ZONASULTRA.COM, KENDARI – Sebanyak 3 orang hakim di Pengadilan Negeri (PN) Kelas IIA Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), berinisial AW, KT, dan RS dilaporkan ke Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY), Selasa (21/1/2020). Selain itu, seorang Panitera Pengganti berinisial ADZ juga ikut dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku.
Keempat orang itu dilaporkan ke MA dan KY oleh Rinrin Merinova melalui kuasa hukumnya, Helmax Alex Sebastian Tampubolon. Laporan tersebut tertuang dalam surat tanda terima laporan yang diterima MA 21 Januari dan di KY pada 28 Januari 2020 lalu.
Baca Juga : Terdakwa Kasus Narkotika Kabur Jelang Sidang di PN Kendari
Helmax Alex mengungkapkan, laporan bermula ketika 3 orang hakim yang dipimpin RS menyidangkan kasus perdata terkait Rapat Umum Pemilik Saham (RUPS) PT Duta Tambang Gunung Perkasa (DTGS). Perkara perdata tersebut telah diputus oleh majelis hakim dengan nomor :13/Pdt.G/2019/PN.Kdi. tertanggal 30 Desember 2019.
Menurut Helmax, seharusnya gugatan ini ditolak oleh majelis hakim alias alias niet ontvankelijke verklaard (NO). Sebab, dalam memori gugatannya, kedudukan hukum penggugat yakni Maichiardshen, Wong Jhon Juadi, Citra Hartarto adalah pemegang saham, bukan direktur PT Petro Indah Indonesia (PII) sehingga tidak memiliki kedudukan hukum di PT DTGS. PT PII sendiri merupakan pemegang saham untuk PT DTGS sebagai badan hukum bersama Rinrin secara individu.
“Seharusnya penggugat adalah Direktur PT Petro yakni Maichiardshen. Itu sesuai undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas (PT). Jadi gugatan ini harusnya tidak dapat diterima oleh majelis hakim,” ungkap Helmax Alex saat dihubungi melalui telepon, Rabu (5/2/2020).
Selanjutnya, terkait wilayah gugatan, Helmax menilai, hakim diduga melakukan pelanggaran kode etik hakim karena menerima gugatan yang tidak sesuai kompetensi relatif. Seharusnya gugatan a quo itu didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sesuai dengan domisili Rinrin sebagai tergugat, bukan di PN Kendari.
“Jadi, sangat keliru dan melanggar kompetensi relatif ketika gugatan itu didaftarkan ke Pengadilan Negeri Kendari. Sehingga, seharusnya gugatan terhadap Rinrin itu dinyatakan tidak dapat diterima atau N.O oleh judex factie, karena terkandung fakta adanya kompetensi relatif,” terang Helmax.
Kemudian, tutur Helmax, tindakan hakim diperparah lagi dengan putusan gugatan yang melakukan ultra petita atau putusan di luar gugatan. Dalam materi gugatan itu, penggugat hanya memohonkan tiga hal ke PN Kendari, tapi majelis malah memutuskan empat hal.
Dia menjelaskan, poin putusan yang ditambahkan oleh ketiga Hakim PN Kendari itu ada pada poin ketiga dalam putusannya, yaitu menghukum tergugat Rinrin untuk melakukan RUPS luar biasa kembali dengan dihadiri oleh Thomas, Citra Hartanto, PT Petro Indah Indonesia atau kuasanya.
“Hakim dalam menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau dimohonkan, atau meluluskan lebih daripada yang diminta. Dalam acara perdata, dikenal adanya asas ultra petita. Di sini jelas-jelas melanggar,” tegasnya.
Selain itu, Helmax yang mewakili Rinrin menemukan adanya kejanggalan terkait proses persidangan. Kejanggalan itu terkait pelaksanaan sidang permusyawaratan hakim terkait perkara tersebut.
Helmax menguraikan, pada 6 November 2019 para hakim itu sudah melakukan sidang permusyawaratan hakim. Padahal, masih ada agenda sidang perkara tersebut pada 28 November 2019 dan 9 Desember 2019. Ia lalu mempertanyakan, bagaimana mungkin hakim sudah melakukan sidang permusyawaratan, sementara masih ada agenda sidang.
“Seharusnya para hakim itu menyeleseikan seluruh agenda persidangan perkara tersebut, baru melakukan musyawarah. Sebab, majelis hakim harus mempertimbangkan segala bukti dan informasi secara utuh dari awal sampai akhir persidangan,” tegasnya.
Menurut Helmax, seharusnya gugatan ini ditolak oleh majelis hakim alias alias niet ontvankelijke verklaard (NO). Sebab, dalam memori gugatannya, kedudukan hukum penggugat yakni Maichiardshen, Wong Jhon Juadi, Citra Hartarto adalah pemegang saham, bukan direktur PT Petro Indah Indonesia (PII) sehingga tidak memiliki kedudukan hukum di PT DTGS. PT PII sendiri merupakan pemegang saham untuk PT DTGS sebagai badan hukum bersama Rinrin secara individu.
“Seharusnya penggugat adalah Direktur PT Petro yakni Maichiardshen. Itu sesuai undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas (PT). Jadi gugatan ini harusnya tidak dapat diterima oleh majelis hakim,” ungkap Helmax Alex saat dihubungi melalui telepon, Rabu (5/2/2020).
Dikonfirmasi terpisah, Humas PN Kendari Kelik Trimargo membantah tudingan itu. Ia mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan persidangan sesuai ketentuan hukum acara perdata. Namun, Kelik menolak untuk mengomentari soal materi gugatan yang mereka tangani.
“Ketika tidak menerima putusan pengadilan, maka ada upaya hukum selanjutnya yang bisa ditempuh, berupa banding di pengadilan tinggi, kasasi di MA dan peninjauan kembali,” ujar Kelik Trimargo saat ditemui di gedung PN Kendari, Rabu (5/2/2020).
Baca Juga : PN Kendari Tak Tau Soal Eksekusi Lahan Eks PGSD
Menurut dia, para hakim dan panitera yang dilaporkan, telah siap jika ada tim badan pengawasan dari MA ataupun KY yang datang untuk memeriksa mereka. Ia menegaskan, hakim yang menangani perkara tersebut sudah menjalankan tugasnya sesuai prosedur yang diatur.
“Kami sudah melaksanakan sidang sesuai dengan mekanisme yang ada. Jadi silahkan saja kalau misalnya dilaporkan. Prinsipnya kami siap dan menyerahkan sepenuhnya laporan itu jika diproses oleh MA dan KY,” pungkasnya. (A)
Kontributor: Fadli Aksar
Editor: Muhamad Taslim Dalma