ZONASULTRA.COM, KENDARI – Stasiun Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (KIPM) Kendari menggelar kegiatan penyuluhan bagi nelayan di Desa Ranooha Raya, Kecamatan Moramo, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra), Senin (15/7/2019).
Materi yang diangkat dalam kegiatan penyuluhan ini adalah sosialisasi perihal Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor 56/PERMEN-KP/2016.
Kepala Stasiun KIPM Kendari Amdali Adhitama mengatakan, ada beberapa hal penting yang ditegaskan dalam peraturan tersebut, yakni pelarangan penangkapan dan pengeluaran lobster di luar ketentuan pemerintah dari wilayah NKRI oleh nelayan.
Baca Juga : Bulan Bakti 2019, BKIPM Kendari Berbenah Dukung Industri 4.0
“Sultra merupakan salah satu wilayah sumber lobster dan titiknya itu di desa ini Ranooha Jaya, dan berdasarkan temuan kita di lapangan, kasus penangkapan dan penyelundupan benih lobster cukup tinggi. Disebutkan sumbernya ada di sini,” ungkap Amdali.
Amdali menjelaskan, larangan ini tidak serta merta melarang aktivitas penangkapan benih lobster (BL) oleh nelayan. Pasalnya, larangan penangkapan hanya berlaku pada lobster yang memiliki bobot di bawah 200 gram dan lobster bertelur.
Sehingga, nelayan diminta menangkap dan membesarkan lobster yang ukurannya di atas 200 gram dan tidak sedang bertelur. Sebab, harganya akan lebih mahal ketimbang harus menjual BL yang harganya jauh lebih murah Rp5 ribu hingga Rp10 ribu per ekor. Sementara lobster bertelur akan mengancam keberlanjutan lobster.
Kepala Bidang Harmonisasi dan Penindakan Pelanggaran Pusat Karantina Ikan Budi Sugianti menjelaskan, pelarangan penangkapan benih lobster dikarenakan produksi tangkap lobster di Indonesia mengalami penurunan tahun 2014 lalu. Penurunan ini dinilai karena BL menjadi komoditi yang banyak ditangkap dan dijual ke luar negeri.
“Ini kalau BL ditangkap-tangkap terus bisa habis, bisa punah lobster di Indonesia, yang enak siapa negara tujuan yakni Vietnam. Lahirnya Permen ini untuk menjaga keberlanjutan lobster di Indonesia, termasuk di Sultra ini,” jelas Budi Sugianti.
Baca Juga : BKIPM Kendari Catat Nilai Lalulintas Perikanan Capai Rp790 Miliar
Sementara Kepala Seksi (Kasi) Pidum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra Rahmat menegaskan, persoalan hukum terkait sanksi yang diberikan kepada pelaku penangkap BL telah jelas ditetapkan dalam UU Nomor 45 Tahun 2009.
Pada pasal 84 disebutkan pelarangan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, serta pasal 88 ditegaskan pula larangan menangkap dan membawa lobster, kepiting, dan rajungan di luar ketentuan pemerintah ke luar negeri.
“Jangan pikir di Permen hanya ditegaskan melarang dan tidak ada sanksi, sanksinya ada di UU ini. Jadi janganlah lakukan kegiatan ini bapak ibu nelayan bisa diancam penjara hingga 6 tahun, kasian keluarga kalau bapak ibu terlibat,” pungkasnya.
“Pelaku penyelundupan BL ini sudah sering saya dengar dan disebut-sebut asalnya di sini. Nah, hati-hati kita belum turun ke bawah masih kumpul data. Kalau misal kita telusuri saya yakin pasti bisa ditangkap pengumpulnya,” tegasnya.
Baca Juga : Hasil Laboratorium BKIPM, Ikan di Kendari Masih Aman Konsumsi
Salah satu nelayan Desa Ranooha Raya, Taya mengungkapkan, setelah mendapatkan aturan tersebut, dirinya langsung berhenti melakukan aktivitas pengumpulan BL.
“Tapi pak, karena masih ada pembeli di kampung dan teman-teman masih banyak yang melakukan kegiatan ini iya mau tidak mau saya tetap lakukan, tapi hari ini saya menyatakan berhenti menangkap BL pak,” tukasnya.
Ia pun berharap kepada pemerintah setelah adanya larangan ini dapat mencarikan usaha alternatif agar mata pencaharian mereka tetap ada untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. (a)
Reporter: Ilham Surahmin
Editor: Jumriati