ZONASULTRA.ID, KENDARI – Pemasaran masih menjadi masalah krusial pelaku ekonomi kreatif (ekraf) di Sulawesi Tenggara (Sultra). Hal ini jadi pembahasan dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Pemasaran Pariwisata yang dihadiri 17 dinas pariwisata (dispar) kabupaten/kota se-Sultra, di salah satu hotel Kendari, Jumat (9/6/2023).
Pelaku ekraf telah memiliki produk-produk unggulan tapi masih berjuang agar diserap oleh pasar. Oleh karena itu, Dispar Sultra sedang berusaha menyiapkan pasar untuk produk lokal. Targetnya pada tahun 2024, produk ekraf Sultra bisa tembus ke pasar nasional.
“Tantangan terbesarnya memang pasar. Banyak produk yang diciptakan, keren-keren produknya. Pelaku usahanya juga sudah punya kemampuan berwirausaha namun hari ini yang belum maksimal itu pasar,” ujar Kabid Pengembangan Ekraf Dispar Sultra Syamsinar yang menjadi pembicara dalam rakor tersebut.
Kalau pasar sudah terbentuk maka ada transaksi yang terjadi sehingga pelaku usaha bisa menerima penghasilan dari usaha-usaha yang diciptakan. Selain itu, Syamsinar berharap semua usaha ekraf berbasis pada potensi dan terhubung dengan destinasi wisata, sehingga menciptakan destinasi wisata yang kuat dan mempunyai brand ekraf yang menunjang.
Secara umum produk ekraf terbagi tiga jenis yakni kriya, kuliner, fashion. Ketiga jenis ini, kata Syamsinar, sedang berkembang di Sultra, ada yang masih terkendala pasar tapi ada juga yang sudah menemukan pasar ekspor.
Misalnya produk kriya berupa briket/arang tempurung kelapa di Bombana yang omzetnya sudah mencapai miliaran rupiah per tahun. Mereka tiap tahun mendapat order dari negara-negara Asia yang memiliki musim salju seperti Korea dan Jepang. Briket itu digunakan untuk penghangat ruangan.
Sementara salah satu produk kuliner yang berpeluang masuk ke pasar internasional adalah kopi Tolaki asal Konawe Selatan. Bank Indonesia (BI) turut mendorong kopi ini untuk masuk ke pasar Jepang. Namun, karena jumlah produknya masih terbatas maka sedang dibangun untuk berkolaborasi dengan kopi dari Nusa Tenggara untuk mencukupi kuota permintaan dari Jepang.
Untuk produk fashion yang didorong adalah ecoprint yakni tenun cetak dengan cara, bahan dan pewarnaan alami. Pewarna ini biasanya dari daun, batang pohon, dan bahan alami lainnya. Ecoprint ini dikembangkan di Wakatobi, Buton Utara, Kendari, dan Buton. (*)
Editor: Muhamad Taslim Dalma