ZONASULTRA.ID, KENDARI – Masyarakat Desa Liya Togo, Kecamatan Wangiwangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra) memiliki tradisi budaya yang unik dan menarik bernama posepa’a. Tradisi ini diadakan pada setiap Idulfitri dan Iduladha setelah selesai salat id.
Dalam bahasa daerah Liya Togo, posepa’a diartikan sebagai saling sepak atau saling tendang. Seperti namanya, para peserta yang mengikuti posepa’a akan saling tendang hingga pihak lawan menyerah.
Masyarakat Liya sudah mengenal posepa’a sejak zaman Kesultanan Buton dan tetap lestari hingga saat ini. Berdasarkan buku sejarah Liya, posepa’a sudah mulai ada saat Kerajaan Liya bergabung di bawah Kesultanan Buton yang ditandai dengan terbentuknya Meantu’u Liya pertama pada 1542. Posepa’a sendiri mulai dilaksanakan sejak pemerintahan Meantu’u Liya ke-7.
Muhammad Riadi, pemandu wisata di Desa Liya Togo mengatakan, posepa’a awalnya adalah ajang seleksi calon prajurit Benteng Liya yang bertujuan meninjau ketangkasan para pemuda Liya untuk mempertahankan negeri bila ada serangan musuh.
Dia menjelaskan, posepa’a intinya merupakan acara adu tendang antara dua kubu, yaitu Yro Wawo dan Yro Woru. Yro Wawo adalah sebutan untuk masyarakat yang tinggal di wilayah timur lapangan Benteng Liya dan Yro Woru sebutan untuk masyarakat dari wilayah Barat.
“Dulu posepa’a dilaksanakan setiap sore sepanjang pada Ramadan dan setelah salat Idulfitri dan Iduladha. Namun sekitar 2023, posepa’a tidak lagi dilakukan di bulan Ramadan dan hanya dilakukan setelah salat Idulfitri dan Iduladha,” terang Riadi.
Saat posepa’a, kata Riadi semua boleh ditendang dari kaki sampai ujung kepala, namun tidak boleh terlihat seperti sedang tawuran. Ada aturan yang harus dipatuhi oleh para peserta.
Berpegangan Tangan
Berpegangan tangan adalah inti dari posepa’a. Jika peserta sudah berpegangan tangan maka artinya mereka siap melakukan posepa’a dan boleh ditendang atau menendang kubu lain.
Berpegangan tangan dengan pasangan ini disebut ndai. Semua pasangan akan bergabung dengan kelompoknya masing-masing, yaitu Yro Wamo dan Yro Woru.
Kedua kubu ini akan saling tendang dan saling mengejar dengan posisi tetap berpegangan tangan sampai kubu lain menyerah.
Kubu yang pasangannya tetap utuh bertahan dan masih tetap saling berpegangan tangan sampai akhir itulah yang keluar sebagai pemenangnya.
“Semua yang di sebelah timur itu boleh ditendang oleh yang disebelah barat, begitu juga sebaliknya. Kalau sudah merasa tidak sanggup maka harus melepas pegangan tangan sebagai tanda sudah menyerah. Peserta yang melepaskan pegangan tangannya itu tidak boleh ditendang lagi. Kalau merasa masih sanggup maka harus berpegangan tangan terus,” terang Riadi.
Menurut Riadi, yang juga Sekretaris Community Based Tourism (CBT) Keppo’oli, pengelola pariwisata Liya Togo ini, karena posepa’a terbilang keras maka banyak peserta yang cedera. Namun, karena posepa’a dilaksanakan di depan Masjid Liya Togo, masyarakat setempat percaya jika ada yang cedera maka akan cepat pulih kembali.
Konon, Masjid Liya Togo telah dipagari doa oleh para leluhur Liya Togo agar tidak ada peserta posepa’a yang akan mengalami cedera berat atau meninggal dunia.
“Memang ada yang cedera, bahkan sampai patah tulang, tapi bisa pulih kembali,” kata Riadi.
Itu pula sebabnya, masyarakat Liya Togo enggan menampilkan posepa’a di luar benteng keraton karena khawatir akan cedera parah.
Saling Memaafkan
Keunikan tradisi posepa’a yaitu tidak adanya juri di dalam arena sehingga pemain bebas menendang pihak lawan. Meski begitu, para pemain tidak boleh dendam, apalagi sampai membawa ke luar arena posepa’a.
Dikatakan Riadi, setelah posepa’a selesai, para pemain akan saling berpelukan dan berjabat tangan sebagai pertanda tidak ada dendam yang tertinggal.
Posepa’a juga kadang disebut acara salaman ala Benteng Liya. Sebab, biasanya arena posepa’a menjadi tempat bertemu para masyarakat Liya Raya yang datang dari perantauan.
“Lebaran itu kan identik mayarakat yang merantau pulang kampung. Ini juga terjadi di Liya Raya, diadakan posepa’a setelah salat id, semua yang merantau itu berkumpul di Benteng Liya. Setelah posepa’a semua bersalam-salaman. Tidak ada dendam atau sebagainya,” ujar Riadi.
Selain itu, posepa’a juga adalah salah satu bentuk kekompakan masyarakat Liya Raya. Pasalnya, masyarakat Liya kini terbagi menjadi beberapa desa, dan kebetulan Benteng Liya yang menjadi lokasi posepa’a terletak di Desa Liya Togo.
Meski terletak di Desa Liya Togo, masyarakat desa ini tak menganggap bahwa tradisi posepa’a adalah milik mereka, namun milik seluruh masyarakat Liya Raya. (*)
Editor: Jumriati