ZONASULTRA.COM, KENDARI – Dalam dua hari terakhir ini, wilayah Sulawesi Tenggara (Sultra) sudah lima kali diguncang gempa bumi tektonik. Rata-rata gempa bumi ini memiliki magnitudo di bawah 4.
Berdasarkan catatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kelima gempa bumi ini terjadi di Kabupaten Konawe Utara (Konut) sebanyak dua kali, Konawe Kepulauan sebanyak dua kali dan Kota Kendari satu kali.
Pada Rabu, 3 Oktober 2018, pukul 05.12 Wita, masyarakat di wilayah Konawe Utara (Konut) dikejutkan dengan gempa bumi bermagnitudo 3,8.
Hasil analisa BMKG menunjukkan bahwa gempa bumi terjadi pada koordinat 3.44 LS – 122.86 BT sekitar 63,6 km Timur Laut Kendari atau 81 km Timur Laut Wanggudu pada kedalaman 11 km.
(Baca Juga : BMKG: Gempa di Donggala 7,4 SR)
“Berdasarkan laporan masyarakat menunjukkan bahwa dampak gempa bumi berupa guncangan dirasakan oleh masyarakat Kecamatan Sawa dalam skala intensitas II SIG BMKG,” kata Kepala Stasiun Geofisika Kendari Rosa Amelia.
Pukul 11.26 Wita gempa kembali mengguncang Kecamatan Sawa, Konut dengan magnitudo 3,4. Dampak gempa bumi berupa guncangan dirasakan oleh masyarakat Sawa dan dalam skala intensitas II SIG BMKG ( II-III MMI).
Ditinjau dari kedalamannya, kedua gempa bumi yang terjadi di Konut merupakan gempa bumi dangkal akibat aktivitas Sesar Manui yang berada di sekitar Manui – Sulawesi Tengah (Sulteng).
Tak berselang lama, masih di hari yang sama, gempa bumi 3,2 SR juga mengguncang Konawe Kepulauan pukul 13.39 Wita dengan episentrum 3.94 LS – 122.98 BT (40,7 km Timurlaut Kendari) kedalaman 9 km dirasakan I SIG (II MMI) di Wawonii – Kabupaten Konkep.
Malam hari, gempa bumi kembali terjadi di Konkep dengan kekuatan 3,9 SR sekitar pukul 20.25 Wita. Titik gempa berada di 3.76 LS,123.03 BT (50.7 km TimurLaut Kendari) kedalaman 10 km.
(Baca Juga : Gempa Bumi 3,8 SR Guncang Kendari Akibat Aktivitas Sesar Kendari)
Ditinjau dari kedalamnya gempa yang terjadi di Konkep penyebabnya adalah aktivitas pada sesar Lawanopo.
Kamis (4/10/2018) malam, gempa bumi dengan magnitudo 3,8 kembali mengguncang wilayah Sultra.
Berdasarkan analisa BMKG, gempa terjadi pada pukul 23.19 WITA dengan titik lokasi 3.93 Lintang Selatan (LS) dan 122.38 Bujur Timur (BT) atau 26.8 km Barat Laut Kendari dengan kedalaman 10 km.
Ditinjau dari kedalamannya, gempa bumi ini merupakan gempa bumi dangkal akibat aktivitas Sesar Kendari di wilayah Kendari.
Meski titik gempa berada di wilayah Kendari, namun getarannya juga dirasakan oleh masyarakat di pesisir Konawe dan Konawe Utara.
Lantas, apakah gempa di Sultra merupakan efek gempa 7,4 SR yang memicu tsunami di Sulawesi Tengah?
(Baca Juga : Gempa Bumi 3,4 SR Kembali Guncang Konut)
BMKG mengatakan aktivitas seismik di wilayah Indonesia Timur memang meningkat tajam. BMKG menyebut peningkatan itu sejak terjadinya gempa di Lombok beberapa waktu lalu.
Namun, menurut Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono, hingga saat ini belum ada teknologi atau alat yang bisa memprediksi datangnya gempa dengan tepat dan akurat kapan, dimana, dan besaran gempa itu terjadi.
Dia juga belum memastikan apakah peristiwa gempa di satu daerah bisa memicu gempa di daerah lain. Sebab, menurutnya belum ada ilmu yang bisa menjelaskan terkait perambatan gempa tersebut.
“Konteks saling picu itu baru dapat terjadi bila berada di segmen yang berdekatan, jadi kalau beda sumber gempa, hingga saat ini belum bisa dijelaskan karena belum ada ilmu yang menjelaskan secara empirik adanya perambatan,” ujarnya dikutip dari detik.com, Jumat (5/10/2018).
Dia menambahkan bila terjadi gempa yang hampir bersama kemungkinan itu hanya kebetulan saja. Sebab, Indonesia memiliki 6 zona subduksi aktif dengan 265 sesar aktif.
(Baca Juga : Setelah Konut, Giliran Konkep yang Diguncang Gempa 3,2 SR)
Di Sultra sendiri ada beberapa sesar lokal yakni sesar Buton, sesar Kolaka, sesar Kendari Senteral, Kendari North dan sesar Teluk Tolo.
“Itu hanya kebetulan bersama saja, di Indonesia memang banyak sumber gempa. Kita memiliki 6 zona subduksi aktif. Dari 6 itu dibagi 16 segmen dan sesar aktif yang baru dikenali ada 295. Kalau ada gempa yang saling berdekatan itu bukan berarti saling picu dan merambat tapi memang sumber gempa itu miliki medan akumilasi stress sendiri, maksimum, kapan pecahnya sendiri, itu yang harus kita pahami,” jelasnya.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menyampaikan wilayah Indonesia berada di kawasan lempeng bumi yang terus bergerak yakni Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur. Itu salah satu alasan mengapa Indonesia rawan gempa bumi.
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Eko Yulianto seperti dikutip dari laman lipi.go.id juga mengingatkan, sampai saat ini belum ada satu pun teknologi di dunia yang mampu secara akurat dan presisi memprediksi kapan datangnya bencana, terutama gempa bumi.
“Jika ada pendapat yang menyatakan mampu memprediksi kapan terjadi gempa bumi beserta kekuatan magnitudonya, bisa dipastikan itu adalah hoaks,” jelas Eko.
Menurut Eko, waktu geologis gempa bumi bisa jadi lebih cepat 50 tahun bisa jadi lebih lambat ratusan tahun. “Kita sampai saat ini tidak dapat tahu di segmen mana lagi sesar aktif akan bergerak. Yang bisa kita lakukan adalah waspada dan siaga.”
Sementara Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sulawesi Tenggara, La Ode Ngkoimani mengatakan sesar Palu Karo yang mengguncang Sulteng kemarin, secara struktur menerus ke sesar Lawanopo, Kolaka, Kabaena, Lainea dan Laonti.
Sesar Lawanopo diketahui membelah wilayah Sultra dari Malili Sulawesi Selatan (Sulsel) hingga ke Tanjung Toronipa. Pendapat beberapa ahli sesar ini bisa menjadi ancaman serius bagi masyarakat Sultra.
“Saya kira dengan kejadian ini kita perlu melihat kembali struktur yang ada di daerah kita dan kita mesti melakukan pemetaan mikro zonasi gempa,” kata La Ode Ngkoimani, Selasa (2/10/2018) lalu.
Ia menegaskan peran pemerintah saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama simulasi penyelamatan melalui jalur evakuasi.
“Ini kalau misalnya disini terjadi gempa atau tsunami, kita mau lari kemana, apa masyarakat sudah tau di mana jalur evakuasi?. Ini yang perlu diperhatikan pemerintah juga,” tukasnya.
BMKG saat ini hanya mengimbau masyarakat Sultra untuk tetap tenang dan beraktivitas seperti biasa. Kemudian, yang terpenting adalah tidak mempercayai dan ikut menyebarluaskan informasi gempa bumi dan tsunami yang sumbernya tidak terpercaya.
“Kalau ada informasi pasti kita akan rilis di website kami, aplikasi kami juga dan tentu melalui media sebagai perpanjangan tangan kami,” kata Kepala Stasiun Geofisika Kendari, Rosa Amelia.
Selain itu, pihak BMKG juga meminta masyarakat untuk memperbanyak ilmu pengetahuan perihal gempa bumi melalui literatur sebagai bentuk kewaspadaan dini, sehingga ketika gempa bumi terjadi bisa menyelamatkan diri. (A)