ZONASULTRA.COM, TIRAWUTA – ”Inae kona sara iye pine sara, inae lia sara iye pineka sara” artinya: “siapa yang menjunjung tinggi adat maka dialah yang akan diurus baik-baik. Tetapi jika kamu kasar dengan adat, maka kamu pun akan dikasari”. Makna dari kata ini masih sangat dijunjung tinggi oleh Suku Tolaki yang mendiami wilayah Sulawesi Tenggara, khusunya di Kabupaten Kolaka Timur.
Suku Tolaki memiliki berbagai macam acara ritual adat yang masih terjaga kearifannya hingga saat ini. Salah satunya adalah acara ritual adat Monahu Ndau dan Mosehe Wonua yang telah menjadi upacara adat tahunan Suku Tolaki yang mendiami beberapa desa di Kolaka Timur. Pada Selasa, 27 September 2016 lalu, warga Koltim melaksanakan kegiatan adat Monahu Ndau di Desa Lara, Kecamatan Tirawuta.
Upacara adat ini merupakan bentuk perayaan atas keberhasilan para petani dalam memelihara hasil pertaniannya yang tidak terserang hama. Kegiatan Monahu Ndau biasanya dilengkapi dengan kegiatan Mosehe Wonua. Kegiatan ini digelar usai para petani melakukan panen raya.
Said Rangga Wula, penyelenggara kegiatan yang ditemui saat acara prosesi ritual adat Monahu Ndau mengungkapkan bahwa kegiatan tersebut rutin dilaksanakan setiap tahun. Dan itu sudah berlangsung sejak 13 tahun silam. Pelaksanaan acara Monahu Ndau selalu diawali dengan tarian penyambutan tamu yang disebut tarian Lulo. Tarian Lulo ini untuk menyambut para tamu, baik tamu dari daerah sekitar maupun dari daerah lain.
(Baca Juga : Kalosara dari Dulu hingga Kini: Merawat Perdamaian, Mengokohkan Persatuan (Bagian 1))
Dalam acara itu, sejumlah perempuan dewasa bergandengan tangan menari Lulo Sangia (Lulo Dewa). Lulo Sangia ini berbeda denga lulo biasanya yaitu laki-laki dan perempuan bergandengan tangan. Lulo ini hanya bisa diikuti oleh perempuan saja, sedangkan laki laki cukup menyaksikan tarian berlangsung.
Tarian Lulo Sangia dipandu dengan alat musik tradisional tawa-tawa sangia atau yang dikenal dengan nama gong dan alat musik dimba wuta atau gendang tanah yang dibuat dari kelopak sagu dan rotan. Tarian Lulo dilengkapi dengan mombesara (memohon izin) dengan menggunakan kalo sara (alat adat sakral Suku Tolaki) yang diletakan di hadapan tamu pemerintah sebagai tanda memohon izin penyelenggaraan kegiatan.
Usai acara ritual adat Monahu Ndau, upacara adat diakhiri dengan acara ritual Mosehe Wonua dan pengobatan masal melalui spiritual. Mosehe Wonua dilakukan untuk membersihkan daerah setempat dari segala penyakit dan sial, baik penyakit yang diderita manusia, maupun penyakit yang diderita tumbuh-tumbuhan petani.
“Mosehe Wonua ini dipercaya Suku Tolaki sebagai media perantara untuk meminta petunjuk kepada sang pencipta agar kampung atau daerah kami dijauhkan dari malapetaka akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab,” kata Said.
Usai kegiatan Mosehe Wonua, dilaksanakanlah pengobatan masal secara spiritual dengan cara melepas sungai ke telur, lalu warga menceburkan diri ke sungai tersebut. Pengobatan spiritual ini dilaksanakan di pinggir sungai yang menjadi titik pertemuan dua arus sungai, yaitu Sungai Simbune dan Sungai Lalingato. Kedua arus sungai ini kemudian mengalir hingga ke Sungai Pohara di Kabupaten Konawe.
Said berharap ke depan Pemkab Koltim bisa turut andil dalam melestrikan kearifan lokal budaya Monahu Ndau dan Mosehe Wonua karena bisa menjadi wisata budaya di Koltim.
(Baca Juga : Kalosara dari Dulu hingga Kini: Merawat Perdamaian, Mengokohkan Persatuan (Bagian 2))
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Koltim Marce Kasim yang hadir dalam upacara adat tersebut mengatakan, kehadiran dirinya merupakan penghargaan dari Suku Tolaki yang telah mengundang dirinya dalam kegiatan tersebut. Padahal biasanya acara ini hanya dihadiri oleh warga setempat saja.
”Pihak penyelenggara mengundang saya karena ingin memperkenalkan tradisi tahunan ini kepada pemerintah, mereka berharap agar nantinya dapat dihadiri langsung oleh Bupati Koltim. Saya sangat apresiasi kegiatan tersebut, karena meski konsep pelaksanaannya sederhana, namun memberikan inspirasi yang luar biasa,” katanya.
“Saya hadir ini bukan saja sebagai tamu undangan, melainkan saya bawa tim dari dinas pariwisata provinsi untuk melakukan riset terkait acara tahunan ini yang nantinya setelah kegiatan ini saya akan menyampaikan kepada bupati. Sebab kearifan lokal, seni budaya, serta adat istiadat yang ada di Koltim ini harus tetap dijunjung tinggi, serta dipelihara dari kepunahan,” tutupnya. (B)
Penulis: Jaspin
Editor: Jumriati
Hahahaha,,,, editing nya di perbaiki lagi utamanya redaksi nya masa melepas sungai ke telur hahahaahahaha amsyoonnnggg