Perjuangan Anak-Anak di Pelosok Bombana Demi Pendidikan

Perjuangan Anak-Anak di Pelosok Bombana Demi Pendidikan
SISWA BOMBANA - Proses penyeberangan menggunakan rakit ukuran 1x4 oleh siswa siswi dari Larete Honda, Desa Tampabulu, Kecamatan Poleang Utara, Kabupaten Bombana. (Lukman Budianto/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, BOMBANA – Sahutan ayam jantan menjadi alarm bagi Nurjannah. Embun pagi masih tebal. Dingin masih menyelimuti perkampungan, pada Jumat (11/1/2019) subuh itu. Perlahan sinar mentari merangkak mengikis embun, Jannah beranjak menuju meja makan.

Di meja sudah tersaji makanan ala kadarnya. Anak bungsu pasangan Salmianti dan Abdul Salam melahap dengan terburu-buru. Soalnya, Jannah harus memastikan dirinya masuk gerbang sekolah sebelum lonceng berbunyi.

Waktu berjalan, warnah merah mentari mulai berubah, Jannah keluar dari rumah tanpa terdengar sama sekali suara langkah sepatu. Dengan seragam pramuka yang dikenakannya, ia berjalan menyusuri pohon kakao di perkampungan.

Baca Juga : Menumbuhkan Asa, Membangun Mimpi, Kisah Inspiratif Yais Dirikan SLB di Tengah Hutan

Pantas tak ada suara ketika ia keluar, ternyata sepatu sekolahnya ditenteng di tangan kanan, dan kakinya yang tak beralas penuh bercak-bercak lumpur. Begitulah, melepas sepatu adalah usaha untuk menjaga seragam tetap bersih, karena jalan yang dilalui berlumpur dan becek.

Di simpang jalan setapak, Jannah berhenti, menunggu rekan-rekannya, Rikal, Ashar, Irfan, Ramadan dan Fadli. Mereka satu sekolah dengan Jannah. Rikal, Ashar, Irfan adalah siswa kelas V SD, sementara Ramadan dan Fadli adalah siswa kelas III. Jannah-lah yang termuda diantara mereka, Ia masih kelas I SD.

Ada kebiasaan antara Jannah Rikal dan Irfan. Ketiganya sama-sama menenteng sepatu dan berjalan tanpa alas kaki. “Biar tidak basah. Apalagi sebentar kita mau naik rakit menyeberang,” ucap Irfan dengan lirih.

Andalkan Rakit Bambu

Jannah dan lima rekannya itu tinggal di Dusun Larete Honda, Desa Tampabulu, Kecamatan Poleang Utara, Kabupaten Bombana. Di sanalah mereka dilahirkan dan dibesarkan.

Dusun ini terisolir, untuk dapat ke pusat desa harus melewati Kali Poleang. Tidak ada akses jalan yang bisa dilalui kendaraan roda dua, maupun roda empat. Jarak Dusun Larete Honda ke pusat Desa Tampabulu sekitar enam kilo meter.

Irigasi sawah, tempat siswa siswi dari Dusun Larete Honda.
Irigasi sawah, tempat siswa siswi dari Dusun Larete Honda.

Karena sekolah berada di pusat desa dan tidak ada akses untuk kendaraan roda dua, maka setiap hari perempuan berusia delapan tahun seperti Jannah harus menempuh jarak dengan jalan kaki.

Satu-satunya akses penghubung di desa itu adalah jembatan besi Kali Poleang namun jaraknya jauh. Apalagi jalan tertutup untuk dapat ke jembatan besi itu. Karena persoalan demikian, masyarakat setempat berinisiatif membuat rakit berukuran satu kali empat sebagai sarana melintasi sungai.

Rakit itulah yang menjadi harapan satu-satunya puluhan anak sekolah yang berada di Dusun Larate Honda untuk terus bersekolah. Rakit digunakan untuk melintasi Kali Poleang dengan jarak sekitar 15 sampai 20 meter (lebar kali).

“Kalau tidak ada itu rakit, jauh sekali kasian mereka mau jalan kaki. Jadi untuk potong jalan, ya harus lewat rakit itu. Semua masyarakat disini pake juga kalau mau ke kantor desa,” ucap Toni, salah satu masyarakat di Dusun Larate Honda.

Karena Jannah yang paling muda dan juga paling kecil, maka Jannah dinaikkan ke rakit lebih dulu. Dua orang rekannya tinggal di bantaran menarik tali yang sudah didesain agar rakit tidak terbawa arus. Setelah sampai seberang, giliran Jannah dan rekannya menarik rakit.

Baca Juga : Satu Tahun KGB Manggala Agni dan Dedikasi untuk Azzam

“Kalau arusnya deras, kita dibantu sama orang tua. Diantar biasanya sampai menyemberang. Tapi kalau surut, kita tarik sendiri,” kata Jannah.

Usai menyeberang, perjuangan Jannah dan rekan-rekannya belum usai. Ia harus kembali berjalan di pematang sawah untuk sampai ke jalan utama desa. Di ujung pematang sawah, kelima anak ini membersihkan kaki, dan memakai sepatu yang ditentengnya. Tak lupa Jannah terlihat meneguk air putih yang diambil dari dalam tasnya.

Sering Telat ke Sekolah

“Kalau cuaca tidak hujan seperti sekarang, mereka itu jarang terlambat. Hanya saja kalau musim hujan, apalagi arus sungai tinggi, mereka biasa telat bahkan juga tidak masuk sekolah,” ujar Wakil Kepala Sekolah SDN 104 Poleang Utara, Muchdori.

Pihak sekolah memaklumi. Mereka juga paham betul kondisi yang ada di Dusun Larete Honda. Muchdori mengungkapkan anak-anak itu lumayan berprestasi di sekolah. Hanya saja mereka kadang tak hadir bila cuaca tidak bersahabat.

Jalan yang dilalui Nurjannah dan rekan-rekannya menuju sekolah.
Jalan yang dilalui Nurjannah dan rekan-rekannya menuju sekolah.

Hal senada juga dikemukakan oleh Abdul Salam, ayah dari Jannah. Perasaan takut menyelimuti mereka jika hujan deras dan air di kali sedang tinggi. Tak ada pilihan lain selain absen di sekolah. Sebab, jalan menuju Jembatan Besi Kali Poleang tidak bisa dilalui bila hujan deras mengguyur daerah itu.

“Sebenarnya bisa menyeberang. Tapi bahaya. Kita juga takut. Makanya kalau hujan deras saya larang mereka ke sekolah,” papar Abdul Salam.

Upaya Pemerintah dan Bhabinkamtibmas

Banyak harapan yang dititip masyarakat di Dusun Larete Honda kepada pemerintah setempat. Mereka ingin ada jembatan penghubung dari dusun mereka ke pusat desa. Kalau itu belum bisa, mereka berharap ada bantuan perahu penyeberangan yang melayani.

Menanggapi hal itu, Kepala Desa Tampabulu, Arifin mengaku sulit untuk membangun jembatan di wilayah dusun terisolir itu. Alasannya, dana desa dipastikan tidak akan cukup untuk dialokasikan ke pembuatan jembatan baru.

Baca Juga : Kelas Inspirasi Kendari, Gerakan Nyata Peringatan Sumpah Pemuda

“Sebenarnya ini kan ada jembatan penghubung. Hanya memang jauh harus mutar mereka. Akses jalan pun hampir tidak ada. Mendingan kita pakai saja untuk pembangunan jalan ke wilayah itu. Jadi mereka bisa pakai motor ke sekolah,” terang Arifin.

Alasan lain yang dikemukakan oleh Arifin adalah jumlah kepala keluarga yang bermukim di Dusun Larete Honda yang dinilai sangat sedikit. Memang, jumlah KK di dusun itu hanya 15.

Kadek Oko Budiana adalah sala salah satu polisi yang paham betul wilayah Dusun Larete Honda. Sudah dua tahun polisi berpangkat brigadir ini menjadi Bhayangkara Bintara Kemanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) di dusun itu.

Sesekali Brigadir Kadek turut membantu anak sekolah di penyeberangan rakit. “Ini sebenarnya sudah sering juga saya sampaikan ke pemerintah desa untuk dicarikan solusi,” katanya.

Ancaman Buaya dan Pengalaman Melahirkan

Selain arus sungai yang kapan saja bisa menjadi banjir bandang, ancaman lain yang mengintai anak sekolah adalah buaya. Dari penuturan Yusaq (20), ada banyak buaya di Kali Poleang.

Pada pertengahan Tahun 2018 lalu, satu buaya Kali Poleang sempat menggegerkan warga. Buaya itu tiba-tiba saja muncul di sawah milik warga. Ukurannya cukup besar, tiga meter.

Buaya Kali Poleang di sawah warga pada pertengahan tahun 2018 lalu.
Buaya Kali Poleang di sawah warga pada pertengahan tahun 2018 lalu.

“Bahaya juga sebenarnya kalau menyeberang begitu. Tapi mungkin sudah biasa. Tapi kalau saya takut-takut,” papar Yusaq.

Ada banyak pengalaman warga Desa Tampabulu tentang Kali Poleang. Salah satunya adalah pengalaman melahirkan di bantaran kali. Ya, pengalaman itu dirasakan langsung oleh Nurhasanah, yang merupakan istri dari Toni.

Toni menuturkan, peristiwa itu terjadi di depan matanya pada dua tahun lalu. Di siang bolong, saat istrinya mulai merasa akan melahirkan, ia pun meminta kepada suaminya untuk diantar ke Puskesmas Poleang timur.

“Saya antarmi ke rakit untuk menyeberang. Tapi pas sampai di rakit, istri saya kaya takut-takut begitu. Makanya kita agak lama membujuk,” cerita Toni.

Selang beberapa menit kemudian, istrinya yang bersandar dibawah pohon kakao (coklat) tiba-tiba melahirkan anak laki-laki. Beruntung ada seorang bidan yang mendampingi mereka. ***

 


Kontributor: Lukman Budianto
Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini