik nasional dan saling terhubung, termasuk dengan pelabuhan yang dikelola Pelindo. Menurut dia, kalaupun Pelindo efisien seiring dengan integrasi tapi bila pelabuhan Kemenhub atau pelabuhan lain tidak efisien maka tidak ada artinya.

Siswanto mencontohkan pelabuhan di Indonesia timur banyak berada di bawah Kemenhub yang dikelola Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) dengan sarana prasarana terbatas. Bila kapal memuat barang dari pelabuhan Pelindo di Surabaya dapat selesai dalam waktu satu hari, maka begitu sampai di salah satu pelabuhan UPP wilayah Indonesia timur proses penurunan barangnya butuh waktu lama, bisa sampai seminggu.

“Bagaimana mau efisien kalau alat tidak punya. Dimuatnya di Surabaya pakai alat-alat mekanis tapi sampai di Indonesia timur dibongkar pakai tenaga manusia, kan tidak efisien. Nah itu bukan porsinya Pelindo untuk menyelesaikan itu, itu porsinya Kementerian Perhubungan,” ujarnya.

Oleh karena itu, Siswanto mengatakan untuk penurunan ongkos logistik nasional ada banyak pemangku kepentingan yang terkait. Terlepas dari hal itu, Siswanto menilai penggabungan Pelindo adalah bagus untuk Pelindo itu sendiri. Sebagai perusahaan BUMN, Pelindo akan bisa mengkonsolidasi permodalan, dari yang tadinya empat jadi satu. Kemudian Pelindo bisa mengkonsolidasikan sumber daya manusia (SDM), yang sebelumnya terpencar-pencar akan menjadi satu.

Dengan merger, Pelindo bisa mengkonsolidasikan setiap lini bisnisnya termasuk peti kemas yang sebelumnya dikelola terpisah antara Pelindo I, II, III, dan IV. Jadi kata Siswanto, bagi Pelindo ini akan memberi dampak positif dengan mengkonsolidasi diri secara korporasi. Dengan begitu penciptaan nilai atau value creation-nya jadi tinggi di mata investor bila masuk ke pasar modal.

Siswanto menyebut ada sejumlah tantangan dalam merger Pelindo sebagaimana perusahaan-perusahaan BUMN lainnya. Dia mengambil contoh merger Bank Exim, Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, dan Bank Pembangunan Indonesia menjadi Bank Mandiri, yang kabarnya masih menyisakan persoalan bagi para pegawainya hingga saat ini.

Masalah yang demikian juga diperkirakan akan terjadi pada merger Pelindo. Ada sekian puluh ribu yang bekerja di Pelindo dan anak-anak usaha masing-masing. Dengan adanya penggabungan, lanjut dia, meski tak ada pemangkasan pegawai, tapi akan membuat outlet karir para pegawai tersebut jadi terbatas di dalam satu perusahaan hasil penggabungan.

Pelindo I, II, III, dan IV juga memiliki anak usaha yang tidak hanya bergerak di bidang jasa kepelabuhanan, tapi ada bisnis lain misalnya di bidang properti, rumah sakit, dan masih banyak lagi. Semua lini usaha ini perlu dikonsolidasikan dalam satu bendera.

“Ini belum selesai begitu Pelindo-nya berhasil dimerger. Ini tahunan lagi, tapi bukan berarti saya mau bilang ini bahaya yah, tapi inilah tantangan mergernya. Ini akan menjadi PR bagi direksi baru Pelindo,” ujar Siswanto. (*)

 


Reporter: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini