ZONASULTRA.COM, RAHA – Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menyimpan sederet destinasi wisata nan memukau. Daerah seluas 1.922 kilometer menyimpan banyak spot wisata alam yang cantik. Tentu yang sudah terkenal adalah pesona Pantai Napabale, pantai Meleura dengan laut birunya dan Gua bersejarah Liang Kabori.
Namun begitu bukan hanya potensi wisata alam yang bisa ditemui, di Muna rupanya juga mengantongi wisata religi. Salah satunya yang bisa jumpai ada di Kecamatan Lohia. Masjid tertua di Pulau Muna ada di Lohia.
Baca Juga : Ini 4 Destinasi Wisata di Muna, Pilihan Tepat untuk Latar Swafoto
Namanya Masjid Quba Loghia, terletak di Desa Loghia merupakan jejak peninggalan sejarah yang dibangun oleh Sangia Latugho salah seorang Raja Muna ke-16 yang berkuasa sekitar tahun 1671 silam.
Selain tempat peribadatan masjid yang berada sekitar 20 kilometer dari kota Raha tersebut, obyek wisata sejarah religi di bumi sowite itu bisa dijangkau dengan menggunakan roda dua maupun empat sekitar 30 menit saja.
Penamaan masjid Quba karena bentuknya didesain menyerupai kubah segitiga dengan susunan tiga tingkat. Nama masjid Quba juga terinsipirasi dari masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah saw pada tahun 1 Hijriah atau 622 Masehi di Quba, Madinah.
Sejak pertama kali dibangun masjid yang berada dipuncak gunung tersebut sudah direhab sebanyak 5 kali. Masjid yang menyimpan sederet sejarah penyebaran agama Islam pertama di Muna ini memiliki ukuran sekitar 16×16 meter. Namun awalnya hanya 7×9 meter.
Kini, masjid Quba Loghia kembali di percantik oleh pemerintah daerah setempat tahun 2019 lalu, dengan pembangunan pelataran, pintu gerbang, jalan setapak dan plafon dengan menelan anggaran mencapai Rp500 juta.
Jejak Salat Saidi Raba, Penyebar Agama Islam dari Tanah Arab
Awak zonasultra.id berkesempatan menemui salah seorang penjaga masjid Quba Loghia, Jasmin yang juga merupakan tokoh agama desa setempat. Jasmin mengisahkan keberadaan salah satu masjid tertua di tanah Muna itu tak terlepas dari perjuangan salah seorang Syehk dari arab.
Masyarakat setempat memanggilnya Saidi Raba. Ia merupakan penyebar agama Islam ketiga di tanah Muna. Saidi Raba diketahui masuk di Wuna sekitar awal abad Ke 17 Masehi tepatnya pada masa pemerintahan La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaendea, Raja Muna ke 12.
Saidi Raba diyakini masyarakat Lohia memiliki jejak salat yang berada disamping kanan masjid. Tepatnya, diatas batu kapur yang diukir membentuk kubus.
Selain itu, batu setinggi sekitar 2,5 meter tersebut juga merupakan media untuk pertama kali dikumandangkannya panggilan salat atau adzan serta melaksanakan shalat saat pertama kali menginjakan di Lohia.
“Nampak seperti jejak sujud menghadap kiblat. Ada jejak telapak tangan dan lutut,” kisah Jasmin, Jumat (7/2/2020).
Batu tersebut kini jadi lokasi wisata sejarah bagi masyarakat Muna maupun wisatawan lokal hingga mancanegara.
150 Tempat Berwudhu yang Dibangun Dalam Waktu Semalam
Selain jejak salat disekitar masjid juga terdapat ratusan tempat penampungan air. Masyarakat sekitar menyebutnya “Kantinuno Lebe” atau tempat berwudhu tokoh agama kala itu. Kantinuno Lene membentuk kubangan yang diukir halus.
Kata Jasmin, Kantonuno Lebe tersebut hingga kini berjumlah 44 lokasi, namun sebenarnya berjumlah 150 lokasi. “Dulu air Kantinuno ini digunakan untuk kebutuhan berwudhu dan sumber air minum bagi warga disekitar,” ceritanya.
Menurut cerita yang berkembang dari masyarakat setempat, kantinu tersebut dibuat dalam waktu satu malam oleh seseorang yang memiliki karomah.
Kantinuno Lebe memiliki ukuran dan kedalaman yang bervarisi. Ada yang berdiameter 60 cm hingga 3 meter dengan kedalaman 70 cm hingga 4 meter. Penampungan air itu juga sudah diteliti oleh Peneliti sejarah 7 Universitas di Indonesia diantaranya Universitas Negeri Mataram dan Universitas Pajajaran.
Batu Kologhiano, Awal Mula Terbentuknya Kampung Lohia
Batu Kologhiano merupakan sebuah batu yang diyakini masyarakat setempat sebagai awal mula terbentuknya kampung Loghia.
Kata Jasmin, dahulu batu tersebut ditumbuhi jahe atau dalam bahasa Muna disebut Loghia. Itulah awal mula penyebutan kampung Loghia.
Sebelum penamaan kampung Loghia pada zaman dulu bernama kampung Koko. Sebelum masuk Islam warga Koko ini memiliki kemampuan terbang.
Namun setelah datangnya Saidi Raba dengan membawa rebab alat musik gambus dari Arab. Lalu warga setempat kagum dengan kepiawaiannya dalam memainkan musik dan penampilanya yang Islami.
Warga percaya syekh Raba memiliki karomah yang luar biasa, sehingga dia langsung bisa berbahasa setempat. Menurut cerita kedatangannya tidak diketahui dia muncul begitu saja di sekitar pemukiman.
Setelah melakukan komunikasi dengan warga tak lama kemudian warga pun mengucapkan dua kalimat syahadat dan memeluk Islam, lalu ilmu syirik yang mereka yakini pun langsung hilang. “Mereka tidak bisa lagi terbang. Mereka langsung memeluk Islam,” ulasnya.
Kadu-kadu Saidi Raba
Kedatangan Saidi Raba di tanah Lohia juga diketahui membawa cinderamata atau disebut Kadu-kadu berupa batu yang dibawah Saidi Raba dari Arab.
Batu yang kini disimpan di tangga masjid merupakan isi kantung Saidi Raba. Ceritanya batu ini juga sebagai dasar pembangunan masjid Quba Loghia. “Adabnya sebelum masuk masjid harus menginjakkan kaki dibatu ini,” kata Jasmin.
Selain itu ada tongkat Saidi Raba berupa besi yang memiliki usia ratusan tahun. Tongkat itu digunakan turun temurun saat Khatib naik mimbar saat pelaksanaan ibadah salat Jumat.
Baca Juga : Fotuno Sangia di Muna, Pesona Wisata Mata Air Biru dan Cerita Buaya Putih
Bahkan disekitar masjid juga ditumbuhi pohon kurma yang sengaja ditanam oleh salah seorang tokoh masyarakat La Ode Yani pada tahun 2007 lalu.
Salah satu warga, La Sampe mengaku sering berwisata di masjid Quba Loghia. Selain beribadah kata warga Desa Ghonebalano Kecamatan Duruka ini mengaku masjid Quba Loghia menyimpan sejarah penyebaran Islam pertama di tanah Muna.
“Sering datang kesini. Selain pulkam, kami sekeluarga selalu menyempatkan diri berwisata disini,” ucapnya.
Kontributor : Nasrudin
Editor : Rosnia