ZONASULTRA.COM, KENDARI – Bencana banjir yang menerjang tujuh kecamatan di Kabupaten Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra) sejak dua pekan lalu melahirkan argumentasi dari berbagai pihak soal pemicu bencana itu. Beberapa di antaranya menuding banjir yang merendam ribuan rumah tersebut disebabkan oleh sektor pertambangan dan perkebunan sawit.
Bupati Konut Ruksamin mengaku belum melakukan identifikasi soal penyebab air bah itu. Namun, ia mempersilakan lembaga yang berkompoten ataupun universitas melakukan penelitian ilmiah untuk mencari tahu penyebab banjir tersebut.
Baca Juga : Ruksamin Warning Jajarannya Fokus Penanganan Korban Banjir
“Di tempat ini saya sarankan apa penyebabnya, silakan dilakukan penelitian, kita tunjuk, apakah itu universitas, atau lembaga ilmiah manapun. Silakan mari kita berembuk, kita cari tahu apa penyebabnya, jangan kita saling melempar, inilah, itulah, harus secara ilmiah,” ungkap Ruksamin di hadapan awak media di Dermaga Molawe, Konawe Utara, Senin (17/6/2019).
Politisi Partai Bulan Bintang (PBB) ini menjabarkan, penyebab banjir itu antara lain curah hujan yang sangat tinggi. Sejak 31 Mei 2019 Konut dan sekitarnya diguyur hujan lebat. Menurutnya, hujan saat itu luar biasa lebatnya, tidak seperti biasa, sehingga pada 2 Juni 2019 banjir mulai menerjang.
“Lalu panas sampai 5 Juni kemudian air surut. Inilah yang mengagetkan warga karena sudah surut, tiba-tiba 6 Juni hujan lebat lagi lebih deras daripada yang pertama. Sehingga barang-barang yang sudah kembali dari pengungsian tidak sempat diselamatkan,” ungkap mantan Ketua DPRD Konut itu.
Selanjutnya, kata Ruksamin, penyebab lainnya terjadi pendangkalan di hilir sungai. Menurutnya, tinggi air tinggal mencapai pinggang orang dewasa, ditambah lagi dengan pasang air laut. Sehingga, ia memperkirakan ketika debit yang begitu besar turun bersamaan dari Sungai Lalindu, Sungai Landawe, Sungai Langgikima, Sungai Landolia, Sungai Lasolo, juga menjadi penyebab banjir.
Baca Juga : BNPB RI: Banjir di Konut, Infrastruktur dan Lahan Pertanian Rusak
“Kalau orang beralibi masalah tambang, saya ingin sampaikan kita cari hulunya Sungai Asera, tambang berada di timur, hulunya sungai itu (Asera) berada di wilayah barat dan utara Konut. Di sana menurut saya, selama saya jadi bupati tidak ada tambang, tidak ada yang membuka lahan, tidak ada sama sekali, kecuali yang hulunya di wilayah Kolaka Utara, silakan kita cek ke sana. Makanya saya katakan harus lembaga penelitian,” tegas Ruksamin.
Bupati Konut ini mengatakan, penanganan banjir bukan hanya membangun rumah warga yang rusak, atau merelokasi tempat tinggal warga, tetapi harus betul-betul dituntaskan dari hulu ke hilirnya, supaya tidak terjadi lagi.
“Banjir tidak bisa kita cegat, tapi bagaimana banjir seperti ini tidak terjadi lagi, ini yang kita upayakan,” tutupnya.
Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara (Sultra) Saharuddin menguraikan, di Konawe Utara sendiri sepanjang 2010 sampai 2017 terdapat 33 izin usaha pertambangan (IUP) operasi dan 37 izin eksplorasi. Tercatat, 20 ribu hektar pembukaan lahan di Konut untuk perkebunan sawit dari 2001 sampai 2007.
Baca Juga : Sepekan Terputus Banjir, Jembatan Trans Sulawesi Kembali Berfungsi
“Setiap tahun di Konawe Utara sebanyak 8,8 persen tutupan hutan hilang. Patut diduga aktivitas tambang dan perkebunan sawit begitu masif menjadi penyebab utama terjadinya banjir bandang di sana. Banjir bandang itu tidak turun dari langit seperti air sungai yang mengalir deras. Setiap titik air jatuh di permukaan bumi ditampung dan terserap oleh pohon dan flora yang terdapat dalam jumlah besar di hutan,” jelas Saharuddin, Minggu (16/6/2019)
Walhi mendesak pemerintah agar mereview izin pertambangan dan perkebunan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan yang begitu parah. Pada dasarnya itu juga membantu pemerintah provinsi yang selama ini menjadi keranjang sampah dari kabupaten dan kota sebagai akibat salah urus kebijakan di dua sektor tersebut. (a)
Kontributor: Fadli Aksar
Editor: Jumriati