ZONASULTRA.COM,KENDARI– Sulawesi Tenggara (Sultra) pernah diguncang gempa pada 2011 silam. Itu merupakan gempa terbesar dalam satu dekade terakhir di daerah ini.
Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) stasiun geofisika Kendari mencatat, pusat gempa saat itu berada di Torobulu, Moramo, dan Kolono, Kabupaten Konawe Selatan, Sultra.
Di Torobulu, gempa bumi terjadi pada pukul 07.07 di kedalaman 18 kilometer (KM) dengan kekuatan 6,0 skala richter (SR). Gempa kedua yang berepisentrum di Moramo terjadi pada pukul 07.10 dengan kedalaman 10,5 KM dan berkekuatan 4,7 SR. Gempa ketiga terjadi di kolono pada pukul 07.25 pada kedalaman 10 KM dengan kekuatan 5,2 SR.
Beruntung tidak ada korban jiwa. Namun bencana alam itu membuat kepanikan yang luar biasa di tengah masyarakat. Bahkan ada ratusan warga yang saat itu mengungsi. Puluhan rumah dilaporkan mengalami rusak berat akibat gempa tersebut.
Sejarah mencatat, salah satu daerah Sultra yang pernah didera tsunami adalah pulau Buton. Peristiwa itu terjadi sekitar 1925 lalu. Peristiwa kelam itu tercatat dalam laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Kendari.
Jumat pekan lalu, wilayah Sulawesi kembali diguncang gempa. Parahnya, gempa yang berpusat di Kota Palu dan Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah (Sulteng) itu disertai gelombang laut yang tinggi atau tsunami, menyapu pemukiman warga di pesisir pantai.
Hingga saat ini pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mencatat korban jiwa akibat bencana alam di Sulteng sudah mencapai 1.234.
(Baca Juga : Diguncang Gempa 7,4 SR, Mendagri Segera Tinjau Sulteng)
Angka itu belum terhitung bagi mereka yang masih dinyatakan hilang. Saat ini, semua elemen mulai dari SAR, BPBD, TNI dan Polri serta masyarakat dan relawan masih melakukan pencarian korban yang diperkirakan tertimbun lumpur dan reruntuhan bangunan.
#Fakta Sesar Palu Koro Penyebab Gempa di Sulteng
Deputi Bidang Geofisika BMKG menjelaskan penyebab dari gempa bumi bermagnitudo 7,4 SR yang terjadi di Kabupaten Donggala, Sulteng pada Jumat (28/9/2018) lalu itu disebabkan deformasi mekanisme pergerakan dari struktur sesar mendatar.
Jika memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenter, gempa yang terjadi merupakan jenis gempa bumi dangkal akibat aktifitas sesar Palu Koro.
Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa ini dibangkitkan oleh deformasi dengan mekanisme pergerakan dari struktur sesar mendatar (Slike-Slip).
Dilansir pada laman ekspedisipalukoro.co, wilayah Sulteng sendiri sebenarnya memiliki banyak sesar aktif atau patahan tektonik. Sesar aktif utama, yaitu Sesar Palu-Koro. Menurut ahli geologi aktivitas ini menyimpan gempa besar, yang bahkan lebih besar dari Sesar Semangko yang ada di Sumatera.
(Baca Juga : Fakta Sesar Palu Koro Penyebab Gempa di Sulteng)
Pertengahan bulan Mei 2017 lalu, dilakukan riset pendahuluan di wilayah Sesar Palu-Koro, selama 10 hari. Sebelumnya 3 workshop sudah dilaksanakan di Jakarta. Workshop pertama untuk memperdalam persoalan Sesar Palu-Koro di balik berkah yang diberikannya.
Workshop kedua untuk menggalang dukungan dari industri minerba di wilayah sesar. Sedangkan workshop ketiga untuk mematangkan persiapan survei pendahuluan di bulan Mei 2017 lalu. Riset pendahuluan ini juga ditutup dengan 2 workshop, di BPBD dan di Universitas Tadulako.
Riset pendahuluan telah mengumpulkan sejumlah hasil penelitian yang pernah dilakukan seputar wilayah Sulteng dan menjadi bahan pijakan yang berarti untuk pelaksanaan Ekspedisi Palu-Koro.
Ada satu kegiatan penting lain yang dilaksanakan di Sesar Palu-Koro sebelum pelaksanaan ekspedisi yaitu workshop bersama media dalam rangka membangun kesadaran tentang pentingnya upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB).
Sesar Palu-Koro memanjang dari Selat Makassar hingga pantai utara Teluk Bone dengan panjang patahan mencapai 500 kilometer. Khusus di Palu, beberapa segmen sesar ini berada di wilayah daratan hingga lembah Pipikoro yang seterusnya sesar ini memanjang sampai Kabupaten Donggala yang berada di selatan Kota Palu.
#Ancaman Gempa di Wilayah Sultra
Di Sultra juga ada Sesar Lawanopo yang membelah wilayah Sultra dari Malili Sulawesi Selatan hingga ke Tanjung Toronipa. Sesar ini bisa menjadi ancaman serius bagi masyarakat Sultra.
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sulawesi Tenggara, La Ode Ngkoimani mengatakan sesar Palu Karo yang mengguncang Sulteng kemarin, secara struktur menerus ke sesar Lawanopo, Kolaka, Kabaena, Lainea dan Laonti.
“Saya kira dengan kejadian ini kita perlu melihat kembali struktur yang ada di daerah kita dan kita mesti melakukan pemetaan mikro zonasi gempa,” kata La Ode Ngkoimani di UHO Sultra, Selasa (2/10/2018).
(Baca Juga : Korban Gempa dan Tsunami Sulteng Bertambah Jadi 1.234 Orang)
Pemetaan mikro zonasi yang dimaksud adalah rehabilitasi infrastruktur yang ada di Sultra, terutama jembatan sebagai akses penghubung. Jembatan Kuning di Palu kata dia bisa menjadi cerminan. Akses utama yang menghubungkan seluruh wilayah di Sulteng.
“Salah satu contoh memang jembatan terbesar di Palu rusak total. Nah kalau akses terputus, semua akan sulit,” ucapnya.
Untuk Ibu Kota Sultra sendiri, Kota Kendari kata Ngkoimani masih masuk dalam wilayah aman dari tsunami, karena masuk wilayah teluk. Kendati demikian, lanjut Ngkomani meningatkan semua pihak untuk bersiap lebih dini terhadap ancaman bencana alam.
“Posisinya kita itu ada di wilayah Teluk. Kalaupun ada tsunami, itu akan habis duluan energinya di daerah-daerah yang berhadapan langsung dengan laut lepas,” ucapnya.
Lebih jauh mantan WR III UHO itu menjelaskan, tsunami yang belakangan terjadi di Indonesia disebabkan karena pergerakan lempeng atau patahan di dasar laut. Jika terjadi bukaan, maka air akan tersedot yang menyebabkan air laut menjadi surut. Setelah itu, akan muncul energi besar yang menghempaskan kembali air laut sehingga muncul gelombang besar.
Peran pemerintah saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama simulasi penyelamatan melalui jalur evakuasi.
“Ini kalau misalnya disini terjadi gempa atau tsunami, kita mau lari kemana, apa masyarakat sudah tau dimana jalur evakuasi?. Ini yang perlu diperhatikan pemerintah juga,” tukasnya. (A/SF)