ZONASULTRA.COM, ANDOOLO – Suasana di Desa Laikandonga Kecamatan Ranomeeto Barat Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) Sulawesi Tenggara (Sultra) berubah. Tak seperti hari biasa, resah dan gelisah tampak menyelimuti kehidupan warga di tempat itu.
Sewaktu mengunjungi daerah itu, pada Sabtu (15/6/2019) lalu, tidak terlihat lagi secara utuh bentuk kampung dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga di Kecamatan Ranomeeto Barat tersebut.
Sekitar pukul 11.20 Wita, tampak hanya genangan air seperti danau yang kabur berwarna kuning dengan arus deras di jalur sungai yang juga tak lagi terlihat. Sebagian besar jalan raya dan jembatan tak satupun yang tampak, semua tertutup banjir.
Untuk sampai ke lokasi banjir terparah, di ujung desa ini saja, tepatnya di Dusun Tiga Tawaro Tebota, masyarakat harus tiga kali menaiki pincara. Tarifnya beragam, per orang ada yang dibebankan Rp 5 ribu, jika menyertakan motor naik menjadi Rp 10 ribu. Tidak ada altenatif lain selain menyewa pincara.
Jika datang dari Kendari, titik banjir pertama berada di antara perbatasan Desa Boroboro Lameuru dan Desa Laikandonga. Saat melewatinya dengan menumpangi pincara, tugu perbatasan dua desa tersebut hampir tak lagi terlihat.
(Baca Juga : Banjir Rendam Konsel, Puluhan KK Bertahan di Pengungsian)
Tak jauh saat mulai melewati perbatasan, daratan Desa Laikandonga kembali terlihat, di sudut inilah warga mulai turun dari pincara untuk mulai berjalan memasuki Desa Laikandonga.
Tepat di tengah Desa Laikandonga, harus kembali menyeberangi jalan yang tergenang sepanjang 20 meter, kali ini menggunakan rakit yang dibuat warga. Bedanya, di titik ini tak dipunguti tarif penyeberangan alias gratis. Kedalaman airnya juga tak terlalu dalam, hanya sebatas dada orang dewasa. Banyak anak-anak yang bermain di sini.
Setelah dua kali menyeberangi banjir, bakal didapati tenda darurat yang didirikan oleh BPBD konsel sejak sepekan lalu di bahu jalan. Ada 11 kepala keluarga (KK) yang mengungsi di tenda berukuran kurang lebih 10 kali 20 meter ini.
Untuk di Dusun Tiga Tawaro Tebota Desa Laikandonga, harus kembali menaiki pincara. Kali ini harganya berbeda, untuk tarif per orang biayanya Rp 15 ribu pulang-pergi. Di titik inilah banjir menenggelamkan rumah-rumah warga dan memutus aliran listrik. Luasnya kurang lebih 10 kali lapangan sepak bola. Aktivitas masyarakat di lokasi ini lumpuh total. Mengarunginya serasa sedang berada di tengah laut.
Sejauh mata memandang hanya tampak atap rumah dan ranting pohon, sesekali terlihat ayam milik warga yang terjebak bertengger di pepohonan. Selain itu juga tampak hilir mudik rakit dan sampan digunakan warga sebagai pengganti kendaraan.
“Di sini jalan usaha tani, sebelah kiri ini kebunku, di bawah itu ada pagar dengan tanamanku, di sana itu sungai besarmi, itumi yang lagi meluap sekarang,” tunjuk Samin menerangkan lokasi keberadaan saat menjemput warga di beberapa tempat yang telah berkumpul menunggu untuk diantarkan menuju Dusun Dua berbelanja kebutuhan.
(Baca Juga : Banjir Bandang Konut, 855 Rumah Tenggelam, 56 Hanyut, 4.089 Warga Mengungsi)
Sambil menerangkan, sesekali Samin berupaya menghindarkan pincara miliknya dari pepohonan agar tidak tersangkut ataupun rusak jika menabrak pohon.
Sebagian warga korban banjir di Dusun Tawaro Tebota mengungsi ke rumah keluarga mereka. Sebagiannya memilih mengungsi di SD 7 Kecamatan Ranomeeto Barat yang letaknya di sudut hutan Desa Laikandonga.
*Hidup Resah di Pengungsian
Meski mendapat perhatian khusus dari pemerintah, hidup di pengungsian sangat tidak diinginkan warga. Mereka selalu resah dengan nasib mereka ke depan. Maklum mayoritas warga di desa ini tak memiliki pekerjaan yang menentu.
Mereka mengaku bingung untuk memulihkan keuangan mereka bila harus mengganti barang berharga yang hanyut terbawa banjir, belum lagi memperbaiki rumah mereka yang rusak.
Salah seorang pengungsi, Asis (54) mengaku tak ada pilihan lain selain menikmati kebiasaan tahunan mengungsi jika saat musim hujan tiba. Tetapi di pengungsian kali ini dia tak berhenti meratapi rumahnya yang terhuyung digoyang derasnya air. Tidak ada senyum di bibirnya hari itu saat ia menoleh menyaksikan istrinya menghidangkan sepiring mie instan ke beberapa cucunya yang sedang menanti makanan. Kerut wajahnya memberikan tanda kegelisahan.
“Saya datang di sini waktu tahun 1976, seringmi memang banjir setiap tahun tapi tidak seperti ini parahnya, dulu hutan masih bagus,” ungkapnya di tenda pengungsian, Sabtu (15/6/2019).
Jika awan mulai mendung, ia dan beberapa warga selalu berdoa agar hujan tak sampai memperparah kondisi mereka.
“Sekarang saja tidak bisami kita kerja, mau jalan di mana tidak ada jalan,” bebernya. Asis mengaku bekerja di perusahaan sawit yang ada di hulu sungai.
Hal yang sama juga diungkapkan Bahrun (56), ia mengungsi di SD 7 Ranomeeto Barat bersama keluarganya dan puluhan warga korban banjir Dusun Tiga Tawaro Tebota. Bahrun mengungkapkan, sebagian warga di dusun tersebut memilih mengungsi ke rumah keluarga mereka yang aman dari banjir karena takut terserang penyakit.
“Di sini masih hutan, sudah pasti dingin, nyamuk juga banyak, apalagi banjir juga sampe di sini sedikit lagi masuk di dalam kelas tempat kita pakai tidur, adapi juga piaraanta (hewan ternak) bercampur di sini makanya bau. Mungkin itumi sebagian tidak mau bercampur di sini,” ujar Bahrun.
(Baca Juga : Pemda Konsel Salurkan Bantuan Kepada 153 KK Korban Banjir)
Di pengungsian, jika malam tiba, Bahrun dan puluhan warga lainya harus rela tidur tanpa penerangan yang memadai, lampu hanya menyala sampai pukul 10.00 Wita. Jika mesin rusak mereka menggunakan pelita yang dibuat dari kaleng susu. Maklum lokasi mereka meman terisolir.
Selain itu, mereka juga mengaku khawatir untuk langsung mengenakan pakaian bekas dari bantuan sebab mereka takut dengan penyakit menular yang bisa saja menyerang mereka.
“Soalnya air bersih susah kalau lagi begini, tidak bisa kita mencuci baju, akhirnya kalau malam kita tidur, anak-anak suka menangis karena kalau siang mereka senang main air akhirnya kena gatal-gatal bahkan sampai flu,” keluhnya.
“Belum lagi kalau malam barangta sebagian yang masih di rumah rawan dicuri. Buaya juga jangan sampai dia naik atau ular, soalnya kali Boroboro ini bertemu dengan Sungai Konaweha, air ini sebagian besar dari sana,” cemasnya.
*Banjir Kiriman
Dari informasi yang diterima awak Zonasultra.Com, luapan sungai yang terjadi di wilayah itu, merupakan banjir kiriman yang terjadi di Konawe. Ini disebabkan bertemunya aliran Sungai Konaweha dan Kali Boroboro hingga menyebabkan air naik meluap dan menerjang rumah warga sejak tanggal 9 Juni 2019 lalu.
Camat Ranomeeto Barat Rahmat Saleh menjelaskan, yang mempercepat aliran sungai naik ke pemukiman warga karena terjadinya penyempitan sungai dan terus meningkatnya debit air yang datang dari Sungai Konaweha.
“Kita di sini sebenarnya akhir-akhir ini kalau hujan intensitasnya sudah berkurang, air kiriman dari atas ini yang sudah tidak stabil, makanya kita lihat sendiri tinggi air tidak berkurang,” tutur Rahmat.
Tak hanya Desa Laikandonga. Rahmat mengatakan, luapan sungai kali ini menyebabkan dua desa lainya juga terkena dampak, di antaranya Desa Tunduno, ada 11 KK dan Boroboro Lameuru ada 6 KK terpaksa mengungsi. Untuk di Laikandonga tercatat ada 40 KK yang menjadi korban.
“Untuk Laikandonga ini jumlah jiwanya ada 980 jiwa dari 242 KK, mereka terbanyak ketiga penduduknya di kecamatan Ranomeeto Barat. Sebenarnya kalau terdampak satu desa ini terdampak, karena akses tertutup banjir, hanya memang tidak semua terendam,” paparnya.
Untuk itu, lanjut Rahmat, warga saat ini tengah membangun jalan di perbukitan. Hal ini dilakukan untuk mensiasati banjir yang terus terjadi setiap tahunya. Bantuan juga terus mengalir dari berbagai pihak di wilayah itu, sejak sepekan yang lalu. Jenisnya berbagai macam, mulai dari makanan, selimut, pakaian hingga peralatan tidur. (***)