Melihat Aktivitas Ramadhan Warga Muslim Konawe di Kampung Nasrani

Melihat Aktivitas Ramadhan Warga Muslim Konawe di Kampung Nasrani
AKTIVITAS RAMADHAN - Menempuh perjalanan sekitar 20 menit dengan menggunakan sepeda motor dari pusat Kota Unaaha, Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) terdapat sebuah perkampungan kecil yang dihuni sekitar 300 kepala keluarga. Kampung itu disebut Desa Olo-oloho yang masuk dalam wilayah Kecamatan Uepai. (Restu Tebara/ZONASULTRA.COM)
Melihat Aktivitas Ramadhan Warga Muslim Konawe di Kampung Nasrani
AKTIVITAS RAMADHAN – Menempuh perjalanan sekitar 20 menit dengan menggunakan sepeda motor dari pusat Kota Unaaha, Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) terdapat sebuah perkampungan kecil yang dihuni sekitar 300 kepala keluarga. Kampung itu disebut Desa Olo-oloho yang masuk dalam wilayah Kecamatan Uepai. (Restu Tebara/ZONASULTRA.COM)

 

ZONASULTRA.COM, UNAAHA – Menempuh perjalanan sekitar 20 menit dengan menggunakan sepeda motor dari pusat Kota Unaaha, Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) terdapat sebuah perkampungan kecil yang dihuni sekitar 300 kepala keluarga. Kampung itu disebut Desa Olo-oloho yang masuk dalam wilayah Kecamatan Uepai. Penduduk di desa itu 99 persen beragama Nasrani, sisanya merupakan pemeluk agama Islam dan Hindu.

Warga Olo-oloho atau yang sebagian masyarakat menyebutnya “kampung nasrani” itu sangat menjunjung tinggi toleransi beragama. Di desa eks transmigrasi itu juga terdapat lima suku dan budaya yakni Tolaki, Bali, Jawa, Toraja, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Kadang desa ini disebut sebagai miniatur Indonesia yang ada di Konawe.

Hari itu, Jumat 16 Juni 2017 seorang lelaki paruh baya beserta belasan pria lainnya terlihat bersiap menjalankan salat Jumat di Masjid Al-Ikhlas. Dia adalah Suwarno, salah satu pengurus rumah ibadah umat Islam yang baru saja diresmikan sekira tiga bulan lalu.

Suara azan mulai mengelegar dari ujung kampung itu. Suwarno bersama belasan pria lain mempercepat langkah mereka menuju masjid. Hanya ada dua saf jamaah yang melaksanakan salat Jumat di dalam masjid berukuran 10 x 12 meter persegi itu.

“Sore hari setelah ba’da Ashar masjid lebih ramai karena anak-anak belajar ngaji di sini sambil menunggu waktu berbuka puasa. Kami juga ada jadwal ibu-ibu yang akan bertugas menyiapkan hidangan berbuka puasa,” kata Suwarno di halaman masjid.

Masjid Al-Ikhlas sendiri baru diresmikan sekira tiga bulan yang lalu, sehingga bangunan suci ini belum memiliki kubah ataupun sumber air untuk keperluan berwudhu. Janji Pemerintah Daerah (Pemda) Konawe memberikan bantuan untuk kubah dan sumur bor sampai saat ini belum terealisasi.

Pria yang juga petani itu mengaku jika masjid ini dibangun dengan cara swadaya masyarakat desa, bahkan umat non muslim yang ada di desa itu juga turut ambil bagian dengan menyumbangkan uang, tenaga, dan bahkan makanan mereka saat proses pembangunan.

“Saat pertama dibangun masjid ini Pak Kades yang juga non muslim menginisiasi untuk semua warga menyumbang uang sebesar Rp 300 ribu, entah itu Muslim, Nasrani, dan juga Hindu. Semua maayarakat dilibatkan, bahkan proses pengerjaannya dilakukan dengan cara gotong royong,” terangnya.

(Baca Juga : Nenek Ida dan Srikandi-Srikandi Buruh Bangunan di Hujan Bulan Juni)

Sejak resmi berdiri menjadi desa definitif pada tahun 2008 silam, kampung tersebut tidak memiliki rumah ibadah untuk kaum muslim, sehingga untuk melaksanakan kewajiban mereka, umat muslim harus keluar kampung menjalankan ibadah ke desa lain.

Melihat Aktivitas Ramadhan Warga Muslim Konawe di Kampung NasraniSuwarno bercerita, saat awal ramadhan ia sempat takut membunyikan suara azan di waktu subuh karena khawatir mengganggu waktu istirahat warga non muslim, namun ketakutan itu sirna setelah dirinya bertanya kepada warga perihal itu.

“Mereka Alhamdulillah tidak merasa terganggu. Kata mereka (non muslim) kasi nyaring saja supaya umat muslim tidak ada yang luput untuk menjalankan ibadah puasa,” tuturnya.

Meski hanya terdapat 20 kepala keluarga yang memeluk agama Islam, suasa ramadhan amat sangat terasa hikmatnya. Toleransi antar umat beragama di desa itu sangat indah. Mereka hidup berdampingan, saling membantu, saling menjaga satu sama lain, meskipun mereka berbeda suku, agama, dan ras.

Saat umat Islam sedang menjalankan kewajibannya, umat nasrani memberikan jaminan keamanan untuk menjalankan kewajibannya. Begitu juga saat umat Kristen sedang menjalankan perintah tuhannya, umat muslim dan hindu juga bertugas mengamankan situasi.

(Baca Juga : Dibantu Tongkat, Pria Ini Menjual Koran di Lampu Merah)

“Alhamdulillah, meskipun di desa ini terdapat lima suku berbeda dan tiga kepercayaan, kami hidup berdampingan dengan aman. Kami saling memberi satu sama lain kepada yang membutuhkan, tanpa melihat agama, suku, dan rasnya. Tali persaudaraan disini sangat kuat, dan itu tetap kami jaga,” tutup Suwarno. (A)

 

Penulis: Restu Tebara
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini