Nilai Tukar Petani di Sultra Terendah se-Sulawesi

Kepala BPS Provinsi Sultra, Moh Edy Mahmud
Moh Edy Mahmud

ZONASULTRA.COM,KENDARI– Nilai Tukar Petani (NTP) Sulawesi Tenggara (Sultra) pada Agustus 2019 menjadi yang terendah dibanding provinsi lain yang ada di Pulau Sulawesi.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sultra, selama Agustus 2019 NTP Sultra tercatat 93,44. Angka ini mengalami penurunan dibanding bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 93,78. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan pada nilai tukar sektor tanaman perkebunan rakyat (NTPR) menjadi 83,25 dibanding Juli lalu 85,63. Kemudian pada nilai tukar sektor perikanan juga turun menjadi 118,11 yang pada Juli lalu 118,90.

(Baca Juga : Hingga Juli 2019, Total Ekspor Sultra Capai 922,46 Juta Dolar AS)

Sementara untuk NTP sektor pangan (NTPP) naik menjadi 85,26 dibanding Juli 85,22, sektor holtikultura (NTPH) naik menjadi 95,92 dibanding Juli 95,13 serta sektor peternakan (NTPT) naik menjadi 107,09 dari sebelumnya 105,15.

Jika dibandingkan dengan provinsi lain yang ada di Pulau Sulawesi, daerah Sultra memiliki NTP terendah misalnya Sulawesi Utara (Sulut) 94,15, Sulawesi Tengah (Sulteng) 95,92, Sulawesi Selatan (Sulsel) 102,88, Sulawesi Barat (Sulbar) 112,29 dan Gorontalo 105,12.

NTP adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase. Nilai tukar petani merupakan salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani dalam hal ini tingkat kemampuan daya beli petani di pedesaan.

Kepala BPS Provinsi Sultra Moh Edy Mahmud menjelaskan, bahwa angka ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Provinsi Sulut dan Sulteng, hanya beda beberapa poin saja. Namun, kondisi ini perlu menjadi perhatian pemerintah daerah bahwa arah kebijakan program pembangunan sektor pertanian perlu diperhatikan.

(Baca Juga : Ini 8 Komoditas Unggulan yang Harusnya Bisa Tembus Pasar Ekspor)

“Kalau kita merujuk pertumbuhan sektor pangan, perkebunan rakyat dan holtikultura dari tahun 2012 sampai 2019 ini sebetulnya kecepatan produksinya lebih kecil dibanding kenaikan kecepatan biaya produksi dan konsumsi rumah tangga petani,” katanya di ruang BPS Sultra, Senin (2/9/2019).

Pada sektor perkebunan rakyat misalnya seperti kakao dan merica saat ini mengalami penurunan harga masing-masing sebesar 3,91 persen dan 3,31 persen. Sedangkan indeks harga yang dibayar petani naik karena konsumsi rumah tangga dan indeks biaya produksi serta penambahan barang modal juga naik dengan besaran masing-masing 0,22 persen dan 0,19 persen.

Kemudian khusus pada tanaman pangan misalnya padi, kenaikan produksi padi selama 5 tahun di Sultra dinilai lebih rendah dibanding dengan kenaikan konsumsi rumah tangga sehingga nilai tukarnya di bawah angka 100.

“Ya, sekarang para petani kakao misalnya mereka lebih suka dengan harga beberapa tahun lalu dibanding sekarang, karena soal harga tadi,” ujarnya.

(Baca Juga : Bangun Mega Proyek, Ali Mazi Bakal Ajukan Pinjaman Dana Rp1,19 Triliun)

Sehingga, menurut Edy hal yang harus dilakukan pemerintah adalah bagaimana mencari solusi supaya permasalahan harga jual komoditi pangan, perkebunan dan holtikultura petani bisa diatasi. Misalnya, dengan memberikan akses pasar bagi petani dengan mudah.

Keterbatasan akses terhadap pasar membuat petani tidak ada pilihan mereka menjual produknya kepada pengumpul. Berbicara soal harga dalam transaksi ini, tentunya petani tidak memiliki kekuatan untuk menentukan nilai jual dan mereka menerima berapapun harga yang diberikan oleh pengumpul tadi.

“Jalur transportasi bisa ditingkatkan dan bisa juga pemerintah membangun pasar khusus bagi produk petani yang bisa dikontrol langsung pemerintah, sehingga petani mempunyai kekuatan menentukan harga,” ungkapnya. (C)

 


Reporter: Ilham Surahmin
Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini